17

50.6K 2.8K 12
                                    


2 bulan kemudian.

"Mama, abah, kakak, Ima berangkat dulu ke pesantren." Terdengar suara dari Ima yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Tidak sarapan dulu nak?" Bu Amira menghentikan suapannya.

"Sepertinya bakalan telat ma." Ima berjalan mencium satu persatu tangan anggota keluarga yang lagi sarapan.

"Kamu nggak bareng kakak aja." Kakaknya Ridho menawarkan tumpangan.

"Nggak deh kak. Kasian kakak mutar dulu baru ke kantor. Ima pakai sepeda motor aja." Ima meminum susu yang tersedia untuknya.

"Ya sudah kalau begitu, hati-hati kamu. Satu bulan lagi kan mondok."

"Iya abah. Ima pamit dulu. Assalamualaikum." Ima beranjak keluar rumah.

"Wa'alaikumsalam." Jawaban kompak dari keluarganya.

Ketika Ima menarik daun pintu, ia tertegun.

Tama sudah berdiri disana. Tepat di hadapannya dengan wajah yang segar. Dan khususnya hari ini, ia mempersembahkan senyum terampuh di tahun 2018 ini.

"Berangkat?" Tama membuka percakapan.

Ima tidak bergerak, lalu menundukkan pandangan. Tidak ingin menatap Tama.

"Ke pesantren lagi kan. Saya antar." Tawaran manis dari seorang Tama.

"Maaf, saya berangkat sendiri dan tidak ingin merepotkan bapak." Ima menolak halus.

"Menghindar. Segitu marahnya kamu ke saya. Hanya gara-gara kamu gagal ta'rufan dengan ustad Alvy." Tama berdiri kokoh.

"Saya telat. Permisi. Assalamualaikum." Ima melangkah melewati Tama. Namun tertahan oleh tarikan Tama.

"Kita selesaikan masalah ini." Tama mengeluarkan ponsel dari saku jas nya.
"Assalamualaikum abah, saya minta sampaikan ke umi, bahwa Ima hari ini izin. Iya Abah, ada yang akan kami urus hari ini. Terimakasih abah. Assalamualaikum." Sambungan telepon terputus.
"Jangan seperti ini Ma. Jangan diam. Kamu membuat saya takut." Tama memandangi Ima lama sekali.

"Bapak yang harus dapat pertanyaan sejahat itu. Bapak kenapa halangi ta'rufan saya dengan ustad Alvy. Kalau bapak tidak mau lihat saya berjodoh dengan orang lain, kenapa tidak bapak saja yang datang berjodoh dengan saya?" Ima kesal dengan level akut.

"Kamu yakin pengen hidup sama saya? Kamu kan orangnya nggak mau di atur." Tama memancing jawaban selanjutnya dari seorang Ima.

"Mulutnya ya pak." Ima semakin kesal.
"Akhirnya Ima yang suka berdebat kembali untuk sementara." Gumaman Tama bersuara di dalam hatinya.

"Senyum lagi, udah ya pak. Saya berangkat saja." Ima berjalan meninggalkan Tama yang masih berdiri di depan pintu.

"Ayo kita masuk. Kamu hanya perlu mendengarkan dan duduk manis." Tama mengode Ima kembali masuk.

Namun Ima menghidupkan mesin motor tanpa peduli ajakan bahkan rayuan andalan dari Tama. Dia trauma sedikit dengan kelakuan Tama di awal-awal dia mondok. Siapa lagi penguasa yang campur tangan masalah ta'rufan kalau tidak si Tama. Ima akui aksi nekat dan sedikit drama seorang Tama melunturkan niat seorang Alvy.
"Mudah banget sih jadi orang di hasut oleh Tama." Ima tiba-tiba kesal waktu mengingat Alvy.

"Hey Ima, ayo masuk." Tama menyadarkan Ima yang berimajinasi.

"Nggak mau Abi." Ima tersadar dan menutup mulutnya.

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang