"Lho, kok kamu di sini? Disuruh Mama lagi?"
Aldo menatap seraut wajah gadis bernama Audy yang kini berdiri dengan tampang menyebalkan di hadapan cowok itu. Sehelai kemeja flanel, tapi bukan yang kemarin, sebuah celana hitam, dan topi bisbol berwarna putih yang ia pakai kemarin. Apa ia memang punya gaya berpakaian seperti itu saat pergi ke kampus? Kenapa tidak memilih cara berpakaian yang lebih feminin seperti yang dilakukan kebanyakan gadis lain? Setidaknya ia bisa tampil lebih cantik dari yang sekarang. Yah, meski ia tidak terlalu cantik dan bagi Aldo, gadis itu masuk dalam kategori biasa-biasa saja.
Aldo mengangguk. Memangnya untuk apa ia berada di depan pintu gerbang kampus siang-siang begini? Padahal langit siang ini sedikit menampilkan pemandangan kelabu. Tentu saja ia berada di sana untuk menjemput Audy karena Tante Lia yang memintanya. Juga untuk alasan tas dan sepatu yang sudah diterima Mama Aldo dan tidak mungkin dikembalikannya. Perjodohan yang sempurna!
"Bukannya aku sudah pernah bilang, kalau kamu sibuk, nggak usah jemput segala. Bilang aja sama Mama kalau kamu sibuk. Lagian... "
"Lagian kamu bisa pulang sendiri naik angkot. Begitu kan maksud kamu?" potong Aldo sebelum gadis itu sempat menyelesaikan kalimatnya. Cowok itu berusaha menahan geram. "kenapa kamu nggak naik aja ke mobil daripada melayangkan protes kayak gitu? Lihat kan, langit mendung dan kita nggak pernah tahu hujan kapan akan turun." Aldo sengaja memperpanjang kalimatnya. Jika gadis itu bisa bersikap menyebalkan, kenapa ia tidak? Ia sudah banyak belajar menjadi orang menyebalkan dari Mama.
Audy mendengus mendengar kalimat Aldo yang mirip ocehan di pasar burung. Gadis itu bergegas naik ke mobil, begitu juga Aldo.
"Mulai besok nggak usah jemput lagi," ucap gadis itu lima menit setelah Aldo melajukan mobilnya di jalan raya. Tatapannya lurus ke depan dan nada suaranya sedatar aspal yang terbentang di depan mereka.
Aldo menoleh sekilas. Ia hanya ingin melihat se-menyebalkan apa tampang gadis itu sekarang.
"Kenapa kamu nggak bilang aja sama Mama kamu, kalau kamu nggak setuju dengan perjodohan ini?" tanya Aldo yang sudah kembali menatap ke depan. Pemandangan di depan jauh lebih penting ketimbang menatap sosok di sebelahnya. "agar hal kayak gini nggak terjadi lagi."
Audy tak langsung menyahut. Sepertinya gadis itu sedang berpikir.
"Memangnya kamu belum pernah melakukannya?" Audy menoleh. "apa Mama kamu menerima keberatan yang kamu ajukan tentang perjodohan itu?"
Aldo lumayan tersentak dengan ucapan gadis itu. Ya, dalam hati ia tidak bisa menyangkal hal itu. Ia juga pernah mengajukan protes besar-besaran pada Mama. Tapi, apa hasilnya? Keberatan ditolak! Jadi, kesimpulannya Audy juga pernah melakukan hal yang sama. Dan mereka sama-sama ditolak. Aldo jadi mencurigai sesuatu, jangan-jangan Mama memberikan sesuatu yang mahal untuk Tante Lia. Bisa jadi. Kedua wanita itu memiliki banyak kemiripan karakter, seperti saudara beda bapak ibu.
Lalu apa yang akan dilakukan Aldo sekarang?
Yes! Aldo seperti terjebak saat tiba di rumah keluarga Audy. Semula Aldo pikir ia akan makan siang dengan Tante Lia dan Audy saja. Nyatanya sudah ada Om Hendry dan Calvin yang sudah menunggu di meja makan. Kalau saja ia tahu akan seperti ini, Aldo lebih memilih membuat alasan palsu untuk menghindari makan siang bersama ini. Terus terang ia belum mempersiapkan mental untuk bertemu dengan keluarga Audy.
Om Hendry memiliki usaha bisnis di bidang properti. Calvin juga. Dan orang-orang sibuk seperti mereka mau menyempatkan diri pulang hanya untuk bisa makan siang bersama dengan calon menantu keluarga Hendrawan, dan itu terdengar luar biasa bagi Aldo. Harusnya ia merasa bangga sekarang ini, tapi kenapa ia malah jadi kikuk di meja makan?
"Anggap saja rumah sendiri, Nak Aldo." Suara Om Hendry terdengar sesaat sebelum mereka makan siang. Saat berbagai macam masakan dihidangkan di atas meja oleh seorang asisten rumah tangga keluarga mereka. "oh, ya. Kamu suka makan apa? Pilih aja," suruh laki-laki itu tampak ramah pada calon mantunya.
"Silakan makan, Aldo." Calvin, kakak Audy ikut mempersilakan cowok itu agar segera menyentuh makanan di hadapannya. Ia dua tahun diatas Aldo. Gayanya santai dan sikapnya juga ramah.
Aldo mulai melahap makan siangnya meski perutnya tidak lapar. Masakan asisten rumah tangga keluarga Hendrawan lumayan enak. Bahkan jauh lebih enak ketimbang masakan Mamanya. Oh, ya, Mama jarang memasak. Di rumah ada Mbak Sum yang menangani urusan dapur.
"Gimana, nih? Kalian sudah siap tunangan?" tanya Om Hendry di sela-sela acara makan.
Aldo tercekat. Tidak, dia tidak tersedak kali ini. Mungkin cowok itu baru akan tersedak saat Om Hendry bertanya soal pernikahan.
"Belum ada rencana, Om." Untungnya kalimat itu bisa diucapkannya dengan lancar jaya. Ia bisa berpura-pura santai dan tenang demi image yang harus ia jaga.
"Papa ini gimana sih," timpal Tante Lia. "mereka kan baru kenal, masa langsung disuruh tunangan. Memangnya mereka seperti kita? Ada-ada saja," imbuhnya sembari menyembunyikan kesan cemberut dari wajahnya.
Calvin tergelak mendengar perdebatan kecil antara Mama dan Papanya. Sedangkan Audy sama sekali tak menunjukkan reaksi. Gadis itu tampak asyik melahap makan siangnya seolah perdebatan kecil itu hanya angin lalu.
Aldo berusaha menelan makanannya yang serasa mengganjal di kerongkongannya. Ia meneguk sedikit air agar makanannya bisa tertelan dengan baik.
"Tunangan atau nggak, sama aja, Pa, Ma." Usai meredakan tawa, Calvin menimpal. Mengemukakan pendapat sebagai pihak penengah. "lagian Audy kan masih kuliah. Kalau dia sudah lulus, baru deh, dibicarakan dengan serius."
Papa tampak manggut-manggut. Sepertinya laki-laki itu sangat menyetujui pendapat putra sulungnya.
"Menurut kamu gimana, Nak Aldo?"
Aldo tercekat saat tiba-tiba Om Hendry melempar pertanyaan padanya. Ia belum menyiapkan jawaban apapun untuk mengantisipasi hal semacam ini.
"Umm... Lebih baik jangan terburu-buru, Om, Tante. Kan masih banyak waktu," ucap Aldo seraya menyunggingkan seulas senyum kaku.
Ya, Aldo harus mengulur waktu. Karena cowok itu butuh waktu untuk menggagalkan perjodohan ini. Tentu saja ia harus bersekongkol dengan Audy. Eh, tapi kenapa gadis itu diam saja dari tadi? batin Aldo seraya melirik Audy yang duduk di sebelahnya.
Aldo buru-buru pamit setelah berhasil menyelesaikan makan siangnya. Ia kekenyangan.
"Langsung balik kantor, Nak Aldo?" tegur Om Hendry. Mereka bertiga mengantar Aldo sampai pintu depan.
"Ya, Om. Masih ada pekerjaan di kantor."
"Lain kali kamu harus mampir. Makan siang di sini tiap hari juga nggak pa pa," ucap Tante Lia seraya mengulas senyum ramah. Diangguki suaminya.
Aldo hanya tersenyum sebagai basa basi. Ia menyempatkan diri melirik Audy yang sedang memasang wajah cemberut ke arahnya.
Oh, jadi kamu nggak suka aku makan gratis di rumahmu?
"Om, Tante. Aldo pamit dulu," pamit Aldo sesaat kemudian. Cowok itu menyalami kedua orang tua Audy secara bergantian sebelum ia kembali ke mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis (season 2) # Complete
RastgeleDi dunia ini, tidak ada seorangpun yang ingin terlambat menikah. Sebagian orang menargetkan untuk menikah pada usia tertentu, tapi rencana manusia selalu terkalahkan oleh takdir. Target tak selalu tepat sasaran. Jodoh setiap orang berbeda-beda waktu...