Hai, guys...
Cerita ini bukan sekuel dari Perjodohan Romantis sebelumnya. Cerita kali ini sedikit berbeda, nggak tau mana yang lebih bagus menurut kalian.Happy reading...
****
"Hp kamu bunyi, tuh."
Aldo tersentak. Cowok itu bergegas memungut ponselnya yang tergeletak di atas meja cafe, tak jauh dari cangkir kopi. Ia berpikir sesuatu tadi, sampai-sampai tak sadar jika benda itu bergetar dan harus diberitahu oleh Reno.
Dari mama.
"Ya, Ma."
"Kamu di mana?" tanya Mama dari ujung sambungan telepon.
"Di cafe. Kenapa?" tanya Aldo berlagak bodoh. Padahal ia sudah tahu jawaban pertanyaannya. Mama pasti akan kelimpungan mencarinya jika jam sudah menunjuk angka sepuluh, tapi ia belum menunjukkan batang hidungnya di rumah.
"Ya, udah. Cepet pulang sebelum Papa marah," sahut Mama lagi setengah mengancam.
"Ok."
Aldo menutup sambungan telepon dan meletakkan benda ajaib itu ke tempat semula di atas meja. Cowok itu menyesap kopinya yang mulai berangsur dingin.
"Dasar anak Mama," olok Reno dengan senyum sinis terselip di bibirnya. Ia sudah terlalu hafal dengan jalan hidup Aldo yang sebagai anak tunggal, selalu dipantau keberadaannya terutama oleh mama. Wanita itu bisa puluhan kali menelepon Aldo saat anaknya itu sedang berada di luar rumah.
"Apaan sih," gerutu Aldo cemberut. Olokan semacam itu sudah sering mampir di telinganya. Membuat cowok itu semakin kebal dengan sebutan 'anak mama'.
"Cepet pulang sana. Jangan sampai Mamamu ngomel gara-gara kamu pulang telat," suruh Reno dengan gaya santai.
Aldo melenguh pelan. Bahkan sahabatnya sendiri juga berniat mengusirnya dari kursi cafe yang sudah terlanjur terasa nyaman melekat di pantatnya.
"Jadi, kamu juga ingin mengusirku?" tanya Aldo mengekspresikan rasa kesal dengan membesarkan bola matanya.
Reno terbahak menatap wajah Aldo yang sudah berubah tak seramah tadi.
"Bukan mengusir," ralat Reno setelah menghabiskan seluruh tawanya. "cuma kasihan sama Mama kamu. Pasti dia sedang galau nungguin putranya nggak pulang-pulang," imbuh cowok itu.
Aldo mesem. Cowok itu menyesap kembali kopinya sampai tak bersisa lalu mengangkat pantat dari atas kursi. Cafe sudah mulai ditinggalkan para penghuninya karena jam operasionalnya akan berakhir kurang dari sejam lagi.
"Aku balik dulu, Sob," pamit Aldo sejurus kemudian. Ia berjanji akan kembali mengunjungi cafe milik Reno nanti, saat ia memiliki waktu senggang. Karena berbagai macam kesibukan di kantor terlalu sulit untuk dihindarinya.
Rasanya jam 10 malam belum terlalu larut bagi Aldo dan cowok-cowok seumurannya, berkeliaran di luar hanya untuk sekadar nongkrong di cafe. Bersosialisasi di luar rumah sangat penting bagi mereka dan juga Aldo. Cara semacam itu biasanya efektif untuk melepas ketegangan akibat pekerjaan dan rasa bosan yang kerap mendera manusia-manusia penghuni daerah perkotaan, tak terkecuali Aldo.
Cowok itu tiba di rumah 15 menit kemudian. Jalanan cukup lancar di jam-jam menjelang tengah malam. Lagipula ini bukanlah akhir pekan dan cuaca cukup bersahabat. Langit cerah meski hanya bulan separuh yang tampak menggantung di atas sana.
"Tumben belum tidur, Pa?" sapa Aldo ketika sampai di ruang tamu rumahnya. Cowok itu menenteng jas miliknya sembari melangkah ke sofa. Di sana ia lalu menjatuhkan tubuh dan menghembuskan napas panjang.
"Dari mana saja, Do? Jam segini baru pulang?" tegur Papa sambil menatap putra semata wayangnya lamat-lamat. Sedangkan Mama tampak diam di sebelah Papa. Memberi kesempatan pada laki-laki di sampingnya untuk sedikit menginterogasi Aldo.
"Dari cafe Reno, Pa," jawab Aldo kalem.
"Kamu nggak capek, pulang kerja langsung ngelayap seperti itu?" tanya Papa sejurus kemudian. Wajahnya tampak datar. Tanpa ekspresi marah atau apapun.
"Kan nggak setiap hari main ke tempat Reno, Pa," timpal Aldo santai.
"Kamu itu, kalau dibilangin orang tua pasti ngejawab," sahut Mama menyela. Wanita itu memperlihatkan wajah kesal karena ulah putranya.
Aldo tak menjawab lebih lanjut. Jika Mama sudah mengomel, itu pertanda ia harus diam. Mama paling tidak suka jika ucapannya didebat.
"Lain kali jangan pulang terlalu malam. Kasihan Mama kamu nungguin terus," ucap Papa setelah beberapa saat tak ada obrolan. Laki-laki itu tak membiarkan percakapan mereka terhenti begitu saja.
"Iya, Pa." Cowok itu mengiyakan nasihat Papa seraya mengangguk pelan. Sebenarnya kalimat seperti ini sudah beberapa kali ia dengar, lalu diabaikannya seperti sengaja lupa. Mengulangi hal yang sama dan Papa akan mengeluarkan kalimat yang serupa. Semua karena sikap Mama yang terlalu overprotective pada Aldo.
"Makanya, Pa. Aldo kita nikahkan saja," ucap Mama menimpal dengan cepat.
Aldo tercekat. Menikah? batinnya seperti baru saja tersengat listrik tegangan tinggi. Cowok itu sampai melipat keningnya karena tak sanggup menyembunyikan rasa kaget.
"Memangnya Aldo sudah punya calon?" tanya Papa masih dengan ekspresi wajah tenang. Laki-laki itu seperti hanya berbicara pada istrinya dengan mengabaikan keberadaan Aldo.
"Ya, kita jodohkan saja," jawab Mama dengan enteng. Wanita itu melirik putranya yang masih belum bisa menormalkan kembali ekspresi wajahnya. Tampaknya ia penasaran ingin melihat bagaimana reaksi Aldo mendengar rencana itu.
"Dijodohkan? Yang benar aja, Ma," ucap Aldo hampir memekik saking paniknya. Rencana Mama benar-benar membuatnya seperti kehilangan akal. Perjodohan rasanya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.
"Emangnya kamu sudah punya calon?" desak Mama berniat menyudutkan putranya sendiri. "kalau sudah, Mama dan Papa tinggal melamar dan menentukan hari pernikahan kalian," imbuh Mama lagi.
Aldo mendengus sebal. Wanita itu sengaja mencari-cari celah untuk membuat Aldo terpojok dengan membahas soal 'calon' dan rencana pernikahan. Padahal Mama sangat tahu jika Aldo tidak memiliki kekasih dan ia sedang tidak dekat dengan gadis manapun di dunia ini. Mayoritas teman Aldo adalah cowok dan dua kali patah hati sudah cukup membuatnya enggan untuk mencari pasangan, apalagi untuk menikah. Soal menikah, mungkin ia akan memikirkannya nanti. Yang jelas bukan sekarang.
"Gimana, Do?" sentak Papa. "apa kamu sudah punya calon?"
Huh. Papa juga sama saja. Di balik sikapnya yang tenang dan tampak datar-datar saja itu tersimpan dukungan 100% pada Mama. Laki-laki itu bersembunyi di balik punggung Mama untuk mendesak Aldo agar segera menikah.
"Belum, Pa," jawab Aldo lemah. Memangnya ia punya pilihan apa selain menjawab 'belum'?
"Makanya, biar Mama cariin," sela Mama tampak antusias. "Mama akan mencarikan kamu calon istri yang terbaik. Gimana? Kamu setuju, kan?"
Aldo terdiam. Wajahnya tampak ditekuk malas. Apa tampang seperti itu tampak sebagai orang yang antusias untuk dijodohkan?
"Aldo capek, Ma. Mau istirahat dulu," pamit Aldo menghindari pertanyaan Mama. Cowok itu bergegas bangkit dari sofa dan melangkah menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Jelas-jelas ia sengaja ingin melarikan diri dari desakan mama yang seakan terus memojokkannya untuk segera menikah.
Mama-lah yang tampak paling kecewa melihat reaksi Aldo. Wanita itu berkali-kali harus menghembuskan napas kesal karena merasa diabaikan oleh putranya sendiri. Tapi, ia masih tak kehilangan harapan soal perjodohan yang sudah tersusun rapi dalam kepalanya. Tunggu waktunya, Do, batin Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis (season 2) # Complete
SonstigesDi dunia ini, tidak ada seorangpun yang ingin terlambat menikah. Sebagian orang menargetkan untuk menikah pada usia tertentu, tapi rencana manusia selalu terkalahkan oleh takdir. Target tak selalu tepat sasaran. Jodoh setiap orang berbeda-beda waktu...