part 29

17.3K 332 4
                                    

Baiklah.

Aldo merebahkan punggungnya pada sandaran kursi usai mengeluarkan sebagian kemeja dan beberapa lembar pakaiannya dari dalam lemari lalu memindahkannya ke dalam sebuah koper berukuran tanggung. Meski sebenarnya ia tidak menyukai kegiatan berkemas seperti sekarang ini, tapi, ia harus melakukannya. Mau tidak mau. Tapi, sudah menjadi kebiasaan cowok itu yang hanya akan membawa beberapa lembar pakaian tiap bepergian kemanapun. Karena Aldo tidak suka ribet jika harus membawa banyak bawaan setiap pergi jauh dari rumah. Ia bukan Mama yang sangat detail soal preparing, membawa barang ini dan itu. Selain itu, Bali adalah pusat belanja dan oleh-oleh, jika ia membutuhkan apapun, Aldo bisa membelinya langsung di sana. Belum lagi saat pulang nanti, barang bawaannya akan bertambah dua kali lipat karena pesanan oleh-oleh dari sang Mama. Wanita itu sudah memberikan list belanjaan untuk Aldo semalam.

Dan Audy? Apa yang akan dibelinya untuk gadis menyebalkan sekaligus menakjubkan itu?

Kepala Aldo terasa berdenyut saat mengingat nama gadis menyebalkan itu. Andai saja sikap Audy lebih baik atau ia bersikap sedikit ramah, mungkin Aldo tidak akan segusar sekarang. Memikirkan hubungannya dengan gadis itu membuatnya merasa sedang berada di atas sebuah kano kecil, sendirian, terombang-ambing dipermainkan ombak lautan, dan tak tahu harus mengayuh kemana. Sungguh kondisi yang sangat tidak menyenangkan dan siapapun tidak akan menyukainya.

Gadis menyebalkan itu, sebenarnya sesibuk apa kegiatan sosialnya sampai-sampai empat hari terakhir ia seperti menghilang di telan bumi. Tanpa kabar, seolah sengaja ingin menghilangkan dirinya sendiri dari peradaban. Aldo pernah menghubunginya sekali, itupun tiga hari yang lalu dan tak ada jawaban. Ponsel Audy mati. Aldo hanya menyimpulkan jika gadis itu sengaja mematikannya. Dan sejak itu Aldo tak pernah mencoba menghubungi gadis itu kembali. Percobaan telepon pertamanya yang gagal sudah cukup melukai hatinya dan ia sangat tidak siap menerima luka-luka berikutnya. Tidak menutup kemungkinan jika gadis menyebalkan itu sengaja menonaktifkan ponselnya sepanjang waktu karena tidak mau diganggu, kan?

Sementara besok pagi Aldo harus terbang ke Bali demi menggantikan Papa menghadiri seminar dan cowok itu sedang menimang ponsel di tangannya. Nomor ponsel Audy sudah terpampang jelas di layar, ia cukup meng-klik barisan angka itu, dan tunggu sampai tersambung. Tapi, jari jemari Aldo masih belum bergerak melaksanakan tugasnya. Cowok itu menimang benda berbentuk persegi panjang itu, menatap barisan angka yang tertulis di layarnya dengan resah, sampai layar itu meredup dan mati, lalu ia akan menyalakannya kembali, dan mengulangi apa yang ia lakukan seperti orang idiot.

Apa Audy sedang memikirkannya sekarang?

Pertanyaan itu terlintas di benaknya, begitu jelas dan gamblang. Hanya saja ia tak menemukan jawabannya. Logikanya, seseorang yang mencintaimu akan memikirkanmu di manapun ia sedang memijakkan kakinya, sesibuk apapun dirinya. Ia akan berusaha menghubungimu, menanyakan kabarmu, atau setidaknya ia akan mengirim satu kata 'hai' padamu. Jika ia benar-benar mencintaimu!

Tapi, sayangnya Audy tidak masuk dalam kategori itu. Audy masih bergeming di suatu tempat, entah di mana. Bersama siapa dan melakukan kegiatan apa, Aldo tidak pernah tahu. Audy juga tidak memberitahunya tentang apa saja yang ia lakukan selama empat hari ini. Mungkin ia sedang terlena tenggelam dalam kegiatan sosialnya, bergumul dengan tumpukan botol-botol bekas, berselimutkan debu tebal. Aldo hanya ingin tahu gadis itu baik-baik saja dan jantungnya masih berdetak dengan normal, sesederhana itu!

Aldo melempar ponselnya ke atas tempat tidur setelah lebih dari lima belas menit tidak melakukan apa-apa dengan benda itu. Sedianya ia akan berpamitan pada gadis itu andai saja ia punya sedikit nyali untuk menekan nomor Audy. Tapi, ia justru menenggelamkan kembali keinginannya untuk menghubungi nomor gadis itu. Sekali lagi ia harus menekankan pada dirinya sendiri jika Audy sibuk. Toh, gadis itu pasti tidak akan sempat mengintip ponselnya yang tersimpan rapi dalam tas ranselnya. Jadi, untuk apa ia meneleponnya?

"Boleh Mama masuk, Sayang?"

Suara halus Mama menghamburkan segenap lamunan yang terbangun dengan rapi di dalam benak Aldo. Cowok itu mendehem lalu memperbaiki suasana hatinya secepat mungkin sekaligus mengenyahkan bayangan gadis menyebalkan itu dari pikirannya.

"Ya, Ma. Ada apa?" Aldo sudah berdiri di depan pintu kamarnya, memasang wajah polos dan baik-baik saja di depan wanita itu.

"Nggak," sahut Mama sembari menerobos masuk. "Mama cuma pingin membantu berkemas kalau kamu belum selesai," ungkap wanita itu dengan bola mata memutar meneliti isi kamar putranya dan ia berhasil menemukan sebuah koper teronggok di atas lantai.

"Udah kelar kok, Ma," tegas Aldo seraya melirik ke arah kopernya. "tinggal berangkat aja."

"Bener?" tanya Mama kurang yakin. "sikat gigi, odol, celana dalam? Sudah dibawa?" serang wanita itu seolah putranya masih duduk di bangku SD yang akan berangkat kemping dan tidak tahu menahu soal berkemas.

"Udah, Mama bawel," sahut Aldo setengah kesal. Kenapa ia merasa benar-benar menjadi 'anak mama' di usianya yang menginjak 27 tahun? Persis seperti olok-olokan Reno.

"Ok, deh," decak Mama seolah ingin memuji kepandaian putranya. "kamu cepet turun, ya. Papa udah nungguin kamu untuk makan malam," beritahu Mama dengan sebelah tangan menepuk pelan ke pipi Aldo.

Aldo mengiyakan tanpa suara.

Perjodohan Romantis (season 2) # CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang