[11] Bertemu

106 8 0
                                    

Mentari mendengus sebal. Dipaksakan kakinya menuruni anak tangga di rumahnya. Bahkan, tas selempang berwarna putih polkadot itu, Mentari seret-seret untuk menuruni anak tangga. Padahal, di dalamnya terdapat ponsel dan dompet Mentari.

"Udah siap, sayang?" tanya Herdinan saat melihat anaknya turun dari tangga.

Mentari mengangguk lesu. Cewek itu tiba-tiba merasakan lemas. Jantungnya berdegup lebih kencang juga.

"Senyum, sayang... Jangan cemberut..." ujar Herdinan lembut.

Mentari memaksakan sebuah senyum lebar tersungging di bibirnya. Padahal, saat ini Mentari sama sekali tidak mau tersenyum. Mood nya benar-benar hancur.

"Nah gitu. Ayok!" ujar Herdinan seraya menggandeng lengan Mentari menuju mobil yang terparkir manis di halaman rumahnya.

Mentari sengaja duduk di kursi belakang. Ia sedang merasakan marah, kecewa, sedih, dan sekaligus senang pada Ayahnya.

'Bun... Andaikan Bunda masih disini...' batin Mentari berbisik lirih. Bahkan, air mata langsung menggenang di pelupuk mata Mentari.

"Mentari? Jangan melamun, sayang..." ujar Herdinan yang pandanganya masih fokus pada jalanan di depanya.

"Iya..." sahut Mentari.

"Disana jangan main HP." entah untuk keberapa kalinya, Herdinan memperingati Mentari. Padahal, saat di rumah, Herdinan sudah memperingatkan hal tersebut pada Mentari.

"Ayah udah bilang itu lebih dari sepuluh kali." ujar Mentari yang sudah mulai geram sendiri. Cewek itu mendengus kasar.

Herdinan tertawa menanggapi Mentari yang sudah mulai kesal.

[•••]

"Bang!!! Dipanggil Mama di bawah!" teriak Britania—adik Jingga—di depan pintu kamar kakaknya itu.

Di dalam, Jingga mendengus sebal. Cowok itu membuka pintu kamarnya lalu menatap kesal adiknya. "Gak usah teriak-teriak juga, Tan..." ujar Jingga geram.

"Tan, Tan, Tan! Lo kira gue Tante-tante apa dipanggil Tan, Tan, Tan!" Britania mendengus sebal. Cewek itu segera pergi ke bawah. Menuju ruangan makan.

Jingga terkekeh menanggapi adiknya itu. Kemudian, Jingga menyusul Britania menuju ruangan makan. Cowok itu mengambil tempat duduk di sebelah Britania.

"Ngapain lo deket-deket gue, heh?!" protes Britania saat Jingga duduk di sebelahnya.

"Ada yang larang gue duduk di sebelah lo?" sinis Jingga.

"Ampun... Anak dua berantem mulu!" omel Gisel—Ibu Jingga dan Britania.

"Abang yang duluan, Ma!" adu Britania.

Jingga langsung melotot karena perkataan adiknya itu. Ia segera menggeleng. "Enak aja! Yang ada Tania duluan! Tania teriak-teriak di depan kamar aku!" bantah Jingga tidak mau kalah dari Britania.

"Diem... Sekarang, makan dulu." ujar Gisel yang sudah mulai geram pada ke dua anaknya itu.

Akhirnya, mau tidak mau, dua makhluk itu menghentikan aksi perdebatan mereka. Jika tidak, mungkin Gisel akan menghukum mereka dengan cara tidak memberikan mereka uang jajan selama satu minggu.

[•••]

"Mentari, kenapa makanannya gak dihabisin? Kenyang?" suara lembut itu langsung memasuki indera pendengaran Mentari.

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang