20

47.1K 2.6K 40
                                    

Kecewa tanpa harus tau apa yang akan diperbuat, Tama terduduk di sofa ruang kerjanya. Merebahkan diri dengan santai. Namun hatinya tidak sesantai gaya tiduran.

Tama memejamkan matanya.

"Dia mantan suami saya yang ingin mengajak rujuk kembali. Sepertinya tidak mencari terlebih dahulu tentang saya."

Kata-kata itu masih terngiang di telinganya. Dia menyesali perbuatan yang tidak dipertimbangkan dulu. Dan malah membatalkan pernikahan dengan Ima. Ya Ima. Perempuan itu menghilang dari kehidupan Tama selama sebulan lebih. Terakhir Tama bertemu dengannya ketika mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu.

"Batalkan pernikahan ini. Setelah saya pikir, memang kamu bukan orang yang saya cari. Saya akan kembali dengan mantan istri saya. Saya ingin memperbaiki hubungan saya yang dulu sempat gagal dengannya."

Betapa menyakitkan kata-kata itu, namun Ima tidak menangis dihadapannya. Ia kokoh. Bukan hatinya yang ia pikirkan, tapi hati orang tua yang sudah berharap banyak. Ima tidak secerewet biasanya. Ia tidak menjawab dengan jawaban yang mematikan Tama.

Tama membuka matanya. "Maaf aku menyakiti perasaanmu. Dan aku juga telah menerima balasannya." Terpaku ditempat. Tidak ada yang bisa ia perbuat untuk menyelamatkan harapan terbesarnya.

Ketukan pintu membuyarkan bayangan pilu.

"Assalamualaikum."

Suara itu, disini dibalik pintu itu. Bergegas Tama menghampiri.

"Wa'alaikumsalam. Papa." Tama menubruk ayahnya yang baru saja datang.

"Tidak usah berlama-lama memeluk. Papa tidak akan lama. Pukul dua siang papa balik lagi." Menambah sesak di dadanya. Mengapa keadaan seperti ini semua orang pergi menjauh.
Tama berjalan mengikuti ayahnya menuju sofa.
"Ini berkas penting yang harus kamu tangani. Papa sengaja datang kesini secara langsung menyerahkannya padamu. Papa lihat kamu baik-baik saja. Jadi tidak jadi masalah kalau papa sekarang balik. Papa permisi. Assalamualaikum."

Melihat ayahnya berdiri dari sofa, Tama remuk redam hatinya. Tidak bisakah ayahnya melihat kondisi dirinya yang terancam hancur tidak bersisa. Ha, seandainya yang dihadapannya adalah ibunya tentu saja beliau akan memeluknya.

"Mengapa tidak tinggal di Jakarta saja?" Tama berucap seperti memohon.

Ayahnya menyunggingkan senyum lalu menepuk pundak Tama. "Kami memberikan waktu untukmu berpikir, mana yang harus kamu tuju, mana yang harus kamu tinggalkan. Papa pulang. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam." Tama terhenyak lantas terduduk kembali. Memikirkan ucapan ayahnya. Hatinya masih kecewa. Akal sehatnya belum tentu bisa diajak kerjasama saat ini.

Dia kembali ke meja kerjanya. Menenggelamkan diri dalam berkas yang sangat penting itu. Tidak sengaja matanya melirik ke arah fotonya yang ia pajang di atas meja. Foto itu diambil ketika ia liburan ke tempat adiknya kuliah. Ia tersenyum miris. "Tama kamu sempurna dalam bekerja, tapi tidak sempurna dalam cinta."

Kemudian menarik laci, matanya terpaku. Selembar foto. Lalu mengambil dan memandangnya. Ia menutup kembali laci. Menelungkupkan kepalanya diatas meja.

"Assalamualaikum." Pintu terdorong dari luar. Seorang perempuan muda cantik yang penuh ceria menghampiri Tama.

Tama mendongak. Lantas memaksakan senyum. "Wa'alaikumsalam."

"Sakit?" Tama menggeleng.

"Belum makan?" Tama menggeleng.

"Sariawan. Kok nggak bicara sih." Perempuan cantik itu tetap memaksakan lawan bicaranya membuka mulut.

"Dasar manusia aneh. Aku capek-capek datang kesini, malah disambut gelengan kepala." Lagi-lagi perempuan cantik itu kesal.

"Kamu cantik dengan kerudung itu." Tama membuka suara.

"Yes bicara juga. Ayo temani aku makan. Belum makan juga kan?"  Perempuan itu menarik Tama.

"Saya lagi malas makan." Tama enggan beranjak.

"Aku traktir deh." Memaksakan dengan semangat 45.

"Baiklah. Tapi jangan jauh." Menyetujui ucapan.

"Gitu dong. Nggak rugi kan aku datang." Dia memeluk lengan Tama dengan bahagia.

Pegawai di perusahaan itu melirik intens, ketika big bos mereka digandeng oleh seorang perempuan cantik yang baru pertama kali mereka lihat hari ini. Banyak yang iri karena perempuan cantik itu berkerudung dan tersenyum ramah kepada siapa saja yang ia temui. Jangan ditanya lagi pria yang ia gandeng tidak setitik pun menyedekahkan senyum kepada pegawainya.

Mereka melangkah menyebrang jalan untuk sampai di restoran depan kantor Pratama.

Mereka mengambil duduk di dekat dinding kaca yang terhubung ke jalan raya.

Tidak sengaja tatapan Tama ke salah satu pengunjung restoran. Fenny. Sahabat dekat Ima. Terlihat Fenny juga melihat ke arahnya. Lantas berdiri dan melangkah ke arah Tama.

"Jadi ini wanita yang membuat bapak lebih memilih meninggalkan bahkan membatalkan pernikahan dengan Ima. Bapak keterlaluan. Seharusnya bapak tersakiti dulu baru bahagia." Ada jeda sebentar. "Dan kamu perempuan yang tidak tau saya asal bahkan namanya. Semoga lelaki didepan mu ini tidak menyakiti perasaanmu seperti ia menyakiti sahabatku selama ini. Dan jangan mau diajak nikah. Dia bisa saja membatalkan niatnya secepat ia mengganti perempuannya."

Tama tidak sanggup mendengar Fenny berceloteh sekehendaknya. "Cukup" ia meredam pembicaraan Fenny. Banyak orang melirik ke arah mereka. Pegawai kantor Pratama yang sedang makan di restoran itu menoleh karena keributan terjadi bersumber dari meja bos mereka.

"Tidak terima dengan apa yang saya ucapkan bapak Tama yang terhormat." Fenny tertawa sumbang. Ini yang ditakutkan oleh Tama, semua orang menyerang dengan blakblakan dihadapannya.

"Kamu tidak memahami bahkan menjalaninya, jangan seperti sok tau." Tama berhenti. Rasa lapar datang mendera. Ia duduk kembali. Bersitegang dengan Fenny hanya akan membuat hatinya semakin hancur.

"Saya memang sok tau pak. Tapi perasaan Ima semua orang terdekatnya pasti tau." Fenny berlalu dari hadapan Tama.

Perempuan dihadapannya memahami perasaan Tama. Diserang habis-habisan tanpa ampunan.

"Mereka tidak akan tau apa yang aku rasakan." Tama berucap lemah.

"Tentu saja. Tapi orang terdekat lebih memahami ketimbang orang jauh yang tiba-tiba dekat. Bukan begitu?" Perempuan itu tersenyum.

"Kamu lebih dewasa sekarang." Tama memandangi perempuan dihadapannya. Setidaknya masih ada yang bisa menemani dirinya saat ini.

Usai makan siang, mereka kembali ke ruang kerja Tama. Tama memeluk perempuan itu. "Terimakasih sudah datang hari ini. Setidaknya ada beban yang berkurang dihatiku."

"Baguslah. Setidaknya aku tidak akan jadi badut untuk membuatmu tertawa hari ini." Perempuan itu terkekeh. "Alhamdulillah tadi tidak diguyur air putih segelas."

"Iya juga ya. Sahabat dekatnya itu biasanya akan menghajar siapapun yang melukai Ima." Tama ikut terkekeh.

"Penasaran deh Ima itu seperti apa orangnya." Tama gelisah mendengar hal itu. "Tapi aku pulang dulu deh. Assalamualaikum."

Tama melerai pelukan diantara mereka. "Wa'alaikumsalam sayang. Besok kesini lagi yah."

Perempuan dihadapannya mengangguk lalu pergi.

●●●✩✩✩○○○
6.Februari.2018

Assalamualaikum pembaca "ABS".
Saya baru update ini. Habis adu urat gara-gara menghitung umur peserta binaan saya sama panitia pelaksana.

Makasih yang sudah baca, kasih vote, kasih komentar. Jadi nikmati dulu part ini.😂

Selasa, berhujan ria.

Wa'alaikumsalam wrwb.

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang