16

47.5K 3.1K 40
                                    

"Assalamualaikum." Tama mendorong pintu rumah yang sunyi tanpa suara.

Sepi. Ia melangkah ke sofa di ruang tamu. Menyandarkan kepalanya dengan sesantai mungkin. Tenaga terkuras, apalagi pikiran. Bertempur dengan berkas, relasi, karyawan bahkan pimpinan kantor cabang Palangkaraya juga ikut andil.

Pasalnya selepas makan siang, Tama di telpon untuk meminta pendapat. Bahwa banyak karyawan yang minta resign alias undur diri semenjak Ima keluar dari kantor cabang. Kalau ingat kelakuan Tama yang tak berkepribadian stabil membuat ingin meruqiyahnya.

Tama menghembuskan nafas dalam. Ia menoleh ke arah pintu. Terlihat ibunya berjalan lesu.
"Mama kenapa?"

Bu Riska menoleh ke sumber suara. Dengan langkah cepat ia menghampiri anaknya yang tidak tau kondisi. Lalu duduk.
"Kamu tanyakan kenapa hah? Ini semua gara-gara sikap gendengmu itu."

Nah sudah bawa gendeng, bakalan keluar kapak. Paham kan maksudnya apa.

"Maksud mama?" Tama gagal paham.

Wajah bu Riska memerah. "Pertunangan kamu dan Ima gagal untuk saat ini. Kamu yang bikin kacau. Dia bakalan mondok 3 bulan."

"Oh." Pendek, singkat dan begitulah Tama.

Ibunya beranjak dari duduknya berjalan ke arah kamar. Namun ia berbalik ke arah Tama. "Mama nyerah sama kamu. Urus sendiri hidupmu. Termasuk calon isterimu." Lalu masuk kamar dan mengunci dari dalam.

Tama menggeleng kepalanya melihat aksi ibunya. "Nanti juga balik lagi normalnya." Bah dikira mesin.
Namun berbeda dengan isi hatinya yang terus mempertimbangkan ucapan ibunya.

◎◎◎◎◎◎◎

Ima mengetuk pintu kamar umi Jihan. "Assalamualaikum umi."

"Wa'alaikumsalam, masuk." Terdengar jawaban dari dalam kamar.

Ima mendorong pelan dan masuk.

"Kenapa nak? Bukannya kamu gabung pengajian di aula putri."

"Sudah umi. Makanya bisa kesini. Ada hal yang ingin Ima luruskan." Ima tiba-tiba grogi.

"Ayo duduk dulu." Umi Jihan memandang perempuan muda yang cantik dengan kerudung lebarnya. "Cerita."

"Maaf sebelumnya umi, maksud perkataan saya tadi siang jangan dianggap benar apalagi fakta." Ima mulai menambah kosakata baru lagi.

"Yang mana sayang?" Umi mengulum senyum.

Ima membenarkan letak jilbabnya. "Yang minta dijodohkan dengan ustad umi."

"Oh itu. Eh, kalau kamu tidak ngomong umi lupa menyampaikan sama kamu. Tadi itu pas umi keluar kamar, ternyata ada kepala bagian dapur yang memanggil umi. Tidak jadi umi menemui abah." Sampai disitu stop kisah umi.

Ima senang dalam hatinya. Namun patah seribu patah.

"Sebelum maghrib, abah datang. Lalu umi cerita deh." Umi Jihan senyum cerah.

Hilang sudah senang dari hati Ima. Hampir salto tapi gagal total.

"Besok pagi kita dengarkan hasil pembicaraan abah dengan ustad Alvy."

Tidak ada kata yang terucap dari mulut Ima selain anggukan cantik dari kepalanya.

◎◎◎◎◎◎◎

"Assalamualaikum abah."

Abah yang dimaksud disini adalah kepala pesantren Al-Ikhlas. Beliau mendongak melihat siapa yang datang menyapa. Beliau tersenyum. "Wa'alaikumsalam nak, ayo masuk."

Mereka melangkah ke arah sofa di kantor abah.

"Kenapa nak Tama, apa kabar? ada yang bisa abah bantu?"

"Alhamdulillah saya sehat abah, apakah Ima mondok disini lagi?"

"Iya nak. Ada apa?"

"Tidak apa-apa abah."

"Sepertinya dirimu risau. Apakah ada kaitan dengan Ima?"

"Tidak ada abah. Bagaimana pesantren abah?" Tama mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah lancar nak."

"Kalau ada perlu atau ada hal lainnya hubungi saya, bah."

"Rasanya banyak berhutang budi abah denganmu nak."

"Tidak abah. Anggap saja ini tabungan saya." Ucapan tulus dari Tama.

"Alhamdulillah, kamu banyak berubah nak. Abah bahagia dengan keadaanmu. Bagaimana kantor?"

"Ya begitulah abah. Namun hari ini saya banyak beban." Tama menghembuskan nafas pelan.

"Selalu berusaha sabar. Akan ada Allah yang membantu setiap masalah."

"Iya abah. Umi dimana abah?" Tama melihat ruang sebelah yang nampak lengang.

"Umi ada di dapur. Lagi melihat persiapan untuk makan sore. Kamu ingin ketemu umi?"

"Iya abah."

Abah mengangguk paham dan mempersilahkan Tama menuju dapur.

Pertengahan jalan menuju ruang dapur, Tama melihat Ima yang berkumpul dengan para santri di suatu ruangan. Ia menarik senyum. Orang yang di pecat beberapa kali olehnya, sedang tersenyum dan tertawa lepas.

"Maaf nak, kamu terlambat kali ini. Abah sudah memberikan jalan ta'ruf antara Ima dan ustad Alvy."

Persis botol aqua yang diremas dengan kekuatan super. Tama kaget dengan ucapan seseorang di sebelahnya. Ia melihat ada umi Jihan yang tersenyum.

"Biarkan Ima bahagia dengan jalannya sendiri."

"Tapi umi." Ucapan Tama menggantung.

"Umi tau mengapa Ima masuk untuk beberapa bulan ke depan. Pasti ada kaitannya denganmu."

Tama hendak menjawab tapi masih menyusun kata yang tepat.

"Nak jangan membuat beberapa masalah kecil menjadi besar. Ima mondok disini pasti ada hal besar di antara kalian berdua. Tidak ada terdakwa lain selain kamu." Umi Jihan terkekeh.

Perlahan Tama merilekskan tubuhnya. "Saya memang terdakwa umi. Namun itu jika berhubungan dengan Ima. Dia wanita yang berbeda. Keras kepala, berpengaruh, bahkan mengalahkan sifat angkuh saya."

Umi Jihan senang mendengar Tama yang mau terbuka. Dibandingkan setahun yang lalu. Tama yang dingin, angkuh bahkan irit bicara dan tertutup.

"Kapan kamu akan memperjuangkan Ima? Dan tidak akan memandang Ima sebagai bawahan kantoran tetapi seorang wanita yang patut dan layak diperjuangkan." Umi Jihan menanyakan dengan sambil menyelidiki reaksi Tama.

"Umi saya masih menyiapkan diri untuk menyandingkan diri dengan Ima." Tama berujar mantap.

"Seberapa lama?"

Pertanyaan yang ngeri di tahun dan bulan ini. Menanyakan seberapa lama itu artinya bila menjawab belum tau maka yang kan di dapat adalah ucapan selamat atas pernikahannya dan tidak berjodoh denganmu.

Tama menggerakkan tangannya lalu mencium punggung tangan umi.

Umi mengernyit.

"Lupa kasih salam umi waktu datang tadi." Bagus Tama pandai berkelit. "Assalamualaikum umi"

Umi terkekeh, "Wa'alaikumsalam nak".
"Seberapa lama?"

"Hah?" Tama pikir dengan ucapan salam tadi membantu menghilangkan pertanyaan ngeri itu.

Umi tertawa, ia tau seorang Tama masih bimbang dengan perasaannya. Beliau tau ada pelajaran tambahan untuk Tama agar ia memahami posisi Ima  di hatinya.

"Ya sudah kalau kamu tidak bisa menjawab, maka kami akan meneruskan lagi ta'rufan antara Ima dan ustad Alvy. Kamu harus belajar strong ya. Apalagi kalau mereka duduk manis di pelaminan. Ayo kita ke ruangan abah." Umi melangkah pergi disusul Tama.

Duduk manis, pelaminan, pernikahan. Gagal kamu Tama. Ima lebih cantik duduk bersanding dengan ustad Alvy dibandingkan kamu Tama.

✩✩✩※※※✩✩✩
29.Januari.2018

Alhamdulillah saya update juga.
Salam sehat, bahagia.
Selamat membaca ya.
Assalamualaikum wrwb.😇😍😘

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang