part 9

24.3K 446 1
                                    

"Tumben pesen Americano," tegur Reno. Cowok itu meletakkan cangkir pesanan Aldo di atas meja. Bukan kebiasaan Aldo memesan Americano. "kenapa? Jalan hidup kamu sedang pahit-pahitnya?" sindir Reno dengan menahan gelak. Ia mengambil tempat duduk di seberang kursi Aldo.

Aldo memaksakan sebuah senyum.

"Nggak boleh ganti selera?" tanya cowok itu dengan malas.

Reno benar-benar tergelak kali ini. Ia menyadari jika sahabatnya itu sedang dirundung masalah. Haruskah ia memaksa Aldo untuk mengatakan apa permasalahannya?

"Boleh." Reno berdehem setelah menyelesaikan gelak tawanya. "kenapa? Ada masalah?" desak cowok itu sejurus kemudian. Berharap Aldo mau membagi kisah hidupnya seperti biasa.

Aldo menarik napas.

"Pernah kebayang nggak, di zaman sekarang kamu dijodohin? Kamu dipaksa menikah dengan seseorang yang sama sekali nggak kamu kenal? Masih mending kalau itu temen masa kecil atau temen sekolah," ucap Aldo tanpa jeda.

Lalu apa reaksi Reno? Cowok itu melongo menatap wajah sahabatnya yang kusut seperti pakaian yang tidak disetrika. Ia mengembangkan senyum dua detik kemudian.

"Kenapa? Kamu sedang menertawakanku?" cecar Aldo cepat.

Tapi, Reno menggeleng.

"Nggak," sahutnya. "emangnya siapa yang sedang kamu bicarakan? Kamu sendiri?" tanya Reno setengah berlagak bego.

"Emangnya siapa lagi?" gumam Aldo tak bersemangat. Ia ingin segera mencicipi Americano buatan sahabatnya, tapi asap tipis masih mengepul dari mulut cangkirnya.

Reno tersenyum kembali. Persis seperti dugaannya.

"Hei, namanya jodoh itu bisa datang lewat jalan yang misterius, Do," ucap Reno. "bisa ketemu di jalan, tempat kerja, atau tempat-tempat nggak terduga lainnya. Bisa juga dikenalin temen, saudara. Nah, dijodohin juga salah satunya. Berarti jodoh kamu udah datang, meski harus lewat jalan perjodohan. Ngerti nggak?" papar Reno panjang seperti pidato.

"Tapi, nggak gini juga kali, Ren. Masa seorang cowok sekeren Aldo harus dijodohin, sih? Emang aku nggak bisa nyari sendiri, apa?" omel Aldo menaikkan nada suara. Urat-urat di lehernya tampak jelas terlihat. 

Tawa Reno langsung meledak pecah mendengar ungkapan hati Aldo.

"Gitu ya?" kekeh Reno.

"Puas?" delik Aldo sewot. Bahkan sahabatnya sendiri menertawakan Aldo. "emangnya playboy macam kamu bisa ngerti?"

"Hei, siapa yang playboy?" Reno balas melotot. Ia tidak suka mendapat tuduhan yang sama sekali tidak berdasar itu. "aku tuh, cowok setia tahu nggak?"

Giliran Aldo yang tergelak.

"Cowok setia apaan?" timpal Aldo.

"Eh, tapi kan mending dijodohin, Do. Daripada kamu repot-repot nyari sana sini nggak dapet-dapet, kan enak dijodohin. Si cewek juga jelas asal usulnya," tandas Reno kembali pada pokok pembahasan inti. Mereka sedang membicarakan Aldo, bukan dirinya tadi.

"Ya, tapi gimana kalau si ceweknya nggak sesuai dengan tipe kamu?" tanya Aldo tak sabar.

"Ya itu resiko," jawab Reno enteng.

"Kamu sih, nggak tahu rasanya dijodohin. Makanya enak asal ngomong," gerutu Aldo kesal. Cowok itu menyesap isi cangkirnya sedikit. Lumayan pahit.

"Semua orang tua pasti ingin anaknya dapat jodoh terbaik, Do. Orang tua kamu juga. Sebelum mereka menjodohkan kamu dengan cewek itu, mereka pasti sudah melihat latar belakang si cewek. Itu berarti si cewek itu yang terbaik buat kamu. Paham?"

"Nggak."

Reno menghela napas panjang.

"Siapapun ceweknya, kalau udah jadi istri kamu bakalan sama ujung-ujungnya," tandas Reno sesaat kemudian. "dia bakalan jadi ibu rumah tangga, kerjaannya mondar mandir dapur, ngurus anak, ngurusin kamu. Secantik apapun cewek idaman kamu, ntar bakalan pakai daster juga," sambungnya.

"Jadi, itu yang ada di otak kamu?" tanya Aldo tak sependapat.

"Ya. Kenapa? Salah?" tanya Reno bingung dengan arah pembicaraan Aldo.

"Nggak salah." Aldo menyahut. "berarti kamu menilai cewek sebatas itu doang."

"Ya nggak gitu juga," sahut Reno bermaksud membela diri.

"Terus maksudnya?"

"Nggak ada."

Aldo menyesap kembali isi cangkirnya. Lama-lama ia mulai bisa menikmati Americano buatan Reno meski lidahnya harus menyesuaikan diri beberapa saat.

"Dia cantik?"

"Apa?" tanya Aldo spontan. Ia mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan Reno. Tapi, mulutnya juga bereaksi lebih cepat dari dugaannya.

"Apa cewek itu cantik?" ulang Reno lebih memperjelas maksud pertanyaannya. Tapi, Aldo menggeleng ringan. "dia nggak cantik?" tanya Reno lagi. Mencoba mengartikan gelengan kepala sahabatnya.

"Biasa aja."

"Masa sih?" tanya Reno dengan sepasang alis terangkat ke atas. "nggak mungkin Mama kamu nyariin kamu cewek yang biasa-biasa aja." Reno menggerakkan kedua jarinya sebagai kode tanda kutip untuk kalimatnya.

"Standar orang kan berbeda, Ren," ucap Aldo. "menurut Mama cantik dan terbaik, belum tentu sama buatku."

"Jadi, dia bukan tipe kamu. Gitu?"

"Gitu deh," sahut Aldo pasrah.

Gadis itu, aneh dan mungkin tidak ada duanya di dunia. Seperti seseorang yang tersesat di jalan yang sedang ditempuh Aldo. Bagaimana ia bisa menyingkirkan gadis itu dan kembali menempuh perjalanan hidupnya sendiri?

"Jadi, kamu belum bisa move on dari Faira? Atau Yura?" tebak Reno sekenanya.

"Hei, ini bukan soal move on dari mereka, Sob," sungut Aldo kesal setengah mati. Ia akan marah pada siapapun juga yang menyebut nama kedua mantannya, tak terkecuali sahabatnya sendiri. "ini soal menjaga hati." Eh, tapi tahu apa Reno soal menjaga hati? Cowok itu sudah belasan kali gonta ganti pacar dan rasanya tidak ada kamus patah hati dalam hidupnya.

"Jadi?"

"Entahlah." Akhirnya Aldo menarik napas panjang. Ia seperti jengah meneruskan perbincangan itu.

"Kenapa kamu menganggap perjodohan itu sebagai sesuatu yang serius, kalau kamu nggak bener-bener menyukai cewek itu? Kamu kan bisa batalin perjodohan itu. Atau mungkin kalian bisa bercerai nanti... "

"Ngaco!"

Aldo bangkit dari tempat duduknya. Rasanya kursi cafe milik Reno seperti mengeluarkan batang-batang duri yang menusuk pantatnya, dan memaksa cowok itu untuk segera pergi dari tempat itu.

"Mau ke mana, Sob?" tegur Reno tanpa lepas menatap tingkah sahabatnya.

"Pulang."

"Masih jam segini juga... "

"Aku capek. Ngobrol sama kamu bikin tambah pusing, tahu nggak?"

Reno terkekeh. Ia segera bangkit dan menyusul langkah-langkah berat Aldo yang menapaki arah keluar cafe.

"Jangan terlalu dipikirin, Sob. Ntar cepet tua lho," ucap Reno dengan sebelah tangan menepuk pundak Aldo.

"Nggak mikir juga ntar tua sendiri," celutuk Aldo. "aku cabut dulu."

"Ok. Hati-hati, Sob!"

Reno melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan pada sahabatnya. Sebenarnya ia sedikit merasa kasihan pada Aldo, tapi apalah daya Reno yang notabene hanya sebagai sahabatnya. Ia hanya bisa menghibur dan sesekali memberi saran meski lebih sering diabaikan Aldo.

Perjodohan Romantis (season 2) # CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang