"Kamu nggak sibuk?" Pak Tama mengagetkan Ima yang menelungkup di meja.
"Tidak pak. Ada yang bisa saya bantu?" Ima berbicara tetap dengan posisi aneh menurut Tama.
"Bagaimana bisa bantu kalau kamu telungkup seperti itu. Itu namanya tidak niat sama sekali." Tama mulai jengkel.
"Iya pak."
Tama kaget dengan wajah pucat Ima.
"Kamu sakit?""Saya nggak papa pak. Tamu bulanan saya memang terkadang menyiksa saya." Ima meraih minyak kayu putih di dalam laci.
"Kalau begini terus gimana mau selesai laporannya Ima." Suara Tama mulai meninggi.
"Iya pak."
"Dari tadi jawaban kamu cuma iya iya saja." Tama melihat Ima dengan kekesalan yang menjadi-jadi.
"Pak saya tidak berminat untuk adu mulut untuk pembelaan diri. Saya permisi dulu untuk minum obat." Ima berdiri pamit dengan Tama.
Ketika sampai di pantry Ima meminta bantuan ke Tomi, pemuda yang hari-hari bertugas di area pantry.
"Kamu pucat banget?" Tomi menyerahkan segelas teh hangat ke hadapan Ima."Biasa, cewek." Tomi mengangguk kepalanya. Ima menyesap teh hangat lalu meminum tablet.
"Izin gih sana sama Pak Tama, takutnya pingsan nanti kamu."
"Nggak bisa Tom, lagian setelah minum obat ini sakitnya reda juga. Aku balik dulu. Makasih tehnya."
"Sama-sama Sha. Hati-hati kamu." Tomi melambaikan tangannya.
Ketika sudah sampai di depan mejanya, tanpa aba-aba lebih lanjut telepon di atas meja langsung berdering.
"Ya halo, baik pak." Ima segera mengambil berkas yang dibutuhkan untuk disampaikan ke Pak Tama."Assalamualaikum, bisa saya masuk pak?"
"Silahkan masuk."
Masih saja si tua tidak menjawab salam.
"Ini pak berkas yang sudah saya revisi untuk diajukan nanti." Ima menyodorkan beberapa berkas ke hadapan Tama.
Tama mengernyit melihat tumpukan berkas. "Kamu sudah sehat? Kalau kamu belum sehat nanti malah bikin ribet saya. Apalagi kalau pingsan."
Untung saya lagi nggak mau melawan tindakan seenaknya pak bos. Cari aman saja supaya cepat pulang sesuai jam.
"Saya sehat pak. Nanti kalau pingsan jangan mau ribet ya pak. Misalnya terjatuh dari kursi lalu ke lantai, itu nggak usah di tolong ya pak." Ima cengengesan."Sudah, sudah keluar sana. Sebelum kamu pingsan beneran di hadapan saya." Tama mengibas tangannya tanda mengusir.
"Ya sudah kalau bapak ngusir saya. Assalamualaikum." Ima pamit setengah ikhlas.
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, artinya itu jam pulang.
Ima merenggangkan otot dan sendi.
"Alhamdulillah ya Allah, selesai untuk hari ini."Selesai berkemas-kemas Ima bangkit dari kursinya dan segera menuju lift. Namun ketika sudah di dalam lift ia di tubruk pak Tama.
Ima oleng dan terduduk parah.
"Astagfirullah pak Bos. Kok kayak nggak lihat saya sih. Untung kepala saya tidak bermasalah dan aman sentosa." Ima mengusap kepalanya yang terbentur dinding lift.
Sedangkan pak Tama hanya berwajah biasa."Kamu kalau mau turun jangan pakai lift ini kalau saya juga turun. Pakai tangga darurat sana."
Mentang berkuasa jadi sok asyik sendiri.
Ketika angka sudah menunjukkan 1 mereka berdua keluar tanpa suara dan memilih ke area parkiran masing-masing.
"Astagfirullah berkasnya bertebaran di lantai. Aduh bisa dimarahi oleh big bos ini". Baru saja ia mengumpulkan lembaran-lembaran sudah ada sepatu mengkilap di hadapan Ima.
Gawat ini."Kamu nggak niat ngurusin berkas itu?" Pak Tama bersedekap.
Coba aja nggak kesenggol stir motor nih nggak bertebaran kayak gini kan berkasnya.
Ima tetap menunduk memungut lembaran yang bertebaran. Entah mengapa perutnya kembali sakit dan nyeri. Sambil sesekali memijat perutnya ia tetap melakukan gerak cepat."Kalau masih tidak selesai dalam 1 menit, besok ajukan surat pengunduran diri kamu ke meja saya". Pak Tama tampak melihat jam tangannya.
"Tinggal beberapa detik lagi."Entah mengapa Ima berdiri menghadap pak Tama dengan berani.
"Bapak nggak lihat saya lagi mengumpulkan lembaran sebanyak itu. Mau bapak saya harus punya ajian seribu bayangan" Ima menatap Pak Tama sengit. Pengaruh datang bulan itu berakibat fatal pada akhirnya.
Selesai mengucapkan kata-kata sengit pada akhirnya Ima ambruk.
Pak Tama yang ingin membalas ucapan Ima kaget kalau asistennya pingsan."Hei hei Ima bangun bangun." Tama menepuk pipi Ima namun tidak ada reaksi. Sambil melihat sekelilingnya ia melihat beberapa pegawainya menuju parkiran.
"Hei kalian, bantu saya mengangkat asisten saya."
Mendengar teriakan dari sang bos akhirnya mereka mendekat.
"Kalian masukkan dia ke dalam mobil saya. Setelah itu kumpulkan lembaran yang ada di lantai." Pak Tama hanya melihat tanpa sedikit pun membantu. Tak butuh lama akhirnya selesai.
"Kalian tolong amankan motor Ima, kuncinya serahkan ke satpam. Saya berangkat dulu." Tanpa menoleh lagi ke arah pegawainya ia memasuki mobil dan melaju ke arah Rumah Sakit terdekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)
General Fiction"kamu yakin pengen hidup sama saya? Kamu kan orangnya nggak mau di atur." -Abi Rizki Pratama "Mulutnya ya pak" ~Fatimah Nafisha Azizah #1 Novel @ 11 Mei 2018 #5 General Fiction @ 6 Mei 2018 #9 General Fiction @ 14 April 2018 ◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎...