12

57.3K 3.4K 33
                                    

Setelah menambah jatah sehari menginap di rumah sakit akhirnya Ima kembali ke balik meja kerja.

Tama tetap menuntut pemeriksaan bulanan penjualan di kantor cabang Palangkaraya yang sekarang dikelola oleh Ima.

"Sudah selesai?" Ima mendongak lalu menatap kembali komputer di depannya.

Tak digubris membuat Tama naik level.

"Layar komputer itu lebih menarik dari apa yang saya tanyakan hah?" Tama berkacak pinggang.

Ima tetap diam dengan jari terus mengetik di keyboard.
Sekretaris yang berdiri bingung dengan situasi diantara pimpinannya.
Yang jadi pemimpin utamanya siapa sih.

"Maaf mbak saya mau izin ke lobby dulu, menjemput Kepala Kantor cabang dari Banjarmasin." Rina izin keluar.

"Ah iya, silahkan. Nanti langsung arahkan kesini." Ima senyum.

Tama mulai menggerutu dalam hati. Dengan sekretaris saja kasih senyum. Apa kabar saya sudah berdiri lama di hadapannya.

"Silahkan duduk pak di sofa. Jadi saya akan menjelaskan secara singkat perkembangan penjualan selama beberapa bulan yang lewat. Tapi izinkan saya mengambil air minum dikulkas untuk bapak." Ima berdiri namun di tarik kembali oleh Tama. Karena oleng dan tidak seimbang tubuh Ima jatuh dan lagi lagi bibir mereka berdua menyatu.

"Akhhhhhhhhh"
Ima berteriak dan mendorong tubuh Tama. Bukan Tama yang berakhir di lantai tapi Ima. Pendaratan yang tersendat akibat terkena meja baru menggelinding ke lantai.

"Astaga Ima." Tama mengecek kondisi Ima yang meringis.
Posisi yang seperti mencium kalau dilihat dari belakang Tama.

"Eh maaf pak." Sekretaris Ima menutup kembali pintu ruangan Kerja Ima.

"Mereka suami istri?" Pertanyaan terlontar dari mulut Kepala Kantor Cabang Banjarmasin sambil senyum-senyum.

"Hah, bukan bu." Sekretaris Ima gagal paham. "Sebentar saya ketok lagi bu."

"Masuk." Bukan Ima yang menjawab tapi Tama.

Saat sekretaris dan kepala kantor cabang Banjarmasin masuk, mereka disuguhi pemandangan baper ala Tama dan Ima.
Tama memijat tangan Ima dengan sepenuh jiwa.

"Maaf kalau saya mengganggu bapak dan ibu. Saya Andien Kepala Kantor Cabang Banjarmasin." Kepala Kantor Cabang Banjarmasin angkat bicara.

"Langsung saja." Nah basa basi pun tidak langsung tembak pada sasaran membuat Andien gugup.

"Maaf bu Andien, beliau adalah Direktur Utama perusahaan Pratama, bapak Abi Rizki Pratama dan yang disebelah beliau Kepala Kantor Cabang sekaligus Kepala Bidang Pemasaran disini ibu Fatimah Nafisha Azizah." Rina menjelaskan.

Sepanjang penjelasan dari Andien, Tama tidak menyadari tangannya yang tetap memijat tangan Ima. Ima pun tidak protes karena memang tidak menyadari. Andien beberapa kali mencuri lirik dengan posisi Tama dan Ima.

"Kamu kalau menjelaskan jangan lirik sana sini." Andien gugup dengan teguran yang tiba-tiba.

"Ah iya pak."

"Banyak hal yang diperbaiki dalam laporan kalian. Lihat dengan teliti sasaran penjualan. Saya tunggu bulan depan laporan baru."

"Iya pak, kalau begitu saya permisi." Andien hendak berdiri namun terhenti.

"Kita makan siang dulu bu Andien." Bukan karena apapun, tawaran dari seorang Tama yang tidak bisa digeser bahkan dihapuskan dari agenda.

"Iya pak."

Tama melepaskan pijatan dari tangan Ima dan berdiri melangkah ke arah pintu, diikuti oleh Andien.

Sebal, kesal, jengkel, dongkol.
Bisa-bisanya Tama tidak menghiraukan Ima. Mengajak pun tidak. Dicatat kalau perlu diukir di atas prasasti.
Setelah Andien dan Tama keluar, Ima berdiri ke arah pintu dan mengunci. Ia melangkah ke arah kamar mandi yang terletak di ruangan kerja untuk mengambil air wudhu.

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang