"Sudah pulang, Do?"
Aldo berhenti sejenak di ruang tamu karena mendengar teguran Mama. Wanita itu kebetulan baru saja keluar dari dapur dan berpapasan dengan Aldo di sana.
"Iya, Ma."
"Kata Papa kamu baru saja makan malam dengan klien," ucap Mama menyambung pembicaraan. Ia mendekat ke tempat putranya berdiri.
Aldo mengangguk. Tubuh dan pikirannya lelah. Ia hanya ingin segera naik ke lantai atas dan merebahkan tubuh di atas kasur. Tapi, sepertinya Mama sedang ingin memperpanjang obrolan.
"Gimana? Mama denger tadi siang kamu menjemput Audy ke kampus," pancing Mama dengan senyum licik tersembunyi di balik bibirnya.
Aldo menarik napas panjang. Seperti dugaannya, Mama sudah mengatur semuanya bahkan sampai hal seperti tadi siang. Memperalat Tante Lia untuk menyuruh menjemput Audy di kampus.
"Kayaknya pilihan Mama salah deh," ucap Aldo kemudian. Ia menarik salah satu ujung bibirnya ke atas, meremehkan Mama.
"Pilihan apa maksud kamu?" Giliran Mama menaikkan kedua alisnya yang sudah bebas dari alat make up apapun.
"Soal cewek itu."
"Audy maksud kamu?"
"That's right. Mama benar." Aldo menjentikkan jarinya di depan wajah Mama seperti yang pernah wanita itu lakukan sebelumnya. Ia tampak puas melihat wajah Mama yang tampak linglung kebingungan. Pasti wanita itu sedang bertanya-tanya sekarang. "Audy itu nggak se-menyenangkan yang Mama pikirkan, tahu nggak? Cewek itu nyebelin," ungkap Aldo sesaat kemudian setelah ia cukup memberi jeda pada Mama untuk menikmati rasa herannya.
"Nyebelin gimana maksudnya?" Mama malah balik tanya dengan rasa heran yang masih berkecamuk di dalam hatinya. "Audy itu baik dan menyenangkan, Do. Mungkin kamu aja yang bersikap buruk sama dia," imbuhnya menyalahi prinsip praduga tak bersalah.
Aldo tergelak mendengar ucapan Mama yang lebih terdengar seperti pembelaan diri. Tepatnya membela Audy padahal Aldo adalah putranya, kenapa mesti membela orang lain?
"Sebaiknya Mama segera membatalkan perjodohan itu sebelum Aldo bener-bener gila," ucap Aldo sedikit melebihkan kata-katanya. Mungkin ia bisa mencuri sedikit perhatian Mama dengan cara itu. Meski itu terdengar licik
Mama tercengang mendengar ucapan Aldo. Berani-beraninya Aldo menyuruh Mamanya sendiri untuk membatalkan perjodohan itu.
"Nggak bisa gitu dong," sahut Mama Aldo sembari melangkah ke sofa dan menjatuhkan pantatnya di sana. "kamu nggak bisa batalin perjodohan itu seenak jidat kamu sendiri."
Aldo mengerutkan kening. Cowok itu berjalan dan mengambil tempat duduk tak jauh dari sofa yang diduduki Mama.
"Kenapa, Ma? Kan Aldo nggak suka. Mama sendiri yang bilang, kan?" Aldo mengingatkan kembali ucapan Mama, mungkin saja wanita itu sudah lupa dengan perkataan sendiri.
"Karena Mama sudah menerima tas dan sepatu pemberian Jeng Lia. Masa Mama harus mengembalikan barang-barang itu? Kan nggak enak sama orangnya," ulas Mama ringan.
"What???"
Aldo menganga mendengar pengakuan Mamanya. Tas dan sepatu? Oh, Tuhan. Mereka berdua benar-benar keterlaluan.
"Barang-barang itu juga nggak murah, Do," imbuh Mama lagi merendahkan nada suaranya. Seolah ingin meminta perhatian Aldo, agar cowok itu mengasihaninya.
"Kenapa Mama mau menerimanya? Papa kan masih sanggup beliin Mama barang-barang kayak gitu," kata Aldo penuh penyesalan. Secara tidak langsung barang-barang itu mengikat keluarga mereka berdua, bukan?
"Masa orang dikasih tas dan sepatu mahal ditolak? Nggak enak kan? Nggak sopan juga," kilah Mama pintar mencari alasan.
Aldo melenguh dengan keras.
"Aldo ke kamar dulu, Ma." Cowok itu berdiri dan bersiap melangkah ke kamar. "kepala Aldo pusing."
Mama tersenyum kecil, tapi berusaha menyembunyikannya dari Aldo. Jangan sampai putranya itu tahu dan merasa sedang dipermainkan olehnya.
"Cepet tidur!" teriak Mama dengan keras membarengi langkah-langkah gontai Aldo menapaki anak tangga ke lantai atas.
Aldo tak menyahut. Cowok itu sudah tidak memiliki ide apapun saat ini. Ia hanya ingin cepat tertidur dan saat bangun esok hari, segala permasalahannya sudah hilang, seperti mimpi. Meski itu hanyalah harapan kosong.
Ddrrrtttt.
Ponsel milik Aldo bergetar saat cowok itu sudah merebahkan tubuhnya dan bersiap untuk tidur. Harusnya ia mematikan ponselnya sebelum tidur agar tidak ada satupun orang yang bisa mengganggunya.
Tante Lia calling...
Aldo menarik napas dalam-dalam membaca sebaris nama yang tertera di layar ponselnya. Kenapa wanita itu meneleponnya malam-malam begini?
"Ya, Tante?"
"Maaf mengganggu," ucap Tante Lia dari seberang sana. "kamu sudah tidur, Do?"
"Belum, Tan. Ada apa?" Aldo mau tak mau harus menanggapi wanita itu.
"Nggak pa pa. Tadi siang kenapa nggak mampir dulu? Padahal Tante sudah masak buat kamu, lho," beritahu Tante Lia dengan nada penyesalan yang tak begitu kentara.
"Oh." Aldo bergumam pelan. Seperti terpojok. Lalu ia harus bagaimana menanggapi wanita itu?
"Besok mampir dulu ya, ke rumah. Sekalian makan siang," ucap wanita itu kembali. Mendengungkan sebuah harapan dan permintaan pada cowok itu.
Aldo mati kutu!
"Ya, Tan." Cowok itu mengiyakan tanpa berpikir terlebih dulu. Tidak, ia tidak punya waktu untuk berpikir sekadar mencari alasan sibuk, meeting dengan klien, atau apalah. Mulutnya terlalu cepat memberi keputusan tanpa menunggu otaknya berpikir terlebih dulu.
Cowok itu menutup sambungan telepon sejurus kemudian. Menghela napas panjang setelah mengembalikan ponselnya ke atas meja lalu merebahkan tubuh kembali. Ia terlalu lelah untuk berpikir. Tidak untuk apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjodohan Romantis (season 2) # Complete
RandomDi dunia ini, tidak ada seorangpun yang ingin terlambat menikah. Sebagian orang menargetkan untuk menikah pada usia tertentu, tapi rencana manusia selalu terkalahkan oleh takdir. Target tak selalu tepat sasaran. Jodoh setiap orang berbeda-beda waktu...