[16] Kecewa

82 7 7
                                    

"Udah, Mentari..." Gisel—Ibunda Jingga—terus mengusap lembut punggung Mentari yang tengah menangis tergugu di pelukannya.

Tadi, setelah Jingga menjemput Mentari di dekat taman komplek perumah cewek itu, akhirnya Jingga membawa Mentari ke rumahnya.

Berakhir dengan Mentari yang menumpahkan segala isi hatinya pada Ibunda Jingga, dan menangis tergugu di pelukan wanita itu.

Setelah tangis Mentari reda, Gisel melepaskan pelukannya dan menatap lembut Mentari. Wanita itu tersenyum hangat pada Mentari.

"Jangan nagis lagi, ya, Ri? Mentari mau liat Ayahnya bahagia kan?" tanya Gisel lembut.

"Mau," cicit Mentari.

Jingga yang melihat dan mendengar Mentari menangis dalam pelukan Ibu-nya merasa teriris juga hatinya. Apalagi saat mendengar cerita Mentari.

Awalnya, Jingga kira hidup Mentari itu enak. Ternyata, perkiraan Jingga salah. Mentari tidak sebahagia yang dilihatnya. Ternyata, cewek itu rapuh.

"Ri, Tante bikinin minuman dulu, ya?" Gisel masih tersenyum hangat pada Mentari.

Mentari menangguk samar sebagai jawaban.

Sepeninggalan Gisel ke dapur, Mentari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam setengah delapan malam.

Mentari mendengus. Kemudian, cewek itu mengaktifkan ponselnya. Notif panggilan tak terjawab dan pesan masuk langsung tertera di layar ponsel Mentari.

Ada 68 panggilan tak terjawab, dan 117 pesan masuk. Mentari yakin, pasti itu berasal dari Ayahnya.

"Mentari, ini minum dulu teh hangatnya." Gisel menyodorkan secangkir teh hangat pada Mentari.

Mentari menghaturkan terimakasih pada Gisel. Cewek itu segera menerima cangkir itu dan meminumnya. Rasa hangat langsung menjalar pada tubuh Mentari.

"Buat aku mana, Ma?" tanya Jingga.

"Kamu bikin sendiri aja. Biasanya juga apa-apa bikin sendiri." Gisel terkekeh pelan saat melihat raut wajah anaknya yang kecewa.

"Aku juga kan mau." Jingga mengerucutkan bibirnya.

Melihat itu, Mentari terkekeh pelan. Ekspresi Jingga lucu.

"Ri, Tante ke kamar dulu, ya? Kamu ngobrol-ngobrol aja dulu sama Jingga." ujar Gisel seraya pergi menuju kamarnya.

"Gimana perasaan lo sekarang?" tanya Jingga setelah Gisel masuk kamar.

"Sedikit lega." sahut Mentari.

"Ri, ada yang nelepon," ujar Jingga saat melihat ponsel Mentari menyala karena panggilan masuk.

"Biarin aja." Mentari menjawab dengan santainya.

"Terserah lo, deh. Yang pasti, nanti gue anterin lo balik. Gak ada penolakan."

"Iya. Makasih sebelumnya, Ji."

"Sama-sama, sayang..."

Mentari melotot kaget. Tapi anehnya jantung Mentari menjadi berdegup tidak karuan.

"Bercanda..." Jingga nyengir tanpa dosa.

[•••]

"Perlu gue masuk buat ngejelasin ke Ayah lo?" tawar Jingga saat Mentari turun dari motornya.

"Eh? Gak usah, Ji. Gue bisa jelasin sendiri. Lagian, masih ada keluarga besar gue kayaknya." ujar Mentari seraya tersenyum tidak enak.

"Oke kalau gitu. Gue balik dulu, ya... Jangan lupa makan, mandi, sama istirahat yang cukup." Jingga mengacak-acak rambut Mentari. Cowok itu terkekeh kecil.

"Ji!" protes Mentari karena rambutnya menjadi acak-acakan.

"Oke, oke! Gue balik dulu, ya! Selamat malam Nona Mentari..." ujar Jingga seraya tersenyum hangat. Kemudian, cowok itu melaju pergi meninggalkan rumah Mentari bersama motornya.

Sepeninggalan Jingga, Mentari memegang pipinya yang tiba-tiba terasa hangat. Bahkan, jantungnya kembali berdetak tidak normal.

"Gue kenapa sih?!" gerutu Mentari sebal.

Tak mau tubuhnya semakin kedinginan, akhirnya Mentari melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

"Mentari? Kamu habis dari mana?" suara Herdinan langsung masuk ke dalam indera pendengaran Mentari.

Mentari diam. Tidak menjawab.

"Kamu tau ini jam berapa?" tanya Herdinan lagi. Suaranya kali ini lebih tegas.

"Tau. Jam sembilan malam lebih sedikit."

"Terus, kenapa baru pulang jam segini?" cecar Herdinan.

"Udah pulang dari tadi kok. Cuman aku pergi lagi. Gak mau lihat acara yang tadi diselenggarakan di sini." ujar Mentari dingin. Senyum sinis tercetak di wajahnya.

Herdinan terdiam. Ia tahu maksud dari pembicaraan Mentari.

"Maafin Ayah, Ri..." ujar Herdinan dengan nada suara yang melunak. Ia menatap putrinya sendu.

"Bukan salah Ayah." jawab Mentari cepat.

"Mentari?"

Ah! Caroline ternyata. Mentari hanya menatap Caroline datar.

"Maafin, Tante... Tante gak maksud buat—"

"Aku capek. Aku mau tidur. Permisi." pamit Mentari seraya melewati Herdinan dan Caroline. Mata cewek itu kembali memanas.

"Mentari! Dengerin Ayah!"

Suara Herdinan menghentikan langkah Mentari saat menaiki tangga. Cewek itu menoleh dan menatap Herdinan dengan tatapan 'ada apa?'.

"Ri... Ayah tau ini mendadak buat kamu, tapi—"

"Tapi apa, Yah?" potong Mentari cepat. Suara cewek itu bergetar, dan matanya mulai mengeluarkan cairan bening lagi.

"Ayah gak bermaksud bikin kamu kecewa."

"Gak bermaksud bikin aku kecewa, Yah? Ha-ha! Harusnya Ayah sadar kalau masih ada aku di sini, Yah! Terus maksud Ayah bikin acara kayak tadi apa? Apa Ayah pikir aku gak akan kecewa?! Ayah gak kasih tau aku! Aku makin kecewa sama Ayah!" ujar Mentari kesal. Air mata yang keluar pun semakin banyak.

"Mentari, Tante minta maaf." suara Caroline terdengar lagi.

"Maksud Ayah bikin acara kayak gini terus gak ngasih tau aku apa maksudnya, Yah?" suara Mentari semakin bergetar. "Takut aku ngehancurin acaranya? Iya?" Mentari menangis semakin deras.

"Mentari..." ujar Herdinan lembut. Ia berjalan menyusuri tangga. Berniat merengkuh Mentari.

Mentari memejamkan matanya. Ia dapat mendengar langkah Herdinan yang semakin mendekat ke arahnya. "Stop di situ, Yah! Stop! Jangan deketin aku!" jerit Mentari. Matanya sudah kembali terbuka dan ia langsung bisa melihat wajah Herdinan yang kaget.

"Aku kecewa banget sama kalian berdua," lirih Mentari. "Tapi, kalau ini pilihan Ayah dan bikin Ayah bahagia, aku bisa apa? Yang aku bisa lakuin adalah ikut bahagia juga." ujar Mentari dengan suara yang bergetar.

"Mentari, dengerin Ayah dulu, sayang..." bujuk Herdinan.

Mentari menggeleng, kemudian menjawab, "aku capek. Aku pingin tidur. Ayah ngerti kan?" ujar Mentari.

Herdinan dan Caroline menyerah. Mereka memahami kondisi Mentari sekarang. Anak perempuannya itu butuh istirahat. Butuh waktu untuk sendiri.

Akhirnya, Herdinan menghela nafas berat saat Mentari kembali menaiki tangga untuk menuju kamarnya.

"Mentari..." lirih Herdinan seraya berjalan dengan lesu ke arah Caroline.

"Mentari butuh waktu buat sendiri," bisik Caroline yang tidak kalah lirih. Perempuan itu mengusap bahu Herdinan pelan.

[•••]

Akhirnya update 😅😁
Maaf kalau kelamaan updatenya. Bcs aku harus bagi waktu sama belajar. Jadi mohon pengertiannya, ya (:

Aku usahakan update satu minggu sekali.
Terimakasih♡

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang