"Udah lama?"
Aldo menoleh. Gadis menyebalkan itu sudah berdiri di dekatnya dan melayangkan sebuah teguran paling datar yang pernah ia dengar. Tak ada seulas senyum yang ia harapkan terlukis di bibir gadis menyebalkan itu.
Aldo belum memberi gadis itu jawaban. Ia malah melirik jam yang melilit di pergelangan tangan kanannya.
"Hampir satu jam," gumamnya pelan. Dan ia sudah terlambat untuk makan siang karena harus menunggu gadis itu keluar dari kampusnya.
"Sorry," ucap Audy menunjukkan rasa bersalah dan penyesalannya. Gadis itu bisa membaca kekecewaan yang terlukis di raut wajah Aldo. "aku tadi habis rapat dengan para aktivis lingkungan... "
Aldo mendengus pelan.
"Kenapa nggak menelepon atau mengirim sms? Ponsel malah dimatiin," gerutu Aldo kesal setengah mati. Audy pasti tidak tahu betapa Aldo tampak seperti orang linglung saat berdiri di sana hanya untuk menunggunya.
"Ponselku low bat," sahut Audy pelan. Sekali lagi gadis itu merasa bersalah karena kelalaiannya.
Low bat?
Aldo menggerutu di dalam hati. Alasan semacam itu sepertinya sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang. Power bank banyak bertebaran di mana-mana. Semisal jika ia tidak punya, pasti ada salah satu temannya yang memiliki benda itu. Kenapa Aldo jadi tidak mempercayai ucapan Audy?
Aldo menyimpan kembali segenap omelannya dalam hati dan bergegas naik ke mobil tanpa berkata sepatahpun. Lagi-lagi ia merasa dikecewakan oleh gadis itu. Berapa kali lagi ia harus dikecewakan seperti ini?
"Kamu masih marah?"
Aldo menahan napas sejenak dan menoleh ke arah Audy yang sudah duduk manis di jok sebelahnya. Sabuk pengamannya bahkan sudah terpasang dengan sangat baik.
"Marah?" ulang Aldo seraya menaikkan kedua alisnya. "siapa yang marah?" gumamnya dengan seulas senyum tipis terpasang di bibirnya. Cowok itu menyalakan mesin lalu menjalankan mobilnya perlahan ke atas aspal.
Kalaupun aku marah, memangnya kamu peduli?
Aldo menatap lurus ke depan dengan hati mendongkol. Mau marahpun ia tak bisa, meski dadanya seperti terbakar sekarang. Mau mengomel juga mustahil. Ia bukan Mama yang tanpa sungkan akan mengeluarkan segenap kekesalannya pada orang lain. Aldo masih menjaga perasaan gadis itu semarah apapun hatinya saat ini. Karena ia mencintai Audy. Itulah alasannya.
"Maaf."
Aldo menoleh sekilas ke arah Audy lalu menatap ke depan kemudi lagi. Lalu lintas cukup lancar siang hari ini dan ia harus tetap fokus ke jalanan. Sesaat tadi ia seperti mendengar sebuah kata maaf keluar dari bibir gadis itu. Atau ia sedang berhalusinasi karena setengah melamun.
"Kamu bicara sesuatu?" tanya Aldo tanpa menoleh.
Audy melenguh. Sebenarnya apa yang dipikirkan Aldo sampai ia sebengong itu?
"Maaf," ulang Audy dengan nada sedatar biasanya.
"Kenapa mesti minta maaf? Bukannya aku tadi sudah bilang aku nggak marah," tandas Aldo masih tanpa menoleh ke sampingnya. Ia sengaja membuat kalimatnya sedingin mungkin.
"Ok." Gadis itu menggumam pelan lalu menarik napas panjang. "beberapa hari ke depan aku akan sibuk," ungkapnya sejurus kemudian.
"Sesibuk apa?" timpal Aldo cepat. Meski ia diam, tapi, telinganya terpasang cukup baik sekarang.
"Aku akan ada banyak kegiatan sepulang kuliah... "
"Kepedulian lingkungan lagi?" tebak Aldo menunjukkan ketidaksabarannya.
"Umm... semacam itu," sahut Audy setengah berpikir. "aku dan teman-teman akan melakukan kampanye kebersihan lingkungan dan penggalangan dana bencana alam," lanjut gadis itu memaparkan sekelumit hasil rapatnya bersama para aktivis lingkungan.
Aldo mendehem pelan. Kenapa tiba-tiba dadanya sesak mendengar penuturan Audy tentang rencana mulianya? Bukankah seharusnya ia merasa bangga memiliki pasangan sekeren Audy?
Rasanya teman-teman Audy lebih beruntung bisa menikmati segenap kebersamaan bersama gadis itu. Apa ini sebuah bentuk kecemburuanku? Payah!
"Lalu?" pancing Aldo. Kali ini ia menyempatkan diri untuk menoleh ke arah gadis itu, tapi, sayangnya ia hanya mendapati Audy sedang menatap lurus ke depan.
"Maksudku kamu nggak perlu repot menjemputku," ucap Audy langsung pada pokok persoalan. "aku nggak tahu akan pulang jam berapa dan kami nggak selalu berada di lokasi yang sama," jelas gadis itu menambahi.
Oh.
Aldo menelan ludahnya. Pahit. Tapi, ucapan Audy lebih pahit lagi. Harusnya sejak awal ia sudah bisa mempersiapkan diri untuk hal-hal tidak terduga semacam ini. Audy dengan seabrek kegiatan sosialnya memungkinkan gadis itu untuk selalu bepergian ke luar rumah, bahkan ke luar kota sekalipun. Pulang ke rumah tidak tepat waktu, entah berada di mana, kepanasan, kotor, dan sudahlah. Aldo tidak mau memikirkannya lagi.
Ia harus memberi pengertian lebih untuk gadis itu dan segenap kegiatan sosialnya. Itulah yang harus dilakukan Aldo sekarang. Rela atau tidak, ia harus membiarkan gadis itu menjalani kehidupan sosialnya sendiri dan Aldo hanya bisa memberinya dukungan moril. Tapi, masalahnya ia baru saja memulai pendekatannya pada gadis itu dan ia belum terlalu siap untuk melepaskannya begitu saja tanpa pengawalan. Mungkin ia sedikit berlebihan soal ini.
"Ok," ucap Aldo setelah menyelesaikan pemikirannya. "kamu bisa meneleponku kalau butuh sesuatu," tawar Aldo mencoba untuk membesarkan hatinya sendiri. Meski sedikit berat melepaskan gadis itu, tapi, ia harus mengerti.
Tadinya Aldo ingin memberitahu gadis itu bahwa minggu depan ia harus berangkat ke Bali untuk menggantikan Papa menghadiri seminar bisnis di sana. Tapi, ia memutuskan untuk menundanya. Entah kapan ada kesempatan untuk mengatakan hal itu pada Audy. Karena gadis itu sudah lebih dulu mengutarakan jadwal kegiatannya. Bisa jadi kegiatan Audy lebih sibuk darinya dan memakan waktu lebih lama. Mungkin juga kepergiannya sama sekali tidak berpengaruh pada gadis itu. Itu bisa terjadi. Dan jika itu benar, apa daya Aldo. Ia memang seseorang yang tidak berarti sama sekali bagi Audy.
Bahkan sampai gadis itu turun dari mobilnya, Aldo masih berkutat dengan lamunannya. Sebenarnya apa arti kehadirannya bagi Audy? Apa ia hanya robot yang berguna untuk mengantarnya pulang? Bahkan sampai sekarang, gadis itu belum pernah memanggil namanya. Lalu dari mana cinta akan tumbuh di hati gadis menyebalkan itu? Sementara cinta dan kepeduliannya sudah tercurah sepenuhnya untuk lingkungan dan seabrek kegiatan sosial.
Aldo meremas rambutnya dengan gemas. Ah, haruskah ia mengalami patah hati yang ke tiga kalinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis (season 2) # Complete
RandomDi dunia ini, tidak ada seorangpun yang ingin terlambat menikah. Sebagian orang menargetkan untuk menikah pada usia tertentu, tapi rencana manusia selalu terkalahkan oleh takdir. Target tak selalu tepat sasaran. Jodoh setiap orang berbeda-beda waktu...