[21] Call

105 6 15
                                    

Mentari menguap. Ia mengucek beberapa kali matanya.

Melihat itu, Herdinan tersenyum lembut kemudian mengusap kepala Mentari dengan sayang.

"Kamu tidur aja kalau udah ngantuk," ujar Herdinan.

Mentari menggeleng. Film kesukaannya belum selesai. Dan Mentari harus menontonnya sampai habis.

"Ri, jangan maksain, sayang... Nanti sakit. Lagian kamu udah beberapakali nonton film ini." ujar Herdinan lagi. Tapi kali ini suaranya lebih tegas.

Mentari cemberut tetapi mengangguk juga pada akhirnya. "Ya udah, Mentari tidur dulu. Selamat malam, Yah..." ujar Mentari. Ia segera berjalan ke arah kamarnya.

Sesampainya di kamar, Mentari segera membanting tubuhnya ke atas kasur. Matanya segera terpejam. Tidak lama kemudian, ia sudah terlelap ke alam mimpi.

[•••]

Jingga berlari kecil ke arah kamar mandi. Cowok itu kebelet pipis.

Setelah selesai membuang hajatnya, akhirnya Jingga bisa bernafas lega. Namun, saat melewati kaca yang tertempel di dinding kamar mandinya, bulu kuduk Jingga tiba-tiba merinding.

Jingga teringat pada filn hantu yang tadi—sebelum tidur—sempat ia tonton. Mengingat itu, Jingga buru-buru berlari ke arah kasurnya. Kemudian ia segera memeluk guling kesayangannya sambil merapalkan doa di dalam hati.

"Mana udah jam setengah satu malem lagi, ah!" kesal Jingga. Cowok itu mencoba memejamkan matanya. Berusaha membuat rasa kantuk itu datang kembali.

"Sialan, gue gak ngantuk-ngantuk!" dengus Jingga kesal karena kantuknya tidak kunjung datang.

Merasa takut, akhirnya Jingga mengambil ponselnya dan menyalakan musik dari ponselnya itu. Mungkin dengan cara itu, rasa kantuk Jingga bisa datang lagi.

Satu setengah jam berlalu, Jingga tidak kunjung tertidur. Yang ada ia malah asik memainkan game di ponselnya itu.

"Njing! Gue kalah, sial!" dengus Jingga saat ia kalah dalam permainan itu.

Karena sudah dua kali kalah, akhirnya Jingga kesal sendiri. Dan ia segera keluar dari permainan itu.

Sekarang Jingga bingung harus apa. Akhirnya, satu ide muncul di kepala Jingga. Sedikit gila memang. Menelepon orang saat jam dua dini hari tanpa tujuan yang jelas.

Setelah menemukan kontak sang target, Jingga tersenyum dengan licik dan menelepon orang itu. Ia merasa lega saat nada tersambung terdengar dari ponselnya.

[•••]

Mentari melenguh pelan saat mendengar suara berisik dari ponselnya. Ia lupa tidak men-silent ponselnya.

Orang-orangan sawah calling...

"Ya Allah... Gue ngantuk!" kesal Mentari. Ia tahu siapa yang meneleponnya malam-malam begini. Jingga. Sebelumnya dia juga pernah menelepon Mentari malam-malam. Hanya saja, setelah Mentari reject, Jingga tidak meneleponnya lagi.

Akhirnya ia melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. me-reject telepon dari Jingga. Namun, baru beberapa saat ia tertidur, ponselnya kembali berbunyi nyaring.

Dengan kesal, akhirnya Mentari angkat. Lagi-lagi yang meneleponnya adalah Jingga.

"Lo gak ada kerjaan atau apa sih?! Gue ngantuk, bego!" ujar Mentari emosi.

"Ya sama. Gue juga ngantuk." sahut Jingga dari sebrang sana.

"Ya udah tidur aja sana! Jangan ganggu gue!" amarah Mentari tertahan. Ia menghembuskan nafasnya dengan kesal.

"Gue ngantuk tapi gak bisa tidur, Ri. Makannya gue nelepon elo juga. Gimana sih, ah!" Jingga mendengus sebal.

"Orang-orangan sawah bebas!" ujar Mentari ketus.

"Hah?! Lo nyebut gue apa?!"

"Orang-orangan sawah. Soalnya waktu lo dihukum dan disuruh berdiri di tengah lapang, lo persis banget kayak orang-orangan sawah," Mentari mendengus geli saat mengingatnya. "Baju seragam lo kegedean, mana bajunya dikeluarin pula! Celana pensil, berdiri di tengah lapang sendirian sambil hormat. Persis banget!" lanjut Mentari.

"Sialan! Tapi..., diem-diem ternyata lo merhatiin gue. Aduuuhh... Terhura gue!" Jingga tergelak.

Mentari mendengus dengan sebal. Tapi ia merasakan pipinya memanas. "Enak aja! Lagian, lo jadi bahan tontonan anak satu sekolah." ujar Mentari.

"Ri, kalau gue jadi orang-orangan sawah, lo jadi padinya aja. Biar bisa gue jagain dari burung-burung nakal, hahaha!" ujar Jingga yang tiba-tiba keluar dari topik.

"Lha, gak nyambung bego!" Mentari terkekeh pelan karena perkataan absurd Jingga.

"Nyambung-nyambungin aja kayak hubungan aku sama kamu." ujar Jingga dengan kalem.

Mentari diam. Pipinya tiba-tiba memanas. "Makin ngelantur aja lo!" balas Mentari seraya mengigit bibir bawahnya gemas. Jujur, ia agak baper oleh perkataan Jingga.

"Ih, gue serius, Ri!" di sebrang sana, Jingga memberenggut dengan kesal.

"Hmm..." Mentari hanya bergumam. "Tapi, ya, Ji..., kalau lo jadi orang-orangan sawah, gue mau jadi tai kerbau aja." ujar Mentari seraya tersenyum dengan licik. Satu ide tercetus di otaknya.

"Lho, kok malah jadi tai sih? Kan gak ada hubungannya antara orang-orangan sawah dan tai kerbau." Jingga terkekeh pelan.

Mentari semakin tersenyum dengan licik. "Iya, memang gak ada hubungannya. Kayak gue sama elo. Gak ada hubungannya!" Mentari tergelak saat mendapatkan respon dari Jingga. Cowok itu diam.

Akhirnya, sesudah beberapa terdiam, Jingga berdeham dan angkat suara. Cowok itu terdengar seperti tertawa kecil.

"Oh... Jadi Mentari pingin punya hubungan nih sama Jingga? Oke, Jingga siap lahir batin kok." ujar Jingga.

Sialan! Mentari salah ngomong!

"Ih, enggak! Na—najis, deh, kalau gue punya hubungan sama lo." ujar Mentari dengan gugup.

"Gak usah malu-malu bangsat kayak gitu, Mentari..." ujar Jingga kalem.

Mentari yang semakin malu akhirnya tanpa berkata-kata mengakhiri panggilan telepon itu dan segera me-non aktifkan ponselnya.

"Malu banget, anjir! Mau ditaruh di mana muka gue?" ujar Mentari gemas pada dirinya sendiri.

Akhirnya, tidak mau memikirkan hal itu semakin lama, Mentari memilih kembali tidur. Mencoba untuk melupakan kejadian tadi. Walau untuk sementara.

[•••]

HOLLA!!!

Kejutan tidak?

Akhirnya saya kembali gengs, wkwkwk.
Bagaimana? Ada yang kangen?

Kangen Jingga sama Mentari maksudnya. Wkwkwk.

Dan bagaimana dengan chapter ini?

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang