[17] Bersamanya

94 6 6
                                    

Mentari diam memakan sarapannya. Sibuk dengan nasi goreng di hadapannya. Padahal, di depan cewek itu ada Herdinan yang tengah sarapan juga.

Mereka sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Mentari?"

"Hm?" sahut Mentari hanya dengan deheman.

"Maafin Ayah..."

"Iya."

Hening lagi. Suasana sarapan yang biasanya ramai karena percakapan mereka berdua, tiba-tiba saja menjadi kaku seperti ini. Rasanya aneh.

"Bulan depan, Ayah nikah, Ri." uajr Herdinan pelan. Tidak mau membuat Mentari terkejut.

"Tau kok."

Dugaan Herdinan melesat. Ia kira, Mentari akan kaget mendengar berita itu. Tapi nyatanya, Mentari malah terlihat santai.

"Kamu gak marah?"

Mentari terkekeh sinis. Matanya tidak lepas dari nasi goreng di hadapanya. "Toh, buat apa aku marah? Gak akan mengubah yang telah direncanakan kalian bukan?" Mentari bertanya balik.

"Mentari masih marah, ya, sama Ayah?"

Mentari menggeleng.

"Maafin Ayah, Ri..."

"Udah aku bilang berapa kali Yah, kalau aku gak marah sama Ayah?" tanya Mentari seraya menatap Ayahnya dengan pandangan sulit diartikan.

"Ri, Ayah tau kamu kecewa sama Ayah... Ayah minta ma—"

"I'm done!" ujar Mentari seraya bangkit dari kursi makan. Ia segera menggendong tas ranselnya yang tergeletak di lantai.

"Mau Ayah anter?"

"Gak usah, Yah... Ayah langsung berangkat ke kantor aja. Aku udah pesen ojek online. Udah sampe lagian tukang ojeknya." ujar Mentari seraya tersenyum kecil. Ia menyalami tangan Herdinan, kemudian cewek itu mengucapkan, "aku pergi! Assalamu'alaikum..."

Herdinan menghela nafas panjang. Ia tahu kalau Mentari marah dan kecewa kepadanya. Herdinan sadar itu.

[•••]

"Pagi Mentari..." sapa Galang yang sedang menongkrong di depan kelas.

Mentari hanya tersenyum kecil. Ia balas menyapa Galang. Kemudian, cewek itu segera masuk ke dalam kelasnya.

"Ri? Mata lo kok kayak yang digigit lebah?" tanya Kanya saat Mentari sudah duduk di sebelahnya. Cewek itu bingung kenapa mata Mentari bengkak.

"Gue lagi sedih," Mentari menghela nafas lelah. Kemudian dia berkata, "bulan depan, Ayah gue mau nikah lagi. Kemarin, mereka tunangan dan gak ngasih tau gue sama sekali. Gue kecewa, Nya..." Mentari terkekeh miris. Mata cewek itu kembali memanas.

"Maaf, Ri, gue gak tau..." ujar Kanya tidak enak. Cewek itu mengusap lembut bahu Mentari.

"Gak apa-apa." Mentari tersenyum tipis pada Kanya.

"Mentari! Udah sarapan belum?" tanya seseorang dengan hebohnya. Siapa lagi jika bukan Jingga?

"Udah."

Jingga terlihat kecewa karena jawaban Mentari. Namun, segera cowok itu mengubah raut wajahnya.

"Ya udah! Temenin gue makan di kantin yuk!" ajak Jingga seraya menarik tangan Mentari agar berdiri.

Setelah Mentari berdiri, Jingga langsung merangkul bahu Mentari dan berjalan ke luar kelas.

Kanya cengo. Seriusan. Ia baru saja melihat Jingga merangkul Mentari, dan Mentari tidak menolak sama sekali. Ia tidak salah liat kan?

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang