Ima belum menghentikan tangisnya. Baru saja beberapa jam yang lalu ia mengirimkan email ke calon suaminya. Namun beberapa jam berikutnya, semua yang mereka bicarakan di email seperti layang-layang putus benang.
Ibunya masih setia memeluk untuk menenangkan anaknya.
Polisi Andre masuk ke ruangan tamu. Wajahnya tampak muram. "Ima." Ima mendongak ke arah Andre. "Aku minta maaf kalau kabar ini tidak sejalan dengan pikiran kamu saat ini." Lama berjeda.
"Maksudnya?" Ima menghentikan sejenak tangisan.
Semua orang yang di dalam ruangan itu mengarahkan pandangan pada satu titik fokus. Andre.
"Hemm." Andre menggaruk kepalanya. Semua orang gemas dengan kelakuannya.
"Ngomong yang jelas dong Dre." Ima sudah tidak sabaran.
"Tunggu dulu mas ganteng ngomongnya." Mbak Audia yang tidak mau dipanggil mas itu keluar kamar dengan berlari ala india disertai napas putus-putus. Ia menghentikan ucapan Andre yang sudah diujung lidah.
Semua orang pindah pandangan ke arah perempuan jadi-jadian dihadapan mereka.
"Mbak cantik dengerin eke mau bicara." Audia cengengesan.
"Lama amat bencong." Ridho nimbrung.
"Hush, kakak nggak boleh ngatain orang kayak gitu. Ayo lanjutkan ucapan kamu." Bu Amira memperingati Ridho dan menyuruh Audia melanjutkan ucapannya.
"Gini loh bu, mbak Ima tadi buru-buru keluar aja tanpa melihat siapa korban tabrakan itu. Huh gimana sih. Mas ganteng mau dibilang udah death alias meninggal. Itu tadi nama korbannya 'Heru Marzuki' bukan 'Abi Rizki Pratama'. Ya dilihat dong mbak kelanjutan beritanya itu. Ya udah saya masuk lagi. Bye bye mbak Ima. Banyak-banyak muatin sendok dalam kulkas aja buat ngilangin mata sembab." Mbak Audia pergi dengan tertawa riang.
Salah sasaran. Pasti Tama kesenangan kalau dikhawatirkan dengan seberat-beratnya timbangan beras.
Ima melongo. Sekonyong-konyong airmata yang turun tadi sekarang kering kerontang.
Andre akhirnya menimpali ucapan mbak Audia tadi. "Saya tadi sudah telepon rekan kerja saya bagian Ditlantas. Ternyata mobil yang dikendarai oleh saudara Heru Marzuki memang mobil Tama. Heru itu sepupu dari Tama. Dan kondisinya hanya sekadar patah tulang kaki karena terjepit. Jadi, Ima tolong kalau melihat berita jangan setengah-setengah. Dituntaskan, supaya tidak buang airmata segitu banyaknya." Andre tersenyum setelah menyelesaikan ucapannya. "Dan besok, kamu masih bisa nikah sama Tama." Andre melenggang pergi keluar rumah melanjutkan kerjaannya membantu orang rumah.
Ridho juga ikutan keluar rumah. Bu Amira juga segera menuju dapur. Tinggal Ima yang masih berdiri bak patung liberty. Semua orang kabur dan memilih kegiatan masing-masing daripada nonton tayangan fiktif belaka dari Ima.
"Duh, malunya ih. Eh, jangan-jangan kak Ridho nelponin si big bos lagi. Astagfirullah." Ima berlari keluar rumah mencari keberadaan kakaknya.
Setelah mendapati orang yang dicari, Ima memanggil Ridho. Tidak peduli tatapan lucu dari orang yang sedang membantu persiapan hajatan karena ia memakai masker yang diracik made in neneknya. Ridho menggeleng kepala melihat kelakuan adiknya yang tiada tara.
"Kenapa dek?" Ridho mendekat.
"Kakak udah menghubungi si big bos?" Ima berbisik di telinga Ridho.
"Big bos?" Ridho bingung.
"Tama maksudnya kak?" Ima masih setia bisik-bisik tetangga.
"Ah, belum. Memang kenapa dek?"
"Alhamdulillah. Kakak memang better. Aku masuk ya kak." Ima melenggang masuk meninggalkan kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)
General Fiction"kamu yakin pengen hidup sama saya? Kamu kan orangnya nggak mau di atur." -Abi Rizki Pratama "Mulutnya ya pak" ~Fatimah Nafisha Azizah #1 Novel @ 11 Mei 2018 #5 General Fiction @ 6 Mei 2018 #9 General Fiction @ 14 April 2018 ◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎...