part 10

23.1K 488 0
                                    

Aldo menyesap kopi susu dari cangkir dengan perlahan dan rasa hangat mulai merayap di dalam lehernya sesaat kemudian. Ia baru kembali dari meeting room dua puluh menit lalu dan sekarang ia sedang bersantai di ruangan pribadinya. Menatap keluar jendela kaca yang terbentang di belakang meja kerjanya, pada titik-titik hujan yang berhamburan turun di luar sana. Dengan latar belakang langit berwarna putih, gedung-gedung yang berdiri dengan angkuh, Aldo menikmati suguhan alam sore ini plus secangkir kopi susu instan yang diseduh oleh salah seorang office boy di sana. Sangat menenangkan, apalagi ia menikmati semua itu dari atas ketinggian.

"Do!"

Ah, Papa. Aldo menggumam resah. Panggilan Papa sudah berhasil mengoyak suasana indah yang baru saja ia nikmati, perpaduan antara langit, hujan, gedung-gedung, dan secangkir kopi susu dalam genggamannya.

"Ya, Pa." Aldo menoleh ke arah pintu. Papa sedang berdiri di sana seraya memegang handle pintu.

"Nggak pulang? Sudah jam 3 lho," beritahu Papa kemudian. Laki-laki itu menunjukkan sebuah jam tangan produksi luar negeri yang melingkar di balik ujung kemejanya kepada Aldo.

"Ntar aja, Pa," tolak Aldo seraya mengangkat cangkir kopi susunya. "tanggung, nih. Papa pulang aja duluan," suruh cowok itu kemudian.

"Ok-lah," sahut Papa pasrah. "ntar jangan ngelayap," pesan laki-laki itu sebelum menutup pintu ruangan Aldo.

Aldo tak menyahut. Toh, Papa sudah keburu menghilang di balik pintu sebelum cowok itu sempat menyahut.

Cowok itu kembali menyesap isi cangkirnya dan membuang pandangan ke arah jendela yang masih menampilkan pemandangan hujan, tapi tak sederas beberapa menit lalu. Kenapa ada sesuatu yang mengganjal saat ia kembali menatap hujan?

Aldo memutuskan untuk kembali ke meja dan meletakkan cangkirnya di sana. Ia baru ingat jika meninggalkan ponsel pintarnya di dalam laci meja. Sudah menjadi kebiasaan Aldo untuk menyimpan ponselnya di sana selama mengikuti rapat.

5 missed calls.

Ada lima panggilan tak terjawab selama ia meninggalkan ponselnya di dalam laci. Dan itu sudah tiga jam yang lalu. Semuanya dari Tante Lia. Hal yang paling mungkin ingin dikatakan wanita itu hanyalah agar Aldo menjemput Audy di kampus.

Aldo menghela napas panjang. Cowok itu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Kenapa tiba-tiba suasana hatinya menurun dengan drastis setelah mengetahui notifikasi di ponselnya? Toh, itu sudah tiga jam yang lalu dan mungkin sekarang Audy sudah pulang ke rumah, kan? Lagipula ia sedang sibuk tadi.

Aih, kenapa ia jadi berpikir tentang gadis itu? Gadis tomboy yang sok mandiri, jutek, angkuh, dan apalagi julukan yang tepat untuknya? Bukankah kemarin gadis itu bilang untuk tidak usah menjemputnya lagi karena ia bisa naik angkot saat pulang? Kenapa Aldo mesti repot-repot menjemputnya? Lagi pula ini adalah salah satu jalan agar perjodohan mereka segera bisa digagalkan, bukan?

Aldo menyesap kembali isi cangkirnya untuk terakhir kali sebelum ia beranjak pulang. Sekaligus untuk menjernihkan kembali pikirannya yang sudah diracuni gadis menyebalkan itu.

15.30

"Halo, Tante?"

Akhirnya Aldo melakukan hal bodoh yang setengah mati ingin ia hindari. Menelepon Tante Lia. Entah kenapa hatinya tergerak untuk menelepon wanita itu. Ya, itu cuma sekadar rasa kasihan.

"Aldo, akhirnya kamu nelpon juga," decak Tante Lia dari ujung sana. Berarti wanita itu sedari tadi menunggu telepon Aldo.

"Ya, Tan. Tadi abis meeting. Ada apa?"

"Sebenernya tadi Tante mau minta tolong sama kamu, tapi kalau kamu sibuk, nggak pa pa," ucap Tante Lia terdengar ragu.

Minta tolong untuk menjemput Audy, begitukah? batin Aldo seraya mendesah pelan.

"Tadi sibuk, tapi sekarang udah nggak. Emang Tante mau minta tolong apa?" tanya Aldo akhirnya.

"Menjemput Audy... "

Nah, benar kan? Memangnya perjodohan itu benar-benar masih berlanjut?

"Emang Audy belum pulang, Tante?" tanya Aldo seraya melihat jam yang terpasang pada display ponselnya. Sejujurnya jam tangan lebih praktis, tapi Aldo tidak terbiasa menggunakannya, seperti Papa.

"Belum."

Aldo tercekat. Harusnya gadis itu sudah pulang tiga jam yang lalu. Atau paling lambat dua jam yang lalu.

"Masa belum pulang, Tante?" tanya Aldo dengan mengernyitkan kening. Tentu saja Tante Lia tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana wajah Aldo sekarang.

"Kalau hujan gini, biasanya dia nunggu reda dulu," ungkap Tante Lia membuka sekelumit cerita tentang Audy.

Oh.

Kepala Aldo menoleh ke arah jendela dan menemukan masih ada sisa-sisa hujan yang menetes di luar sana.

"Nggak pa pa, bentar lagi juga Audy pulang," ucap Tante Lia kemudian. "kamu sudah pulang atau masih di kantor?" Wanita itu malah ingin membahas soal Aldo.

"Masih di kantor, Tante. Ini mau pulang," jawab Aldo. "apa Aldo perlu jemput Audy, Tante? Kayaknya di luar masih gerimis," tawar cowok itu sejurus kemudian.

"Nggak usah. Ngerepotin kamu aja... "

Aldo menghela napas panjang. Dasar wanita aneh. Kemarin-kemarin ia sepertinya ngotot meminta Aldo agar menjemput Audy. Sekarang malah bilang tidak usah padahal cuaca di luar sana sedang tidak bersahabat. Baiklah, jika itu yang ia mau. Lagi pula Audy juga tidak akan suka melihat kehadirannya di kampus.

"Ya, udah kalau gitu, Tante. Aldo mau pulang dulu."

Aldo menutup sambungan telepon sebelum Tante Lia sempat menyambung percakapan. Biarlah jika wanita itu menganggapnya tak sopan. Cowok itu beranjak dari kursinya dan bersiap untuk pulang. Nyaris jam empat sore saat ia keluar dari gedung kantor. Gerimis sudah berhenti. Tapi, hawa dingin langsung menyergap tubuhnya saat Aldo keluar dari gedung. Air hujan juga tampak menggenang di sana sini, di jalanan yang ia lalui begitu keluar dari area parkir.

Pulang, batin Aldo seraya mencengkeram kemudinya kuat-kuat. Ia harus memusatkan konsentrasinya pada jalan menuju rumahnya, bukan tempat lain. Toh, Audy sudah dewasa dan ia sangat mandiri seperti ucapannya. Eh, kenapa ia jadi memikirkan gadis itu?

Sial.

Perjodohan Romantis (season 2) # CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang