Keinginan yang tidak tercapai dan emosi yang terpendam lama-lama akan menumpuk dan menjadi menara, lalu suatu hari akan runtuh dan menimpa siapapun yang ada di dekat Anda.
Tidak biasanya Fendrel mudah termakan perkataan seseorang. Apalagi setelah mendengar kalimat dusta anak perempuan yang sedang dikuasai kemarahan. Fendrel berkutat dengan pikirannya selama berjam-jam—menimang-nimang apakah yang dilakukannya sekarang adalah benar atau tidak.
Berkencan.
Bagai mantra mujarab yang berhasil mengembalikan perasaan aneh itu lagi. Pergi berdua ke suatu tempat. Bagai sepasang muda-mudi yang menjalin kasih. Bayangan itu membuatnya jengkel, tapi suara hatinya yang lain meneriakkan kegembiraan.
Melody berada di sampingnya, dalam perlindungannya, dan yang terpenting, gadis itu memilih menghabiskan waktu bersamanya dibandingkan kakaknya.
Mimpi apa aku semalam? batinnya.
Perjalanan menuju Kota Meara menggunakan mobil berlalu dalam keheningan. Suasana canggung menyelimuti mereka berdua yang duduk di kursi belakang. Fendrel memandang Melody yang duduk di sebelahnya. Gadis itu masih tenggelam dalam pikirannya sambil memandang hutan jarum di luar kanan jalan. Wajahnya yang murung terpantul jelas di kaca jendela. Kantung mata hitamnya sedikit memudar dan bibir pucatnya kembali merona.
"Kau melakukan ini untuk membuat Phillippe cemburu, kan?" celetuk Fendrel sampai Melody menoleh dan memandangnya dengan ekspresi datar.
"Tidak, aku memang ingin jalan-jalan," bantah Melody, lalu dia kembali memandang hutan di luar jendela.
Fendrel mendengus kesal. Dia selalu tahu—ketika marah, Melody sanggup berbohong tanpa pikir panjang. Lagipula tidak mungkin orang yang dibencinya bisa diajak kencan begitu saja. Melody belum mendeklarasikan perdamaian padanya.
Setelah Melody menyatakan kalimat impulsif itu dengan lantang, dirinya langsung mematung seperti baru ditampar petir. Pikirannya mencerna tiga kata ajaib yang sampai sekarang mengganggu konsentrasinya. Ini bukan lagi tentang bersama Melody, tapi persepsi yang ditangkap oleh Phillippe.
Pangeran pengendali api itu mengira mereka berada dalam hubungan yang serius!
"Aku tahu kau bicara begitu karena ingin membalas dendam pada kakakmu."
Wajah tanpa ekspresi itu berubah menjadi angkuh. "Tidak. Untuk apa—"
"Kau tidak bisa berbohong padaku."
Melody mendecak kesal. "Tahu begitu aku pura-pura kencan dengan Anders saja. Dia pandai bermain peran dan lebih asyik darimu."
"Dia bertugas bersama Lydia dan Ryuu sekarang," dengus Fendrel. Sampai kapanpun dia tidak sudi kalau Melody bersama pesolek itu. Sifat narsis dan tidak tahu malu Anders bisa membuat Melody jatuh ke dalam pesonanya. Membayangkan Anders mencium Melody—walau hanya pura-pura—membuatnya kesal. Anders selalu totalitas dalam berakting, bahkan Phillippe mungkin bisa terkecoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Children of Moon (#1 Moon Series) ✔ [REPUBLISH]
Fantasía[TELAH TERBIT | High Fantasy Romance] REPUBLISH Karya ini dilindungi oleh UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014 Nominasi Best Fantasy Story dari @PejuangKata Bertahun-tahun setelah kabar duka melanda Freltalida, Melody ditinggalkan di sebuah desa terpencil...