[28] Mood booster (?)

59 9 19
                                    

Benua terdiam. Menatap kosong televisi di depannya yang sedang menayangkan siaran sepak bola secara langsung.

Entah mengapa, hari ini Benua tiba-tiba saja merindukan masa kecilnya. Dan ya..., ia juga merindukan Mentari.

Mentarinya yang murah senyum.
Mentarinya yang banyak bercerita.
Mentarinya yang banyak tertawa bersamanya.
Mentarinya yang hangat.

Ia merindukan semuanya dari sosok Mentari yang dulu.

Bahkan ia tidak menyangka jika perubahan Mentari mampu membuat hatinya sakit. Membuat hatinya patah.

Mentarinya berubah menjadi sosok yang ketus, pendiam, dan dingin terhadap Benua.

Terkadang Benua ingin kembali ke masa lalu. Mengubah semuanya. Namun apa daya. Nasi sudah menjadi bubur.

Terkadang juga, Benua memaki dirinya sendiri karena kebodohannya di masa lalu. Kebodohannya yang—mungkin—menjadi faktor Mentari berubah menjadi sosok yang berbeda di hadapan Benua.

Dan sesuatu yang Benua takutkan dari dulu sudah terjadi.

Orang yang ia sayang berubah.

Mentari berubah.

Tetapi hati kecilnya berkata lain. Hati kecilnya berkata bahwa setiap manusia berhak berubah.

Karena seiring berjalannya waktu, setiap manusia akan berubah.

Dan Benua percaya itu.

[•••]

Sekarang hari Sabtu. Hari dimana Mentari bisa tidur lebih lama daripada hari biasanya karena sekolahnya libur.

Namun tidur nyenyaknya terganggu saat pintu kamarnya diketuk dengan tidak sabaran.

Dengan malas, Mentari duduk di pinggir kasurnya. Menormalkan pandangannya yang sempat mengabur dan kepalanya yang tiba-tiba pusing.

Setelah dirasa membaik, ia segera membuka pintu kamarnya.

"Apa?" tanya Mentari ketus.

"Sarapan, Ri. Udah ditunggu Ayah." ujar Benua dengan nada selembut mungkin.

"Kenapa sih lo selalu bawa-bawa nama Ayah ketika nyuruh gue ke lantai bawah buat sarapan atau semacamnya?" sembur Mentari kesal. Moodnya seketika hancur berantakan.

"Kan aku bener. Aku disuruh Ayah." sahut Benua tidak mau kalah.

"Oh... Sekarang lo udah jadi pembokatnya Ayah ya?" Mentari terkekeh kecil.

Benua diam. Ia menatap Mentari dalam.

"Apa lihat-lihat? Nanti naksir!" ujar Mentari setelah menyadari bahwa Benua terus menatap dirinya.

Benua mendengus. "Aku udah naksir kamu dari lama." sahutnya.

"Ah tapi waktu itu bilangnya udah punya pacar padahal mah masih jomblo," Mentari tertawa sarkastis. Ia mengibaskan tangannya—gestur mengusir—pada Benua. "Udah sana. Nanti gue nyusul." lanjut Mentari.

Setelah menutup pintu kamar dan menguncinya, Mentari segera berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya.

Kemudian ia tertawa. Menertawakan kebodohannya di masa lalu.

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang