part 26

17.7K 351 0
                                    

"Tadi Jeng Lia ngirim lauk buat kita, Pa," tutur Mama sembari tangannya sibuk menyendukkan nasi ke atas piring Papa.

"Oh, ya?" respon Papa terkesan datar. Tapi, laki-laki itu tidak melanjutkan kalimatnya dan langsung menyenduk telur bumbu balado dari atas mangkuk usai Mama selesai memberikan nasi ke dalam piringnya.

"Enak nggak?" tegur Mama tampak tak sabar menatap Papa yang sudah terlebih dulu mengunyah makan malamnya.

"Lumayan," sahut Papa dengan mulut yang penuh makanan.

Aldo hanya meringis mendengar percakapan kedua orang tuanya. Kalau saja tadi Papa bilang masakan Tante Lia enak, kemungkinan besar yang akan terjadi adalah Mama  melayangkan sebuah piring kosong ke lantai hingga jatuh dan pecah berantakan. Tapi, Papa sangat tahu jika ia harus menjaga perasaan Mama dan memilih zona aman. Jawaban 'lumayan' ia rasa paling tepat di antara sekian pilihan yang terlintas di pikirannya.

"Enak kok, Pa. Bumbunya pas. Nggak terlalu pedes juga," timpal Aldo cepat. Ia sengaja melakukan hal itu untuk memancing reaksi Mama. "bener kan, Ma?" lirik Aldo ke arah Mama sesaat kemudian. Sedang mulutnya masih sibuk mengunyah makan malam.

"Lumayan," sahut Mama tampak cuek. Wanita itu masih belum terpancing dengan hasutan Aldo dan terlihat sangat menikmati makanannya. "tapi, masih enak masakan Mama. Ya kan, Pa?"

Papa mengangguk setuju setelah mata Mama mengerling padanya. Laki-laki itu mau tidak mau harus tunduk pada Mama. Dan Aldo hanya bisa tertawa dalam hati menyaksikan adegan itu. Apa kelak ia juga akan bersikap seperti Papa jika sudah menikah nanti? Takut pada istri sendiri.

"Jeng Lia baik ya, Pa," puji Mama pada detik berikutnya usai menelan kunyahannya. Saat suasana kosong tanpa pembicaraan sama sekali karena mereka terlalu sibuk menikmati makanan masing-masing.

Baik karena ada maunya, sahut Aldo dalam hati. Tapi, cowok itu memilih diam dan berpura-pura tertunduk sibuk mengorek daun seledri dalam supnya lalu menyisihkannya di tepian piring.

"Ya, Ma." Papa hanya menyahut ringan dan tak tertarik untuk memperpanjang obrolan tentang Jeng Lia. Kelak mereka akan jadi besan, jadi rasanya sangat wajar jika mereka mengirim makanan, batin laki-laki itu. "oh ya, Ma. Minggu depan Papa ada seminar di Bali seminggu. Mama mau ikut?" tawar Papa setelah teringat akan jadwal pekerjaannya.

"Ngapain Mama ikut kalau Papa sibuk seminar?" kilah Mama sedikit menaikkan intonasi suaranya. "kenapa nggak nyuruh Aldo aja yang seminar di Bali?" usul Mama kemudian. Ia sempat melirik putranya yang sedang sibuk menyisihkan daun seledri dari atas piringnya.

"Kenapa mesti Aldo, Ma?" protes Aldo cepat. Ia menatap sewot ke arah Mama.

"Kamu nggak mau jalan-jalan ke Bali?" tanya Mama dengan mengerling nakal.

"Siapa bilang jalan-jalan, seminar kok, Ma." Papa menimpal, tapi, laki-laki itu langsung mengunci mulutnya manakala Mama mengibaskan tangannya. Mencegah laki-laki itu supaya tidak meneruskan kalimatnya.

"Biar Aldo aja, Pa," timpal Mama cepat. Di balik kalimatnya terdapat unsur paksaan yang terselip dengan halus. "sekalian biar nambah ilmu dan pengalaman," imbuh wanita itu kembali.

Papa menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa melawan kehendak Mama meski dalam hal apapun, termasuk pekerjaan. Laki-laki itu kembali melanjutkan acara makan malamnya dan mengabaikan ucapan Mama.

Aldo mengalihkan pandangan ke arah Papa sekadar meminta pendapat laki-laki itu soal usul Mama. Tapi, sepertinya kehendak Mama lebih berkuasa di atas segalanya. Papa tidak akan berani melawan kehendak Mama atau jika ia berani melakukan hal itu maka akibatnya akan fatal. Jika Mama marah, Papa harus bersiap merogoh koceknya dalam-dalam demi pelampiasan emosi wanita itu. Karena Mama adalah tipe wanita yang akan melampiaskan kemarahannya dengan berbelanja. Dan itu lebih menakutkan ketimbang mendapat omelan selama berjam-jam dari mulut wanita itu.

"Pa... " Aldo menggumam karena Papa belum juga memberikan reaksinya.

"Mamamu benar, Do. Lagian kamu kan harus banyak belajar soal bisnis," ucap Papa seolah bisa membaca isi pikiran putra semata wayangnya. Jika ditelusuri kembali, ucapan Mama ada benarnya. "kelak kamu kan yang mewarisi perusahaan Papa."

Aldo melenguh pelan dan menatap kedua orang tuanya bergantian. Mereka berdua bersekongkol untuk mengirim Aldo pergi jauh dari rumah agar mereka bisa berdua-duaan, begitukah?

"Baiklah," sahut Aldo dengan malas-malasan.

Seminar seminggu di Bali, berarti selama itu Aldo tidak akan melihat Audy, dong.

"Ntar Mama nitip sesuatu ya, Sayang," kekeh Mama sesaat setelah Aldo mengucapkan persetujuannya. Ia mengedipkan sebelah matanya pada Aldo. Dan itu adalah salah satu jurus jitu untuk merayu putra kesayangannya.

Lagi-lagi Aldo harus melenguh pelan.

"Oleh-oleh buat Tante Lia juga?" tegur Aldo setengah menebak dan setengah mengingatkan. Ia sudah bisa meraba ke mana jalan pikiran Mamanya menuju.

Mama tersenyum sembari mengangguk mantap.

"Pasti dong," sambut Mama penuh semangat. "ntar Mama pinjemin kartu kredit Mama deh," imbuhnya menawarkan kebaikan hati.

Segitunya, batin Aldo kesal. Demi calon besan, Mama akan melakukan segalanya. Dan tumben-tumbennya wanita itu bersedia meminjamkan kartu kreditnya demi membelikan sesuatu untuk Tante Lia. Dan tampaknya Tante Lia juga sama saja dengan Mama. Tapi, Aldo malah teringat dengan gadis menyebalkan itu. Kira-kira apa yang akan ia beli untuknya?

"Ok, deh."

"Seledrinya di makan dong, Do," tegur Papa menyela percakapan istri dan putranya. Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkah polah Aldo yang sejak tadi sibuk menyisihkan daun seledri di tepian piringnya. Kebiasaan Aldo sejak kanak-kanak belum berubah juga sampai dewasa.

"Nggak enak, Pa. Papa aja yang makan," seloroh Aldo seperti biasa. Diingatkan seribu kalipun ia tetap akan mengulangi hal yang sama.

Papa dan Mama sama-sama melenguh lalu saling berpandangan. Kapan putra kesayangan mereka akan bersikap lebih dewasa?

Perjodohan Romantis (season 2) # CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang