4

70.8K 4.6K 54
                                    

"Astaga sudah jam pulang tidak balik - balik." Tama marah boo...
Ia keluar ruangan dengan langkah menggebu-gebu.
Begitu sampai di area lobi ia bagaikan macan berang.

Karyawan yang semula hendak menyapa jadi tak terjangkau.

"Loe tau kabarnya pak Bos itu duda." Budi berbisik ke telinga Fenny.

"Hah. Jangan bercanda ya Bud. Kalau kedengaran sama pak Tama langsung pecat solusinya." Fenny gemas dengan ember 5000an disebelahnya yang terus mengoceh.
Yang ada dalam pikiran Fenny bukan duda tapi asisten si duda yang tak kunjung timbul.
"Pulang gih sana bencong kere. Melantur mulu"
Fenny mendorong paksa si Budi alias Bencong kere.

Sejam.
Fenny menunggu dilobi bahkan bolak balik parkiran demi menjaga asisten tak tau diri versi pak Tama.
"Hah pulang deh gue. Cukup gue diginiin sama Ima."
Dengan letih Fenny pulang ke kontrakannya dengan Ima.

*******

"Kamu baru pulang nak." Ibunya menatap Tama dengan heran.

"Iya bu." Tama berjalan ke dapur untuk mengambil minuman.

"Kamu kenapa? Ada masalah dikantor?" Ibunya menyusul di belakang Tama.

"Asisten tak tau diri itu nggak balik-balik ke kantor ma. Kerjanya jadi terbengkalai hari ini dari pagi sampai sore. Berkas yang kemarin harus jadi hari ini malah nggak beres sama sekali." Tama meneguk air minum dengan cepat karena jengkel.
Ibunya ternganga mendengar barisan kalimat yang panjang.

"Kamu curhat." Ibunya sengaja membuat api.

"Mama cukup." Tama pergi dari hadapan ibunya. Melihat hal itu ibunya tertawa senang.

"Suka banget bikin anaknya kesal" gerutu Tama.

"Ibu dengar." Ibunya masih tertawa keras.

Ketika baru saja masuk ke kamar, hpnya berdering.

"Ya, ada apa?"

"Pak, Fisha alias Ima tadi izin kemana ya pagi tadi?"

"Katanya ngambil berkas, kenapa?"

"Berkasnya masih ada pak. Astagfirullah itu anak kemana ya."

Tama memahami perkataan Fenny. Lalu ia teringat dengan Ima yang turun ke lantai dasar dengan memakai tangga. Dan bicara capek dan ditambah lagi baru saja keluar rumah sakit subuh tadi.

Fenny bingung karena tidak ada suara dari Tama.
"Halo pak. Halo."

"Ya saya tutup dulu." Tama menutup telepon dengan tergesa.
Satu yang dipikirannya. Semoga itu tak terjadi.
Tama menuruni tangga dengan cepat.

"Kamu kemana lagi Ama?" Ibunya heran dengan kelengkapan jaket dan sebagainya.

"Urgent ma. Ama ke kantor sebentar." Tama pamit sambil mencium tangan ibunya.
Ibunya kaget dengan kelakuan anaknya yang ajaib.
Mungkin dia dapat hidayah.

Ketika sampai mobilnya Tama mencoba menghubungi Ima. Nihil. Tidak aktif begitu kata operator.
"Halo pak. Masih di kantor? Oh iya. saya ke sana karena ada urusan sedikit. Baik pak."
Tama memacu mobil dengan kecepatan tinggi.
Sampai di depan kantor ia memarkirkan mobil sembarangan. Dan di depan pintu masuk sudah menunggu satpam.
"Pak tolong lihat ke parkiran motor, apakah masih ada motor yang terparkir?"

"Baik pak."

Begitu satpam ke arah parkiran, Tama masuk ke arah lift.
Ia memencet tombol 14. Semoga harapannya terkabul. Ketika keluar dari lift ia segera menuju tangga dan sialnya pintu ke tangga terkunci. Ia memanggil nama Ima namun tak ada jawaban. Gusar. Geram.
Ketika hendak menelpon satpam namun lebih dulu satpam yang menelpon.
"Halo pak Riza bagaimana?"

"Ada pak, motornya asisten bapak"

"Bapak tolong susul saya ke lantai 14 dan jangan sampai lupa bawa kunci pintu tangga lantai 14."

"Iya pak. Mohon tunggu sebentar."

Telepon terputus. Tama menatap pintu yang belum bisa terbuka.
Tak lama pak Riza selaku satpam datang. Dan segera menuju pintu tangga.
"Memang ada apa pak di tangga?" Pak Riza masih berusaha membuka pintu.

"Saya hanya memastikan sesuatu pak" Tama mulai mengusap muka.
"Pak tolong cepat."

"Nah silahkan pak". Pak Riza mendorong pintu mempersilahkan masuk.
Tama masuk dan melihat ke arah tangga.
Heh kok bego dipelihara sih. Sampai ketiduran di undakan tangga.

"Loh non Fisha kok bisa ditangga ya pak." Pak Riza menggaruk kepalanya.

"Fisha?" Tama bingung.

"Iya pak. Kenapa pak?"

"Oh tidak apa-apa pak. Saya periksa dulu pak." Tama melangkah ke arah Ima. Mencoba menepuk pundaknya namun tidak ada reaksi.
Tama mencoba meraba dahi dan kaget mendapati Ima demam tinggi.
"Pak tolong ikuti saya." Tama mengangkat tubuh Ima keluar pintu tangga disusul pak Riza. Ketika sudah sampai di depan mobil Tama langsung membawa masuk dan segera melaju ke rumah sakit terdekat.

Entah itu kebetulan atau takdir.
Kembali ke rumah sakit Permatasari. Dan tetap di ruang yang sama. Dan perawat yang sama.

"Bapak isi dulu administrasi yang ada." Perawat itu menyodorkan formulir dan pulpen ke hadapan Tama.

"Saya bukan walinya mbak."

"Tetap saja pak. Bapak yang mengantarkan pasien." Perawat ngotot juga.

Tama mulai murka. Dengan wajah memerah ia mengambil formulir dan mengisi.

Perawat yang dihadapannya tersenyum. Kalah juga kan si manusia batu.

Tama bingung dengan apa yang tertera. Status. Muter-muter otak, terpaksa pakai status KTP "kawin". Dengan segera ia mengisi sampai selesai. Lalu menyerahkan ke perawat.

"Bapak suami pasien kan?" Perawat itu tersenyum.

Tama lelah. "Bukan".
Lalu berlalu ke ruangan inap Ima.

"Masnya nggak ngaku deh kalau sudah punya istri. Pengen nyari yang lain kali yah."
"Iya kan dia cakep banget. Body wiew banget ya kan."
"Pengen gue tendang deh laki yang kayak gitu"
Gosip merambah diantara perawat yang berjaga.

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang