Aku tidak takut mati, aku lebih takut dikurung
"Kenapa kau ada di sini?" geram Phillippe ketika memandang tamu tak diundang yang berdiri di hadapannya. Kedua alisnya mencuram dan tangan kanannya mengepal di atas meja bundar yang terbuat dari kaca. Ketenangannya yang didapat selama makan siang bersama adiknya di ruang makan khusus para petinggi militer harus terganggu. Ruangan ini biasanya membuat tenang siapapun yang sedang dilanda frustasi tentang komando, tapi rasanya ketenangan itu tidak tercapai saat Fendrel ada di sana.
"Aku mengundangnya," balas Melody, lalu kembali meneguk secangkir teh lemonnya dengan anggun.
"Kembali ke istana dan lakukan tugasmu!" perintah Phillippe. Matanya menatap nanar sang peri dengan segenap kekesalan yang belum usai semenjak penyerangan itu. Namun Fendrel tetap tersenyum ramah tanpa merasa terintimidasi.
Melody mendengus kesal saat mengetahui ada tegangan kebencian diantara kakaknya dan kekasihnya. Gadis itu kembali menaruh cangkirnya di atas piring kecil lalu berdiri dan menghampiri Fendrel untuk memeluknya.
Phillippe masih bisa memaklumi kalau mereka berpelukan. Namun ketika melihat adiknya berjinjit dan Fendrel membungkuk, dia tahu apa yang akan terjadi. Rasanya seperti menerima penghinaan di depan mata-membiarkan adiknya sendiri berciuman dengan peri berusia lima ratus tahun. Apa yang akan dikatakan orangtuanya?
Dengan satu jentikan jari, sebuah tarikan sihir memisahkan mereka berdua. Sihir itu mendorong mereka untuk duduk di kursi masing-masing yang terpisah sejauh satu meter.
"Tidak di depanku," kata Phillippe sampai Melody mendongkol.
Fendrel mendesah, sadar kalau perbuatan itu tidak sopan di mata Phillippe. "Maaf."
Phillippe mengetuk meja dengan ujung telunjuknya. Ekor matanya memandang Fendrel yang sibuk menata piring. "Jadi, apa yang kau lakukan disini? Merindukan adikku?"
"Tentu saja," jawab Fendrel.
"Kau bisa berbicara padanya melalui telepati."
"Sudah, tapi kau memutuskan telepatiku."
Ada jeda beberapa detik sampai Phillippe mengumpat dalam hati. "Karena kau sedang melatih Leth," belanya.
"Fred menggantikannya," sela Melody sampai kakaknya melotot marah.
Phillippe menggebrak meja sampai terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang bertabrakan. Air dari cangkirnya tumpah dan membasahi sebagian serbet. Kepalanya mendekat ke arah Melody yang duduk di sisi kirinya. "Kau tidak meminta izin padaku!?"
"Karena kau pangeran dan aku putri. Kupikir kita punya posisi yang sama," bela Melody.
Dengan kesal Phillippe menjatuhkan sendoknya di atas piring. Ingin sekali dia berteriak hingga tempat di sekelilingnya runtuh, tapi bayangan Tuan Billy yang pernah melatih untuk mengendalikan emosinya kembali terngiang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Children of Moon (#1 Moon Series) ✔ [REPUBLISH]
Fantasy[TELAH TERBIT | High Fantasy Romance] REPUBLISH Karya ini dilindungi oleh UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014 Nominasi Best Fantasy Story dari @PejuangKata Bertahun-tahun setelah kabar duka melanda Freltalida, Melody ditinggalkan di sebuah desa terpencil...