part 22

18.8K 358 0
                                    

Sshhh.

Aldo mengepalkan tangannya seraya mendengus ke udara. Cowok itu sedang kesal sekarang. Bagaimana ia tidak kesal melihat Audy--gadis menyebalkan itu-- sedang melangkah keluar gerbang kampus ditemani dua cowok yang lumayan keren. Meski Aldo merasa lebih keren dari mereka, tetap saja hal semacam ini bisa merusak hubungannya dengan Audy. Bukan mereka saja, masih ada tiga gadis lagi di sebelah Audy. Tapi, yang membuat Aldo kesal adalah ekspresi Audy yang tampak gembira dan akrab saat berbincang dengan teman-teman cowoknya. Bahkan gadis itu sempat terlihat mengurai tawa dan nyaris terbahak saat ngobrol dengan teman-temannya. Sebenarnya apa sih, yang mereka bicarakan sampai-sampai Audy bisa segembira itu?

Yes. He's jealous.

Dan sialnya, tanpa diminta, rasa cemburu itu menggelayuti pikiran Aldo tiba-tiba. Di saat bersama dengannya, Audy tidak pernah menunjukkan ekspresi gembira semacam itu. Ia hanya disuguhi pemandangan cuek dan jutek oleh gadis itu. Jangankan tertawa, tersenyum saja tak pernah gadis itu lakukan di depan Aldo. Gaya bicaranya saja datar seperti papan pencucian. Dan hal ini membuat Aldo uring-uringan.

Audy menghentikan tawa serta obrolannya begitu matanya menangkap bayangan Aldo tak jauh dari depan pintu masuk kampus. Gadis itu seketika merubah ekspresi wajahnya menjadi seperti yang biasa Aldo lihat. Jutek? Iya.

Gadis itu melambaikan tangan ke arah teman-temannya sebelum memisahkan diri dari mereka dan melangkah ke tempat Aldo berada. Cowok itu berdiri persis di sebelah mobilnya yang terparkir di tepi jalan tak jauh dari pintu gerbang kampus. Ia meninggalkan jam makan siangnya demi bisa menjemput gadis itu. Pengorbanan apa lagi yang tidak diberikan Aldo untuk gadis itu?

"Menungguku?" tegur Audy setelah tiba di hadapan Aldo. Ekspresi dan nada suaranya sama-sama datar.

Sudah tahu masih juga bertanya. Mau menguji kesabaranku?

Aldo mengangguk. Ia terlalu malas untuk mengeluarkan kata-kata kali ini. Cowok itu bergegas masuk ke dalam mobilnya, begitu juga dengan gadis itu.

"Tumben diam aja," tegur Audy memecah kesunyian. Setelah mobil yang mereka tumpangi melaju di atas jalanan menuju rumah Audy. Dan cowok itu sama sekali belum membuka mulut sejak tadi. Raut wajahnya juga ditekuk. Tak seperti biasanya.

Aldo hanya mendehem menanggapi ucapan Audy. Kalau saja tadi ia tidak melihat gadis itu dengan teman-temannya, ia tidak akan bersikap seperti sekarang. Ia pasti akan berceloteh ke sana dan kemari seperti yang biasa ia lakukan saat berdua dengan gadis itu.

"Sakit?" tanya Audy kembali. Tampaknya gadis itu belum puas sampai berhasil memancing Aldo buka mulut.

Cowok itu tersenyum pahit mendengar pertanyaan gadis itu.

"Kalau aku sakit, memangnya kamu peduli?" balas Aldo seraya melirik gadis itu. Terus terang ia masih kesal dengan Audy sampai detik ini.

Audy mengerutkan kening.

"Kan ada dokter," sahut Audy. "kalau sakit ya, pergi ke dokter dong," lanjutnya terkesan dingin.

Duh, nih cewek tega banget. Keterlaluan banget, sih.

"Kalau aku mati, gimana?" pancing Aldo kemudian. Karena jawaban Audy sebelumnya sangat mengecewakan buatnya.
Gadis itu sudah membuatnya kesal sejak pertama dilihatnya tadi. Lalu sekarang ia menambahnya lagi dengan ucapannya yang menyebalkan itu. "apa kamu hanya peduli dengan lingkungan dan anak itu, tapi sama sekali nggak peduli padaku? Apa itu bisa disebut sebagai rasa kemanusiaan?" cecar Aldo bertubi-tubi seolah ingin mengeluarkan segenap kekecewaan dari hatinya.

Tangan Aldo mencengkeram erat kemudi. Ia hanya bisa melampiaskan kekesalan hatinya dengan cara itu. Tidak mungkin ia menaikkan nada suaranya pada level tertinggi di depan gadis itu. Karena ada image dan hati yang mesti ia jaga. Demi gadis itu dan perjuangan keras untuk mendapatkan hatinya. Dan itu terlalu sulit. Ketampanan fisik saja tak bisa menaklukkan gadis itu.

Audy menoleh tajam ke arah Aldo. Kalimat Aldo benar-benar mengusik indera pendengarannya kali ini.

"Hei, kok ngomong gitu sih? Aku kan hanya bercanda," ucap Audy sedikit tegang. Ia memaksakan sebuah senyum kaku di bibirnya. Ada aura kecemasan terpancar di wajahnya.

Aldo tak langsung memberi tanggapan. Cowok itu mengurangi kecepatan dan kemudian menepikan mobilnya. Padahal rumah Audy masih beberapa menit lagi dari tempat itu

"Dy." Aldo menatap tajam ke arah gadis itu setelah mobilnya benar-benar berhenti. "aku punya nama dan kamu tahu itu. Apa buatmu terlalu sulit menyebut namaku?" tanya cowok itu berniat menyudutkan Audy. Ia masih belum kehilangan kesabaran menghadapi gadis itu. Tapi, sesekali ia ingin memberi pelajaran padanya. Aldo hanya ingin menunjukkan kesungguhannya pada gadis itu dengan caranya sendiri.

Audy bergeming. Mengedip pun tidak. Ia masih tidak bisa mempercayai jika Aldo sanggup menohok hatinya. Bahkan tatapan cowok itu sanggup mengunci gerak geriknya.

"Dan sejak kapan kamu bisa bercanda kayak gitu?" cecar Aldo lagi seolah tidak ingin memberi kesempatan bagi gadis itu untuk menjawab salah satu pertanyaannya. Biar sekalian ia memuntahkan segenap unek-unek yang selama ini bersarang di dalam pikirannya. Tentang sikap Audy yang seolah ingin menganaktirikan dirinya. "kamu bisa ngobrol, bercanda, tertawa lepas saat bersama temen-temen kamu. Tapi, saat kamu bersamaku, kamu bersikap sangat dingin. Apa selama ini aku pernah punya salah sama kamu? Kalau emang aku punya salah, aku minta maaf. Aku akan memperbaiki sikapku. Kamu tahu, aku merasa kamu kayak menjadi orang lain saat bersama temen-temen kamu. Dan saat bersamaku, kamu menjadi pribadi yang lain lagi. Apa emang kamu orang kayak gitu?"

Audy menggeleng tanpa sadar. Seolah sedang berusaha menyangkal segala tuduhan yang dilontarkan Aldo padanya.

"Nggak gitu." Gadis itu menggumam pelan. Tatapan Aldo yang tajam bak pisau memaksanya harus kembali menatap ke depan mobil. Ia tidak akan sanggup membalas tatapan yang sama atau setidaknya bertahan untuk tidak berpaling. "ayo, jalan," suruh gadis itu malah mengalihkan topik pembicaraan.

Aldo melongo menatap reaksi gadis itu. Di saat ia bicara serius, sengaja ingin memojokkan gadis itu habis-habisan, Audy malah menyuruhnya untuk kembali menjalankan mobil. Padahal perbincangan belum selesai!

Aldo mendesah dengan keras. Ia tidak akan tega memarahi gadis itu atau bicara lebih keras dari sebelumnya. Jika Audy masih punya perasaan, kata-kata Aldo tadi pasti sudah menusuk hatinya. Dan tak perlu memakai nada yang keras. Cukup melontarkan kalimat yang pedas.

Tidak. Aldo tidak akan memukul kemudi hanya untuk melampiaskan kemarahannya. Ia memilih menekan egonya sendiri dan mulai menjalankan mobilnya pelan-pelan kembali ke aspal. Dengan menahan serentetan sumpah serapah di dalam hatinya. Sungguh, ini adalah pertama kalinya ia merasa diabaikan sedemikian dahsyatnya. Meski ia pernah patah hati dua kali, tapi, saat ini apa yang dirasakannya lebih dari semua itu.

Biar.

Toh, Audy sudah mendengar semua isi hati Aldo. Mau marahpun percuma. Tenaga Aldo belum terisi siang ini. Jadi, ia tidak akan membiarkan energinya terkuras habis hanya untuk sebuah kemarahan bagi gadis yang disukainya. Ia akan makan siang setelah mengantar Audy pulang.

Perjodohan Romantis (season 2) # CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang