[15] Siapa?

104 5 24
                                    

Mentari menghela nafas pelan, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Cewek itu bertopang dagu seraya menatap keluar jendela kelasnya. Masih pagi tapi hujan sudah turun dengan derasnya.

"GILA, GILA, GILA! BEDAK GUE LUNTUR, OH MY GOD, OH MY GOD, OH MY GOD!" teriak seseorang dengan hebohnya. Dia Sania. Si cewek yang tidak pernah absen dari kegiatan berdandan di manapun dan kapanpun itu.

"Makannya, kalau pake bedak liat kondisi!" sahut seseorang seraya tertawa mengejek. Orang itu Raka.

"Apa lo?! Sirik, hah, sama gue? Lo mau dandan juga?!" Sania tiba-tiba nyolot pada Raka.

Mentari mendengus sebal. Pagi-pagi begini, telinganya sudah disuguhi oleh teriakan-teriakan cempreng Sania—yang tentunya suara cempreng itu dibuat-buat. Bukan suara cempreng murni seperti suara milik Linda atau Febby.

"Berisik anjir! Diem lo pada!" amuk Didan yang merasa kegiatan tidurnya terganggu. Ya, cowok itu memilih tidur di kelas seraya menunggu bel masuk berteriak dengan lantangnya.

"Ya lo semua diem, bego!" teriak Mentari kesal. Cewek itu jadi naik darah karena pagi-pagi begini teman sekelasnya sudah ribut, dan marah-marah gak jelas.

Kelas tiba-tiba hening. Hening sekali. Hanya ada suara hujan yang beradu dengan benda yang berada diluar ruangan.

"Nah gitu dong. Diem semuanya." ujar Mentari yang nada suaranya turun satu oktaf.

Mentari melihat Didan kembali tidur, Raka yang kembali asik bermain dengan game online di ponselnya, dan Sania yang sudah duduk di bangkunya. Dan pastinya, Sania memperbaiki bedaknya yang luntur itu.

Sekarang, Mentari dilanda rasa bosan. Seriusan. Mentari gabud. Cewek itu bingung mau ngapain. Kanya dan sebagian murid kelasnya belum datang. Mungkin karena terjebak hujan. Akhirnya, Mentari mengeluarkan buku note-nya, dengan sebuah pulpen. Ia akan menuliskan sesuatu di sana.

"Kepada hujan.

Terimakasih telah menyembunyikan tangisku.
Terimakasih telah membuat perasaanku membaik saat diriku melihatmu.
Terimakasih atas segala ketenangan yang kau berikan.

Kepada hujan, bisakah aku meminta sesuatu padamu?
Bolehkah aku menitipkan rindu kepadanya?
Kepada seseorang yang sampai saat ini entah berada dimana.
Bolehkah aku memintanya?

Kepada hujan, tolong sampaikan salam rinduku untuk dia.
Seseorang yang telah membuatku mengenal rasa cinta.
Tolong sampaikan itu.

Sampaikan juga kepadanya, wahai hujan.
Bahwa, sampai saat ini aku masih merindukanya.
Dan juga, aku masih mencintainya.
Sungguh."

Mentari menutup buku note-nya, kemudian menghela nafas berat. Rasa sesak seketika memenuhi rongga dada Mentari. Entah mengapa, sampai saat ini, Mentari masih suka merindukan dia. Tapi, di sisi lain, Mentari juga kecewa dan marah kepadanya.

"Hayo... Abis ngapain lo?!"

Mentari mendongak dan menemukan Kanya yang tengah teesenyum jahil kepadanya. Mentari mengernyit. "Ngapain apanya?" tanya Mentari bingung.

Kanya makin tersenyum jahil, dan dengan secepat kilat cewek itu merebut buku note milik Mentari, dan membaca isinya. Tepat di lembar puisi yang baru saja Mentari tulis.

Mentari mendengus. Cewek itu diam saja saat Kanya merebut buku note-nya. Toh, isinya cuman puisi-puisi absurd bikinan Mentari.

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang