[18] Sehat?

104 8 10
                                    

Jingga menguap seraya meregangkan tubuhnya. Bukannya bangun, Jingga malah kembali menarik selimut berwarna merah maroon yang membalut tubuhnya sampai batas leher. Cowok itu kembali memejamkan matanya. Padahal, dari tadi alarm ponsel Jingga sudah berteriak nyaring.

"Bentar lagi..." ucap Jingga seraya mematikan alarm pada ponselnya.

Baru saja mau kembali memasuki alam mimpi, mata Jingga tiba-tiba terbuka lebar. Kantuk yang dari tadi menggelayuti dirinya, hilang begitu saja.

Cowok itu segera menyingkapkan selimut yang dari tadi membungkus badannya kemudian ia duduk di pinggiran kasur.

Ia hampir saja lupa. Hampir.

Dengan langkah yang terkesan cepat, Jingga mengambil handuknya yang tergantung di knop pintu kamarnya, kemudian berjalan menuju lantai bawah rumahnya.

Ia mau mandi. Sebenarnya, kamar Jingga ada kamar mandinya juga. Hanya saja menurut Jingga, kamar mandi utama lebih nyaman.

Kesadaran Jingga semakin pulih saat melihat Britania akan memasuki kamar mandi. Ia segera berlari, kemudian menarik baju bagian belakang yang Britania kenakan.

"Heh kunyuk! Gue dulu yang mandi!" ujar Jingga seraya masuk ke dalam kamar mandi.

"Lo apa-apaan sih, Bang?! Bang Jingga!"

Jingga terkekeh kecil saat mendengar omelan Britania dari luar kamar mandi. Ia tidak perduli pada Britania yang saat ini sedang menggedor-gedor pintu kamar mandi dari luar.

"Lo kesambet setan apaan dah?!"

Di dalam kamar mandi, Jingga tertawa. Kemudian, cowok itu menjawab, "gue kesambet setan cinta, Tan!"

[•••]

"Pagi..." Jingga tersenyum lebar pada cewek yang saat ini tengah sibuk memasang dasi di depannya. Bahkan, cewek itu sampai tidak sadar bahwa ada Jingga.

"Pag—eh?" cewek itu menatap Jingga dengan tatapan terkejut sekaligus bingung.

"Pagi, Mentari..." Jingga menyapa lagi. Bahkan, senyum cowok itu semakin lebar.

"Lo ngapain di sini?" tanya Mentari heran.

"Jemput lo," sahut Jingga enteng.

"Demi apa? Lo sehat kan?" Mentari menyentuh dahi Jingga, kemudian buru-buru melepasnya lagi. "Lo gak demam kok." lanjut Mentari.

"Udah deh, Ri... Jangan banyak bacot. Ayo naik. Nanti kesiangan," ujar Jingga seraya menyodorkan helm pada Mentari.

"Enggak deh, Ji... Gue bisa naik oj—"

"Gue ojek lo mulai hari ini," Jingha mendengus geli.

"Harus gue bayar dong?" tanya Mentari polos.

"Iya, bayar pake cinta lo aja," Jingga tertawa.

Mentari tiba-tiba merasakan ada jutaan kupu-kupu yang berterbangan dengan bebas di perutnya. Dia juga merasakan pipinya panas. Mentari baper.

"Apaan sih lo?!" ujar Mentari kesal. Ia menabok lengan Jingga.

"Cie baper..."

"Enggak! Ya udah ayo!" ujar Mentari seraya mengambil helm yang berada di tangan Jingga. Kemudian cewek itu naik ke atas motor Jingga.

"Udah siap?" tanya Jingga seraya melihat Mentari melalui kaca spion.

"Udah,"

"Pegangan. Supaya gak jatuh." ujar Jingga seraya mengambil lengan Mentari dan melingkarkannya di daerah pinggang Jingga.

Mentari melotot. Cewek itu segera menarik lengannya yang baru saja bertengger di pinggang Jingga.

"Jangan modus deh, Ji!" ujar Mentari seraya menoyor kepala Jingga.

"Iya, iya..." Jingga mengerucutkan bibirnya sebal.

Sesampainya di sekolah, Mentari segera turun dari motor Jingga dan melepas helm yang ia kenakan. Kemudian memberikan helm itu kepada Jingga.

"Ri, tunggu!" Jingga mengejar Mentari yang sudah jalan duluan.

"Lo kenapa ninggalin gue sih?" protes Jingga saat langkahnya sudah sejajar dengan langkah Mentari. Cowok itu merangkul pundak Mentari.

"Ih, Ji! Lepasin!" protes Mentari tidak terima. Ia berusaha melepaskan rangkulan Jingga. Tapi gagal karena tenaga Jingga lebih besar dari tenaganya. Akhirnya, ia hanya bisa pasrah.

Selama perjalanan menuju kelas, banyak sekali pasang mata yang memperhatikan mereka. Ada yang tatapan iri, bingung, kaget, dan masih banyak lagi ekspresi yang menurut Jingga sangat aneh dan lucu.

"Ji, lepasin ih! Malu-maluin tau gak?!" protes Mentari lagi. Sayangnya, Jingga seolah tidak mendengar protesan Mentari. Cowok itu tetap merangkul Mentari.

"Jing—ah, silahkan masuk kelas, bro, hehe!" kekeh Galang saat melihat Jingga merangkul Mentari. Tadinya, cowok itu mau langsung mengajak Jingga menuju kantin. Tapi, niat Galang hilang begitu saja saat melihat Jingga yang merangkul Mentari.

"Oke," sahut Jingga santai. Cowok itu memasuki kelas masih dengan merangkul Mentari.

"Udah lepasin!" Mentari melotot galak pada Jingga.

Jingga hanya terkekeh saat melihat wajah Mentari yang memerah entah karena malu atau marah. Cowok itu kemudian melepaskan rangkulannya. Sesuai permintaan Mentari.

Kanya yang melihat kejadian itu hanya bisa cengo. Bahkan, tatapan Kanya tidak lepas dari Mentari yang kini tengah duduk di sampingnya.

"Apa?" tanya Mentari heran saat melihat Kanya dengan wajah yang abstrak.

"Seriusan ini lo, Ri?!" Kanya menepuk-nepuk pipi Mentari agak keras.

Tidak terima, Mentari langsung menepis tangan Kanya dari pipinya. Kemudian cewek itu mengusap-usap pipinya yang terasa sakit. "Iya, ini gue! Kenapa lo?!" tanya Mentari jutek.

"Lo bareng Jingga ke sininya?"

Mentari menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Cewek itu mengangguk. "Gak ada, gak ada hujan, dia tiba-tiba udah nongkrong di depan rumah gue," ujar Mentari.

"Ri, lo sehatkan?"

Mentari mengangguk. "Emang gue keliatan sakit, ya?" tanya Mentari heran.

"Enggak, enggak! Maksud gue, otak lo sehatkan? Kok lo mau-maunya berangkat bareng Jingga?!" sahut Kanya heboh.

Mentari berdecak malas. "Emangnya kenapa? Lagian udah gue tolak, dia tetep maksa. Lo sirik, ya?" cetus Mentari tiba-tiba.

"Hih! Enak aja. Gue kan udah ada yang baru." jawab Kanya seraya mendelik sebal pada Mentari.

"Ya udah, anggap aja kejadian itu gak pernah ada, oke?"

[•••]

Happy reading♡

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang