[24] Kejutan di meja makan

85 6 13
                                    

Jingga menghela napas lega saat ia sudah selesai membuang hajat kecilnya. Ia terkekeh kecil saat melihat wajah Mentari tadi. Ada raut kecewa di wajah cewek itu.

"Kapan-kapan aja ya, Ri, gue ngomong yang aslinya, hehe..." kekeh Jingga seraya berkaca di cermin.

Jingga kembali ke tempat tadi ia berdansa dengan Mentari. Namun sayangnya cewek itu tiba-tiba menghilang.

Mata Jingga menatap ke sekeliling untuk mencari keberadaan Mentari. Sampai pada akhirnya ia menemukan Mentari tengah duduk di kursi bersama seorang cowok yang duduk di hadapannya.

Dengan santainya, Jingga berjalan ke arah Mentari. Ia terkekeh sinis saat melihat cowok yang duduk di hadapan Mentari tengah menggenggan tangan cewek itu.

"Mentari? Dia siapa?" tanya Jingga tiba-tiba tanpa rasa bersalah.

Mereka berdua terkejut. Namun cowok di hadapan Mentari lah yang sangat terkejut. Ia segera melepaskan genggaman tangannya.

"Lo gak apa-apa, Ri?" tanya Jingga saat melihat wajah pucat pasi Mentari.

Mentari menggeleng lemah. "Ji... Gue mau pulang." lirihnya.

"Gue anter—"

"Biar gue aja yang nganter dia." interupsi cowok yang tadi menggenggam tangan Mentari.

"Lo siapanya Mentari?" tanya Jingga dengan songongnya.

"Kenalin gue Benua," cowok bernama Benua itu tersenyum sinis. "Harusnya gue yang nanya ke elo. Lo siapanya Mentari?" Benua bertanya balik.

"Hallo Brother Benua!" sapa Jingga sok akrab. "Gue Jingga nih. Pacarnya Mentari." lanjutnya. Ia tersenyum penuh kemenangan saat melihat Benua terdiam.

Mentari menoleh dan menatap Jingga tidak mengerti. Ingin protes pun rasanya percuma. Suaranya tiba-tiba saja menghilang entah kemana.

"Pacar? Sejak kapan?" tanya Benua setelah beberapa saat terdiam

"Sejak masih dalam kandungan nih. Kita udah jodoh," Jingga terkekeh. "Susah dipisahin kalau udah jodoh dari waktu kita berbentuk zigot." lanjut Jingga.

Benua terdiam. Ia menatap tajam Jingga. Namun Jingga hanya menatap Benua dengan pandangan santai.

"Ayo, Ri—eh bentar!" Jingga melepaskan jas yang ia pakai. Kemudian ia menyampirkan jasnya pada pundah Mentari. "Dipakai jasnya. Supaya lo gak dilihatin sama om-om yang genit," lanjutnya sambil menggamit tangan Mentari.

"Kita pulang duluan ya, Brother Benua! Nice to meet you, Bro!" pamit Jingga.

Sedangkan Benua sendiri, cowok itu menatap kepergian Mentari dan Jingga penuh dengan sorot mata penuh kekesalan. Dadanya naik-turun karena emosi.

"Jingga sialan!" makinya.

[•••]

Selama di jalan, Mentari hanya terdiam. Menatap keramaian kota pada malam hari dari dalam kaca mobil Jingga.

"Ri, Benua itu siapa sih?" tanya Jingga.

Mentari hanya diam. Enggan menjawab pertanyaan Jingga karena ia sendiri masih terkejut mengala Benua tiba-tiba ada di sini.

"Ya udah kalau gak mau jawab. Gue gak maksa," ujar Jingga setelag tidak mendapat respon dari Mentari. "Tapi kalau lo siap ceritain siapa itu Benua, gue akan siap sedia mendengarkannya." ujar Jingga.

Mentari tersenyum. Hatinya menghangat saat mendengar Jingga berkata demikian.

"Makasih, Ji..." ujar Mentari.

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang