[8] Sebuah pengakuan

117 9 13
                                    

Seminggu berlalu, kelompok absurd makin rajin latihan. Mereka terpilih oleh Bu Ana untuk mewakili kelas XI-IPS 5 dipekan kreatifitas siswa yang akan diselenggarakan pada hari Sabtu nanti.

Sebenarnya, mereka tidak mau tampil di pekan kreatifitas siswa itu. Salah satu faktornya adalah malas. Namun, bagaimana lagi. Setiap kelas harus ada perwakilanya.

Ngomong-ngomong, semenjak latihan rutinan kelompok absurd, Kanya dan Jingga semakin lengket saja. Kedua makhluk itu terus bersama. Dari pergi ke studio, hingga pulangnya. Jingga akan mengantarkan Kanya pulang.

Seperti sekarang yang Mentari lihat. Kedua makhluk itu sedang mengobrol di depanya. Mengobrol apa saja. Padahal mereka sedang makan. Kalau keselek kan gawat.

Lagian, Mentari merasa jadi obat nyamuk. Mereka berdua asik ngobrol. Hanya berdua. Mentari dicuekin. Seolah-olah cewek itu adalah makhluk ghaib yang gak kelihatan.

Mentari mendengus. Ia gondok sendiri. Dan yang pasti, ada suatu perasaan aneh yang muncul di dalam hati Mentari. Seperti perasaan tidak suka. Perasaan itu sering muncul kalau Mentari udah liat Kanya sama Jingga nempel-nempel kayak yang di pakein lem. Gak bakal bisa lepas.

"Berasa jadi obat nyamuk." sindir Mentari. Cewek itu kalau udah gondok liat Kanya sama Jingga deket-deket, dia cuman bisa nyindir. Terlalu frontal.

Kanya mendelik sebal karena Mentari menyindir sekaligus memotong pembicaraan nya dengan Jingga. "Tinggal ikut ngobrol aja. Apa susahnya sih, Ri?" sahut Kanya sedikit sewot.

Mentari menaikan sebelah alisnya kareba ucapan sewot Kanya. Cewek itu juga tersenyum sinis. "Dah ah..gue balik ke studio. Ini uangnya." ujar Mentari seraya menaruh selembar uang sepuluh ribu diatas meja. Setelah itu, cewek itu pergi.

Saat di jalan, Mentari merenung sendiri. Mengapa ia selalu saja merasa tidak suka saat Kanya dekat-dekat dengan Jingga. Cemburu? Ah, rasanya tidak mungkin.

"Mentari!" teriak seseorang.

Mentari menoleh dan menemukan Galang tengah berlari kecil kearahnya. Ditangan cowok itu ada kresek putih berukuran sedang yang terlihat penuh.

"Ke studio? Bareng gue aja." Galang nyengir. Cowok itu berdiri di sebelah Mentari.

Mentari mengangguk kemudian mulai berjalan lagi. Di sebelahnya ada Galang. "Hari ini beres jam berapa?" tanya Mentari.

"Ya kayak biasa kali, Ri... Jam tujuh-an." sahut Galang.

Semenjak latihan untuk pekan kreatifitas siswa, Mentari jadi sering pulang malam ke rumah. Awalnya, Ayah Mentari marah-marah. Tapi, setelah dijelaskan oleh Mentari, akhirnya Ayahnya mengerti.

"Abis makan?" tanya Galang. Mentari mengangguk.

"Bukannya tadi lo berangkat bareng Jingga sama Kanya, ya? Mereka ke mana?" tanya Galang lagi.

Mentari mendengus, "gue di sana jadi obat nyamuk. Gue berasa jadi setan. Makanya gue balik duluan. Eh, tau-tau ketemu elo." Mentari membuka pintu studio musik itu. Suasana sejuk karena AC langsung menerpa kulit putih Mentari.

Galang mengangguk-anggukan kepala. Ia terkekeh kecil saat melihat raut wajah kesal Mentari. Lucu. Cowok itu mengikuti Mentari yang sedang berjalan menuju ruangan tempat dimana mereka latihan.

"Lo cemburu?" celutuk Galang.

Mentari seketika berhenti dan hampir membuat Galang menabrak cewek itu. "Gak!" sahut Mentari. Matanya melotot karena kaget.

"Kirain," Galang nyengir.

Mentari melanjutkan jalanya. Cewek itu segera masuk ke dalam ruangan studio tempat ia dan teman-temanya berlatih. Mentari duduk di kursi.

"Seriusan lo gak cemburu liat mereka?" tanya Galang seraya menutup kembali pintu ruangan studio tempat mereka berlatih.

Mentari mendengus sebal. "Gue bilang enggak, berarti enggak. Ngerti gak sih lo?" Mentari bertanya kembali dengan nada sebal.

Galang tertawa geli. Ia mengambil sebungkus makanan ringan dari kresek yang tadi ia bawa. Kemudian Galang membuka bungkus makanan itu. "Mau?" tawar Galang. Cowok itu menyodorkan makanan ringannya pada Mentari.

"Gak, makasih." sahut Mentari sinis. Cewek itu sebal kepada Galang.

"Tapi ya, keliatan jelas lho, kalau lo cemburu sama Jingga dan Kanya." ujar Galang lagi.

"Bisa diem dan jangan bahas itu lagi?" tanya Mentari tajam. Cewek itu menatap sebal Galang.

"Oke-oke. Gue bakal berhenti ngomong kayak gi—"

"Ups! Maaf gue ganggu..." interupsi seseorang. Ternyata Jingga. Cowok itu baru masuk ke dalam ruangan studio.

Mentari mendengus. Sedangkan Galang, cowok itu geleng-geleng. "Santai aja. Gue cuman lagi ngobrol doang." sahut Galang.

"Berduaan aja nih ceritanya?" ujar Kanya. Cewek itu masuk kedalam studio dengan senyum jahil.

"Kayak lo gak pernah berduaan aja sama Jingga!" sahut Mentari sinis.

Galang tertawa kecil. Cowok itu kembali geleng-geleng kepala. "Mentari bener-bener gak peka sama perasaanya sendiri." gumam Galang.

[•••]

Seperti biasa, sepulang latihan, Jingga akan mengantarkan Kanya pulang. Mengantarkan cewek itu dengan selamat sampai rumahnya.

Namun, malam kali ini berbeda. Sepulang latihan, kedua makhluk itu mampir dulu kesebuah cafe untuk makan. Bukan Jingga yang mau makan. Tapi Kanya.

"Jingga?" suara Kanya terdengar. Membuyarkan lamunan Jingga. Didepan mereka sudah ada satu porsi nasi goreng dan segelas jus jambu yang tak lain dan tak bukan adalah pesanan Kanya.

"Ya?" Jingga bertanya balik. Cowok itu menatap Kanya.

"Gue mau ngomong sesuatu. Tapi abis makan, gimana?" ujar Kanya meminta pendapat.

Jingga tertawa sebentar. "Ya itu sih gimana elo. Kan elo yang mau mgomongnya juga." sahut Jingga.

"O—oke." ujar Kanya. Kemudian cewek itu mulai menyantap makananya.

Jingga mengambil ponselnya dari dalam saku celana. Ia mengetikan sebaris pesan pada Mentari.

Jingga memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana abu-abunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jingga memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana abu-abunya. Cowok itu memperhatikan Kanya yang sedang makan di depannya.

"Lo cantik. Gue suka sama lo,"

[•••]

Jeder ⚡

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang