[14] Bersama hujan

93 9 8
                                    

Mentari menepuk-nepuk rok kotak-kotak berwarna abu tua yang ia kenakan. Rok yang biasanya dipakai jika ada acara sekolah.

Ya, hari ini adalah hari dimana pekan kreatifitas siswa diadakan. Dan, hari ini juga Mentari akan tampil bersama teman-temannya membawakan musikalisasi puisi.

Tadinya, mereka akan mengundurkan diri jadi pengisi acara pekan kreatifitas siswa karena mengingat kondisi Mentari yang sedang tidak sehat. Apalagi, kemarin Mentari sampai pingsan.

Namun, dengan keras kepalanya, Mentari menolak rencana itu. Ya kali udah capek latihan, pulang malem, dan ternyata gak jadi tampil. Percuma saja dong selama ini mereka latihan? Cuman buang-buang tenaga dan suara yang ada.

Setelah selesai merapihkan baju seragamnya, Mentari keluar dari kamar dan langsung berjalan ke teras rumah. Di sana, ada Jingga yang sedang menunggu Mentari.

Mentari diam membeku saat melihat penampilan Jingga. Hari ini, Jingga mengenakan seragam biasa. Hanya saja, celana seragamnya menjadi warna hitam. Celana yang juga khusus dipakai jika ada acara-acara sekolah. Ditambah lagi, jas dengan logo SMA Harapan Bangsa melekat di tubuhnya. Dan yang terpenting, Jingga terlihat rapih dan tercium lebih wangi. Bukan maksudnya hari biasa dia tidak wangi. Tapi, hari ini, tubuh Jingga jauh lebih wangi. Dan Mentari, menyukai parfum yang Jingga kenakan.

Jujur, Mentari selalu merasa nyaman saat mencium aroma parfum Jingga. Wangi yang mungkin bisa membuat Mentari tergila-gila.

Jingga menoleh dan mendapati Mentari yang berdiri di ambang pintu rumahnya. Jingga terkekeh geli saat melihat Mentari yang diam mematung seperti itu.

"Gue tau kalau gue ganteng." Jingga tersenyum dengan tengilnya.

Mentari langsung tersadar dari lamunanya. Ia malu karena telah tertangkap basah tengah memperhatikan Jingga. Mau disimpan di mana mukanya?

"Apaan sih lo!" sahut Mentari sewot. Berusaha menutupi rasa malunya itu.

Jingga terkekeh kemudian memberikan helm kepada Mentari. "Pakai helm-nya. Nanti lo bisa mati sia-sia kalau gak pake helm." ujar Jingga.

"Eh?"

"Iya, nanti lo jatuh terus kepala lo kelindes. Kan gak lucu." jelas Jingga.

Mentari mendelik kearah Jingga. "Lo kok ngomongnya gitu banget sih?" tanya Mentari sewot.

"Ya udah, kalau gak mau mati secara sia-sia, pake helm-nya." ujar Jingga sekali lagi.

Mentari mendengus, kemudian menerima helm yang Jingga sodorkan dan memakainya.

[]

Acara pekan kreatifitas siswa telah usai. Mentari dan teman-temanya mampu membuat penonton terpukau kagum. Apalagi, saat Mentari membacakan puisi, semua penonton hening. Mereka terpesona dengan cara Mentari membacakan puisinya.

Saat hendak pulang, hujan tiba-tiba saja turun. Memang sih, dari tadi langit sudah mendung. Hujannya tidak besar. Hanya saja hujannya lebat.

"Kalian, gue balik duluan, ya?" ujar Kelvin seraya menyampirkan tas ransel di bahunya.

"Hati-hati, Vin!" teriak Jingga seraya melambaikan tanganya.

Kelvin membuka payungnya, kemudian cowok itu mengangkat ibu jarinya. Setelah itu, Kelvin menerobos rinai hujan dilindungi payung berwarna abu-abu miliknya.

Tak berselang lama, Kanya pamit untuk pulang juga. Disusul dengan Galang. Sisalah Mentari dan Jingga yang masih diam di bangku koridor sekolah. Mereka saling diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Mentari diam beberapa saat. Cewek itu merasakan perutnya keroncongan minta diisi makanan. "Ji, gue ke warung depan dulu, ya." ujar Mentari seraya berdiri. Cewek itu memakai jaketnya kemudian berjalan dengan agak cepat.

"Aduh... Hujannya makin besar." Mentari mengaduh sendiri saat dilihatnya hujan semakin besar. Kantin sekolah sudah tutup sehingga memaksakan Mentari untuk membeli makanan di warung depan sekolahnya. Sialnya lagi, Mentari tidak bawa payung.

"Bodo amat deh. Yang penting perut gue ke isi." gumam Mentari acuh. Kemudian, cewek itu menerobos rinai hujan. "Udah lama gak hujan-hujanan." gumam Mentari di tengah-tengah perjalanannya.

Mentari menghentikan langkahnya saat seseorang berdiri di sampingnya. Cewek itu menengadah dan melihat ada sebuah payung yang melindungi dirinya dari rinai hujan.

"Udah tau lagi sakit, malah hujan-hujanan." komentar orang itu.

"Jingga? Lo kenapa hujan-hujanan?" tanya Mentari saat melihat tubuh Jingga yang basah karena air hujan.

"Soalnya, payungnya gak cukup untuk dua orang." Jingga tersenyum hangat. "Ayo cepet. Lo lapar kan?" tanya Jingga.

Mentari mengangguk. "Tapi lo kehujanan." ujar Mentari tidak enak.

"Gue gak apa-apa. Ayo cepet." Jingga masih tersenyum hangat.

Mentari melanjutkan jalannya. Sesekali cewek itu melirik Jingga yang masih setia memayunginya. Membiarkan tubuh cowok itu basah terkena air hujan.

Sesampainya di warung depan sekolah, Mentari langsung duduk di bangku yang telah disediakan. Disusul Jingga yang duduk di sebelahnya.

"Maaf, karena gue, lo jadi basah gini." ujar Mentari seraya menggosok-gosokan tanganya. Mencari kehangatan di sana.

Jingga mengangguk. "Udah, gak apa-apa kok." sahut Jingga santai.

"Gue pesenin mie rebus, ya?" tanpa persetujuan Jingga, Mentari segera menghampiri Ibu penjaga warung dan memesan dua mangkuk mie rebus dengan dua gelas teh hangat.

"Hujan-hujanan, yuk?" ajak Mentari setelah kembali duduk di sebelah Jingga. Cewek itu memasang cengiran lebar.

"Lo mau sakit lagi?" mata Jingga membulat kaget.

Tidak peduli apa kata Jingga, cewek itu segera berlari ke tengah-tengah hujan. Membiarkan tubuhnya tersiram oleh air hujan. Mentari merasa senang.

"Ayo, Ji!" teriak Mentari seraya tersenyum lebar.

Jingga tersenyum. Entah mengapa, saat Mentari tersenyum, senyum Mentari bisa menular kepada Jingga. Menyebabkan cowok itu ikut tersenyum.

Akhirnya, Jingga ikut hujan-hujanan bersama Mentari. Membiarkan tubuhnya semakin basah karena air hujan.

Hari ini, besama hujan, tawa Mentari kembali terbit.

Kembali terbit karena hujan, dan kembali terbit karena Jingga.

[]

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang