[2] Jangan gede rasa

163 15 3
                                    

Mentari mengemasi bukunya dengan cepat. Telinganya terasa panas saat teman satu kelasnya masih saja mengolok-ngoloknya karena kejadian saat pelajaran sejarah tadi.

Selesai mengemasi bukunya, Mentari berjalan cepat keluar kelasnya sambil menggerutu.

"Mentari!" seseorang meneriaki namanya.

Mentari menghiraukan teriakan itu. Ia terus berjalan dengan cueknya. Hingga, langkah Mentari terhenti karena seseorang menarik tas Mentari.

"Lo punya telinga kan?" tanya orang itu tanpa dosa karena telah menarik tas Mentari.

Mentari berdecak sebal. Ia menatap orang itu. Orang itu Jingga. "Menurut lo aja gimana!" ketus Mentari.

"Jangan gede rasa dulu, ya, Ri..." Jingga terkekeh. Kemudian ia berdiri disamping Mentari.

Mentari menggeser tubuhnya. Menjaga jarak dengan Jingga. "Gede rasa apaan? Siapa yang gede rasa?" sinis Mentari.

"Lo. Gue takutnya lo gede rasa karena tadi." Jingga nyengir lagi. "Maksud gue, lo itu bikin gue kangen jailin lo sampe lo naik darah, hahaha...." Jingga tertawa.

"Ya terus?"

"Ya udah gitu aja. Bukan kangen karena itu, ya... Jadi, lo jangan gede rasa dulu.." ujar Jingga sekali lagi.

"Emang gue bakal gede rasa saat lo ngomong kangen ke gue, gitu? Dih, najis!" ujar Mentari masih dengan nada ketusnya. Kemudian, Mentari berjalan menjauhi Jingga. Ia tidak mau berurusan lebih lama denga Jingga.

Sedangkan Jingga, cowok itu, hanya terkekeh melihat perilaku Mentari yang sepertinya sangat kesal kepadanya.

Biarlah. Lagian, menjahili Mentari, adalah hobi barunya saat memasuki kelas XI. Saat Jingga bertemu dengan Mentari.

[•••]

Mentari memasuki rumahnya dengan langkah yang terkesan buru-buru. Cewek itu tidak menghiraukan keberadaan Ayah-nya yang sedang menonton TV.

Sesampainya dikamar, cewek itu segera mengunci pintu kamarnya lalu melemparkan tas nya kesembarang arah. Mentari segera merebahkan dirinya diatas kasur empuk.

"Mentari... Buka pintunya!" suara Herdinan—ayah Mentari—terdengar dari luar kamar.

Mentari mendengus. Ia segera bangkit dari kasurnya dan membukakan pintu kamarnya. "Kenapa?" tanya Mentari pada Herdinan.

Herdinan tersenyum hangat. Laki-laki itu masuk kedalam kamar Mentari kemudian duduk ditepi kasur Mentari. Ia mengedarkan pandanganya keseluruh penjuru kamar Mentari. "Kamu kenapa? Datang-datang kerumah bukan nya salam atau apa. Malah buru-buru ke kamar." Herdinan berucap dengan lembut.

Mentari mendengus sebal. "Gak kenapa-kenapa. Cuman pingin buru-buru istirahat." sahut Mentari. Cewek itu melepaskan sepatu beserta kaos kaki yang belum sempat dibuka.

"Seenggaknya, ucapin salam. Secape-capenya kamu, jangan lupa ucapin salam kalau masuk atau keluar rumah." Herdinan menatap putri nya yang tengah sedang menggeser bangku meja belajarnya.

Mentari duduk dibangku meja belajarnya. Ia menunduk. "Iya, maaf..." ujar Mentari pelan.

"Jangan diulangi lagi, ya?" Mentari mengangguk. "Gimana sekolah kamu hari ini?" tanya Herdinan.

"Kayak biasa aja." sahut Mentari sekenanya. Ia benar-benar sednag malas diajak ngobrol. "Ayah gak kerja?" tanya Mentari mengalihkan topik pembicaraan nya.

Herdinan tersenyum tipis. "Enggak. Tapi, nanti malem, Ayah mau pergi ke Bali. Kamu gak apa-apa disini?" tanya Herdinan.

Mentari menghela nafas panjang, kemudian menggeleng. "Gak apa-apa. Berapa hari disana?" tanya Mentari.

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang