part 5

32K 571 3
                                    

Senyum gadis itu seolah ingin mengetuk kepala Aldo. Kenapa ia baru tersadar soal perjodohan yang direncanakan Mamanya saat melihat kehadiran gadis itu?
Aldo mengerjapkan sepasang mata indahnya saat Mama dan seseorang yang konon bernama Audy itu saling menempelkan kedua pipi mereka satu sama lain. Bertegur sapa dengan sangat akrabnya seperti sahabat baik.

"Audy?" Mendadak Tante Lia muncul dengan membawa puding buatan Mama Aldo dan menyajikannya sebagai kudapan teman sirup di atas meja. Ya, akhirnya Aldo bisa mencicipi puding buatan Mamanya. Tapi, tampaknya ia sudah kehilangan selera untuk mencicipi puding itu setelah teringat akan perjodohan yang sudah direncanakan Mamanya.

"Oh, ya. Kenalin putra Tante, namanya Aldo," ucap Mama buru-buru menyodorkan putranya ke hadapan Audy. Berharap sebuah chemistry akan segera tercipta sesaat setelah kedua insan itu bertatapan.

Aldo tak punya pilihan lain kecuali menyodorkan sebelah tangannya pada gadis itu.

Jadi, ini gadis yang sudah dipilih Aldo secara random seminggu yang lalu?

Audy. Gadis itu tidak terlalu cantik menurut hasil pemindaian mata Aldo. Wajahnya sedikit lonjong, bibir yang tidak tebal dan tidak tipis, sepasang mata yang biasa-biasa saja, alis yang tidak terlalu tebal, dan kesimpulannya gadis itu tidak cukup menarik untuk istilah jatuh cinta pada pandangan pertama.

Gadis itu tak memoles wajahnya dengan alat make up jenis apapun. Rambutnya dijepit dengan asal, entah sepanjang apa mahkota hitamnya. Penampilannya juga ala kadarnya. Sehelai kaus dan sebuah jogger pants membungkus tubuhnya yang cenderung kurus. Sungguh, gadis itu tidak cukup membuat seorang Aldo tertarik padanya.

"Tante Tara bawain kamu puding, lho," ucap Mama Aldo mempromosikan puding buatannya pada Audy. "Tante bikin sendiri pudingnya tadi," imbuh Mama Aldo masih belum puas dengan promosinya.

"Yang bener, Tan? Ah, Tante Tara nggak usah repot-repot segala," sahut gadis bernama Audy itu. Ia mencicipi puding itu dan melayangkan sebaris pujian yang melambungkan hati Mama Aldo.

Basa basi, ucap Aldo dalam hati. Ia tampak kesal dengan situasi di mana ia harus terjebak di antara emak-emak dan calon emak. Bukankah Audy adalah calon emak?

Sudah cukup basa basinya, Ma. Sebaiknya kita pulang karena Aldo capek.

Aldo hanya bisa mengeluh dalam hati. Ia sama sekali tidak ingin terlibat percakapan dengan mereka, apapun itu. Lagi pula, topik perbincangan itu hanya melintas di pendengarannya, tak sampai masuk ke dalam otaknya.

Aldo merasa dadanya terasa lega saat Mama berpamitan pada Tante Lia dan Audy. Itu sekitar dua jam kemudian, sebelum Aldo merasa ingin pingsan karena terlalu bosan.

"Menurut kamu gimana Audy?"

Pertanyaan itu meluncur dari bibir Mama, pertama kali saat keduanya kembali ke dalam mobil. Memaksa Aldo sedikit melenguh karena kesal.

"Gimana apanya?" Aldo balik tanya, berpura-pura bego. Padahal ia sangat paham dengan maksud pertanyaan Mama. Apa Aldo 'sedikit' ada rasa ketertarikan pada gadis itu saat pertama kali melihatnya?

Aldo belum menjawab. Cowok itu sibuk memasang seat belt ke tubuhnya, menyalakan mesin, menatap spion, memundurkan mobil sebelum melajukannya ke jalan raya. Iya, Aldo sesibuk itu.

"Audy cantik kan? Dia juga menyenangkan," oceh Mama begitu mobil yang mereka tumpangi sudah melaju di atas jalanan dengan tenang. Hari beranjak sore dan matahari sudah berangsur ke barat. Tak seterik tadi saat mereka berangkat ke rumah Tante Lia.

"Semua wanita kan cantik, Ma," seloroh Aldo enteng. Tapi, di telinga Mamanya itu terdengar sangat menyebalkan.

"Mama nggak membahas semua wanita," cetus Mama kesal. "Mama cuma mau membahas Audy. Kamu denger kan ucapan Mama? Jangan bikin Mama kesel dong," sungut wanita itu dengan mengerucutkan bibirnya.

Aldo menyembunyikan seulas senyum di bibirnya. Setidaknya ia sudah berhasil membuat Mama kesal dan itu menyenangkan buatnya. Salah sendiri kenapa tidak mengatakan tujuan mereka mengunjungi Tante Lia dari awal.

"Iya, Audy cantik. Tapi, masih lebih cantik Mama," ucap Aldo beberapa saat kemudian. Ia mencoba merayu Mama yang sudah memasang wajah cemberut.

"Dasar penjilat," desis Mama hampir tidak terdengar. "oh, ya. Tahun depan Audy lulus kuliah, lho. Berarti nggak lama lagi. Ini kan sudah menjelang akhir tahun," beritahu Mama kemudian. Wajahnya sudah berubah cerah kembali.

Aldo mengernyitkan kening. Lalu?

"Emang kenapa, Ma?" tanya Aldo benar-benar tak punya ide untuk menebak ke mana arah pembicaraan Mamanya.

"Kalau Audy sudah lulus kuliah, kalian kan bisa langsung menikah," jelas Mama dengan nada santai.

Aldo tersentak dan kakinya spontan menginjak rem. Membuat Mamanya kaget dan untung saja seat belt yang terpasang di tubuhnya membuat wanita itu tidak sampai membentur kaca depan.

"Kamu apa-apaan sih, Do? Mau membunuh Mama, ya?!" bentak Mama dengan volume paling tinggi dan amarah yang sudah naik ke ubun-ubun.

Aldo meringis. Sungguh, ia melakukan hal itu dengan tidak sengaja. Ucapan Mama benar-benar membuatnya kaget setengah mati.

"Sorry, Ma." Aldo melajukan mobilnya kembali dengan kecepatan sedang. "Aldo nggak sengaja tadi. Lagian Mama juga sih, ngagetin orang."

Mama mendengus sebal.

"Ngagetin gimana?" timpal Mama sewot. "Mama kan cuma bilang kalau Audy lulus kuliah, kalian bisa langsung menikah," ulang Mama kembali.

"Nah, itu tadi yang bikin Aldo kaget, Ma." Cowok itu menggerutu pelan.

"Gitu aja kaget. Mama nih, yang jantungan gara-gara kamu ngerem mendadak," celutuk Mama masih dengan tampang cemberut.

Aldo tak mengeluarkan komentar apapun kali ini. Cowok itu menutup mulutnya rapat-rapat dan fokus pada kemudi seraya berpikir.

Menikah?

Entah kenapa kata itu tiba-tiba menjadi sakral untuknya. Iya, semua orang harus menikah setelah cukup umur, Aldo juga. Tapi, masalahnya adalah bagaimana ia bisa menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Apa tidak sulit menyesuaikan diri dengan orang asing yang tentu saja karakter dan kepribadiannya jauh berbeda dengan Aldo?

Aldo tidak siap untuk ini semua. Baik mental maupun fisik. Ini bukan soal memperbanyak keturunan, tapi lebih cenderung kepada hati. Karena ia juga butuh kenyamanan saat bersama seseorang yang akan mendampinginya menghabiskan sisa umur. Karena buat Aldo, cinta dan kenyamanan adalah satu paket. Dan tidak mudah menciptakan kenyamanan itu sendiri. Karena rasa nyaman datang dengan sendirinya, bukan dibuat-buat.

"Heh, Aldo!"

Aldo tersentak dan tergagap mendengar teriakan Mama. Lamunan cowok itu terhempas begitu saja. Tak bersisa meski hanya serpihan kecil.

"Ada apa, Ma?"

"Katanya mau beli puding," sahut Mama mengingatkan.

Aldo menghela napas. Sebenarnya ia sudah tidak tertarik untuk membeli puding dalam situasi seperti ini. Tapi, cowok itu membelokkan mobilnya juga ke depan toko kue langganannya. Di sana pudingnya sangat enak.

Perjodohan Romantis (season 2) # CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang