- Welcome to Freltalida -
Hari yang gelisah itu seketika berubah menjadi duka. Langit senja yang menyelimuti hamparan kehidupan makhluk magis perlahan pergi meninggalkan kegelapan di belakangnya. Apapun yang berada di kegelapan saat ini bukan pertanda baik. Kapal-kapal berhenti berlayar, para hewan berhenti berburu dan lampu-lampu kota padam. Kegelapan telah datang bersama aroma kematian yang menyesakkan dada.
Para serigala di hutan kabut mulai melolong, naga mengaum hingga tanah bergetar, hantu mengigau bagai kehilangan arah, peri melantunkan lagu-lagu duka, hingga tentara pemberani dan penyihir hebat menurunkan senjata mereka. Samudera naga yang mematikan kini diam tak berombak. Angin pembawa kabar berhenti berhembus. Yang ada hanyalah keheningan.
Seluruh ras membungkuk dan menangis begitu mengetahui kenyataan pahit ini.
Tidak ada tempat perlindungan yang aman lagi. Bagi mereka, negeri ini telah kehilangan harapan.
Seorang pemuda saat ini berdiri terpaku di tempatnya. Dia telah menghabiskan waktunya bertahun-tahun di perpustakaan pribadinya hanya sendirian. Matanya yang berkaca-kaca menatap bola cahaya dan peta dunia yang padam. Dia tidak menemukan setitik cahaya disana. Tidak satupun. Artinya dia tidak melihat adanya kehidupan.
Mati.
Semuanya mati.
Mengingat kata itu membuat air matanya mengalir deras. Orang-orang yang dia kenal, yang dia sayangi dan paling dihormati di seluruh negeri itu telah tiada.
Alam semesta telah melenyapkan mereka di luar sana.
Kabar duka itu membuatnya terpukul. Tidak hanya itu, adanya kekosongan kursi tahta membuat dirinya terancam. Tidak hanya bagi dirinya, tapi seluruh makhluk hidup di negerinya juga terancam.
Freltalida berada di ambang kehancuran.
Pemuda itu terjatuh hingga tubuhnya bertumpu di atas lututnya. Kedua tangannya mengepal dan sesekali meninju meja. Tangisnya diikuti bunga es yang perlahan membekukan sekelilingnya.
"Ini tidak mungkin!" isaknya. Lalu dia berteriak menggunakan kalimat yang sama berulang-ulang. Air matanya yang jatuh ke lantai membeku dan menampik debu di sekitarnya yang bergerombol ke arahnya.
Hidupnya yang bahagia itu harus lenyap ketika kehilangan menghampirinya.
Pemuda itu tidak mengerti kenapa dirinya bisa mendapatkan nasib sepahit ini. Sebelumnya keluarganya telah berjanji akan segera kembali setelah berkunjung ke dunia baru yang mereka temukan.
Dunia baru itu begitu indah, sampai akhirnya dia tahu kalau tempat itu juga mematikan.
Kesedihannya memuncak sampai ruangan itu bergetar hebat. Pemuda itu berteriak lagi diiringi buku-buku yang berjatuhan ke lantai. Lampu tempel di sekelilingnya berkedip bagai detak jantung yang sekarat. Es yang dingin dan hitam perlahan membekukan tempat itu. Kini pemuda itu seperti orang yang tersesat di dalam tumpukan tombak es.
Nyaris saja si pemuda meruntuhkan tempat itu kalau seseorang tidak datang ke tempatnya. Seorang gadis kecil muncul dari pintunya dan gemetar ketakutan begitu melihat kengerian yang dihadapinya.
"Kak?" isaknya sambil memeluk boneka beruangnya dengan erat.
Seketika tombak es mencair perlahan-lahan. Pemuda itu berdiri dan menghapus air matanya. Dengan napas yang tersedu-sedu dia tetap berusaha tersenyum.
"Hai, sayangku," sapanya sambil berjalan menghampiri gadis kecil itu.
"Kenapa tempat ini membeku? Apa kakak menangis?" tanya gadis kecil itu sambil mengamati sekelilingnya juga mata kakaknya yang bengkak.
Pemuda itu tersenyum meski hatinya teriris. Dia berlutut sampai kedua mata mereka sejajar. Permata hazel adiknya mengingatkan sosok ibunya. Hal membuatnya harus menahan tangisnya. Dia tidak mungkin mengatakan kalau kedua orangtua mereka telah tiada. Adiknya masih sangat kecil dan belum mengerti apa-apa. Dia tidak ingin melihat adiknya menangis.
Pemuda itu membelai rambut adiknya lalu memeluknya dengan erat. "Kakak hanya sedang berlatih. Kekuatannya semakin kuat sehingga tempat ini membeku."
"Apa kakak baik-baik saja?"
"Ya. Baik-baik saja," jawabnya meski hati berkali-kali berteriak ingin menangis. Dia tersenyum sampai sadar kalau ekspresi adiknya itu tetap ketakutan. "Ada apa?"
"Malam ini mengerikan. Aku mendengar suara hantu dari luar jendela. Lalu lampu jalan tidak menyala," jawab adiknya dengan muram.
Kabar duka membuat para hantu berterbangan kemana-mana. Belum lagi kota dan istana gelap gulita karena sumber energinya padam. Tentu saja adiknya itu ketakutan setengah mati.
"Tidak apa-apa. Ada kakak disini. Apa kau ingin mendengar sebuah dongeng?"
Adik kecilnya berteriak gembira. "Ya! Ya!"
"Kalau begitu ayo kita pergi ke kamarmu!" ajak kakaknya dengan lembut. Dia menutup pintu perpustakaannya dan menuntun adiknya berjalan menuju kamarnya.
Entah kenapa dia tidak bisa menangis di depan adiknya. Dia hanya tidak tega anak sekecil itu tahu kenyataan yang sebenarnya. Dia sudah berjanji pada adiknya akan bermain ke berbagai tempat bersama kedua orangtuanya. Dia sudah memberitahukan seperti apa ayah ibunya. Siapa anak kecil yang tidak antusias setelah diberi janji dan hadiah semacam itu?
Tapi janji itu kini sudah kandas. Dia tidak bisa menepatinya lagi. Lebih mirisnya, dia tidak bisa berkumpul bersama keluarganya lagi.
Sekarang hanya ada dia dan adiknya.
Adiknya tidak boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin ini lebih baik. Biarkan waktu yang memberitahukan kebenaran. Biarkan adiknya tumbuh hingga besar sampai siap menerima kenyataannya.
Pemuda itu tidak percaya apa yang menimpa keluarganya itu benar. Keluarganya sudah berjanji padanya. Dia sudah berjanji pada adiknya. Mereka harus bersama-sama lagi.
Apakah dia harus percaya terhadap kabar itu? Inginnya dia tidak percaya, tapi fakta berkata lain. Untuk membuktikan kebenarannya, dia harus melakukan sesuatu.
Mencari mereka.
Follow IG @melodyampv dan @FrellesWorld
Joylada @melodyampv
Contact untuk pemesanan buku cerita ini 089660794228 (WA)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Children of Moon (#1 Moon Series) ✔ [REPUBLISH]
Fantasy[TELAH TERBIT | High Fantasy Romance] REPUBLISH Karya ini dilindungi oleh UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014 Nominasi Best Fantasy Story dari @PejuangKata Bertahun-tahun setelah kabar duka melanda Freltalida, Melody ditinggalkan di sebuah desa terpencil...