[13] Perhatian

109 8 6
                                    

"Mentari..." panggil seseorang yang entah siapa itu.

Mentari mengerjapkan matanya pelan. Ia merasakan kepalanya berdenyut sakit dan hidungnya mampet. Sekarang, Mentari sedang berada di atas kasur UKS. Semenjak sadar dari pingsanya, Mentari lebih memilih istirahat di UKS dari pada mengikuti pelajaran di kelas. Yang ada, nanti Mentari semakin pusing.

"Makan dulu, ya?" Mentari menoleh dan menemukan Kanya tengah duduk di pinggir kasur UKS dengan semangkuk bubur di tanganya.

Mentari menggeleng pelan. Ia sedang tidak mau makan. Selera makanya hilang begitu saja.

"Makan dulu, ya, Ri? Gak kasian sama tubuh lo? Nanti lo makin sakit." Kanya bersuara lagi.

"Gue gak nafsu makan, Nya..." ujar Mentari pelan namun masih bisa didengar oleh Kanya.

"Lo balik ke kelas lagi sana! Biar gue yang urus si cewek batu ini!" sahut seseorang. Derap langkahnya terdengar semakin dekat.

"Eh? Jingga? Lo ngapain disini?" tanya Kanya heran.

"Lo balik lagi aja ke kelas, Nya. Lima menit lagi istirahatnya udahan. Masalah Mentari, biar gue yang urus." ulang Jingga sekali lagi. Cowok itu merebut mangkuk bubur yang ada di tangan Kanya.

"Tapi kan, berarti lo juga harus masuk." ujar Kanya. Cewek itu ingin menemani Mentari di UKS. Dan juga, agar Kanya terhindar dari pelajaran Ekonomi dengan alasan menemani Mentari di UKS.

"Gue udah biasa bolos, Nya... Gak baik cewek bolos." sahut Jingga kalem. "Minggir, minggir..." usir Jingga pada Kanya.

Kanya mendengus sebal. "Ya udah! Tapi jangan apa-apain Mentari, ya! Kalau sampe ada apa-apa sama Mentari, gue bakal jadiin lo daging cincang!" ancam Kanya seraya keluar dari ruangan UKS.

Jingga mendengus geli. Lagian, ngapain Jingga melakukan hal yang aneh-aneh pada Mentari? Dan juga, emang Kanya berani membuat Jingga menjadi daging cincang? Mustahil.

Jingga menatap Mentari yang masih berbaring di atas kasur UKS. Tubuh Mentari diselimuti hingga batas leher. Mata cewek itu terpejam.

"Mentari? Lo tidur?" tanya Jingga seraya mengguncangkan tubuh Mentari pelan.

Sebenarnya, Mentari tidak tidur. Cewek itu hanya memejamkan matanya saja. Dari tadi juga, Mentari mendengarkan percakapan antara Kanya dan Jingga.

"Mentari? Bangun, hei!" Jingga menepuk-nepuk pipi Mentari pelan.

Mentari membuka matanya kemudian menatap Jingga. "Lo ngapain disini?" tanya Mentari.

Jingga tersenyum hangat. Senyum yang membuat perut Mentari mulas seketika. Apalagi tatapan teduh milik Jingga. Bikin perut Mentari tambah mulas saja.

"Gue mau temenin lo. Sekarang lo makan, ya?" tawar Jingga.

Mentari menggeleng.

"Ayolah, Ri... Kalau lo makin sakit gimana?" Jingga masih berusaha membujuk Mentari.

"Biarin. Bodo amat." sahut Mentari acuh.

Jingga mendengus. "Cowok ganteng harus sabar." gumam Jingga pada dirinya sendiri.

"Mending lo balik ke kelas sana!" usir Mentari. Kalau sedang tidak sakit, mungkin Mentari akan menendang Jingga hingga cowok itu terpental.

"Gak mau." Jingga tersenyum lebar.

"Balik gak?" Mentari menatap Jingga tajam.

"Gue bakal balik ke kelas kalau lo udah makan." ujar Jingga santai.

"Gue lagi gak mood, Ji..." ujar Mentari.
"Ya paksain. Dari pada perut lo kosong. Makin sakit nanti." sahut Jingga.

"Gue gak mau makan." ujar Mentari masih pada pendirianya.

"Ya udah. Gue juga gak bakal balik ke kelas." Jingga menaruh mangkuk bubur itu di lantai UKS. Kemudian, cowok itu bersedekap seraya memandangi Mentari intens.

Merasa risih karena terus diperhatikan oleh Jingga, akhirnya Mentari angkat bicara. "Ngapain lo liat-liat gue?" tanya Mentari sinis.

"Bebas dong. Mata gue ini. Ngapain lo yang ribet?" balas Jingga.

Mentari mendengus. Cewek itu memejamkan matanya untuk kembali tidur. Ia tidak mau berurusan lebih lama dengan Jingga. Bisa-bisa, kepalanya meledak nanti.

"Eit! Lo ngapain tidur lagi? Lo belum makan." ujar Jingga. Cowok itu dengan cepat menepuk pelan pipi Mentari.

Mentari membuka matanya dan menepis tangan Jingga yang sedang menepuk-nepuk pipinya. Jingga memang nyebelin. "Lo rese tau gak?! Nyebelin! Gue mau istirahat malah diganggu!" ujar Mentari kesal.

"Gue gak bakal ganggu lo kalau lo mau makan." Jingga tersenyum miring.

"Gue gak mau makan, astagfirullah..." Mentari mendengus sebal. Kepalanya makin berdenyut sakit.

"Makan atau gue telepon Ayah lo?" ancam Jingga. Cowok itu mengeluarkan ponselnya dan menunjukan kontak Ayah Mentari yang tersimpan di ponselnya. Kemudian, Jingga tersenyum penuh kemenangan saat melihat raut wajah Mentari yang tiba-tiba pias.

"Please, jangan telepon Ayah gue..." pinta Mentari. Ia menatap Jingga dengan pandangan sendu.

"Ya udah lo harus makan. Kalau gak makan, gue telepon Ayah lo sekarang juga. Tadi gue udah minta dari ruang tata usaha." ujar Jingga mengulang ancamanya. Memang, tadi Jingga sempat mendatangi ruangan tata usaha untuk menanyakan nomer telepon Ayah Mentari.

"Oke fix! Gue makan!" ujar Mentari pada akhirnya. Ia tidak mau Jingga menelepon Ayahnya. Biarlah Ayahnya tau sendiri.

"Nah gitu dong," Jingga tersenyum lebar. Cowok itu menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya kemudian ia mengambil mangkuk bubur yang tadi disimpan di lantai UKS. "Aaaaaa...." Jingga mengeluarkan suara. Cowok itu menyodorkan sesendok bubur pada Mentari.

Mentari mendengus kemudian memakan bubur yang berada di atas sendok yang Jingga sodorkan itu dengan enggan. "Gue bisa makan sendiri, Ji..." ujar Mentari setelah bubur di dalam mulutnya tertelan.

"Biarin. Supaya so sweet." sahut Jingga acuh. Cowok itu kembali menyodorkan sesendok bubur pada Mentari. "Pesawat datang... Ngiung-ngiung-ngiung..." ujar Jingga seraya terkekeh. Ia memasukan sendok bubur itu ke dalam mulut Mentari.

Mentari tertawa geli saat melihat tingkah Jingga. "Itu suara ambulance, bego!" ujar Mentari seraya tartawa pelan.

"Biarin. Nanti gue ciptain pesawat yang bunyinya kayak sirine ambulance." Jingga masih terkekeh. Ia senang bisa membuat Mentari tertawa.

"Mana bisa!"

"Gak ada yang gak mungkin di dunia ini." sahut Jingga.

Tanpa Mentari ketahui, hati Jingga terasa menghangat saat melihat Mentari tertawa seperti itu.

Dan tanpa Jingga ketahui, hati Mentari juga merasakan hal yang Jingga rasakan. Ditambah lagi, jantung Mentari yang berdegup lebih kencang, dan darahnya berdesir lebih cepat.

[•••]

Mmm, jadi anu... Itu Jingga sama Mentari anu.. Itu lho... Aduh...

Ah sudah lah. Lupakan saja~

Mentari JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang