Menyetujui untuk ikut pulang ke Indonesia tidak sesuai khayalan Tama. Saat ini ia sibuk berkejaran dengan Ima.
Padahal waktu berangkat tadi mereka berdua semobil. Ketika sudah sampai di bandara, tiba-tiba Ima menghilang. Tama frustasi. Karena tinggal 30 menit lagi pesawat akan berangkat.
"Assalamualaikum, pa. Tama minta bantuan untuk melacak keberadaan Ima."
"Wa'alaikumsalam. Loh kan kalian berangkat bersama?"
"Ima menghilang pa. 30 menit lagi pesawat berangkat. Keliling sudah ini."
"Papa telepon dulu orang kita dibandara."
"Iya pa. Ama tutup dulu. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Tama kembali melangkah mencari di dalam ruang tunggu sampai harus izin kepada petugas untuk keluar.
Tama ngos ngosan. Tidak sanggup sudah berlari akhirnya terduduk di kursi tunggu. Memijat pelipis.
Dering telepon mengagetkan Tama. "Iya pa. Emm. Makasih pa. Assalamualaikum."
"Kamu luar biasa Ima. Segini beratnya memperjuangkan kamu." Tama membatin.
Tama masuk kembali ke ruang tunggu. Tidak lama terdengar panggilan untuk segera memasuki pesawat. Tama tampak tenang. Ima hanya pindah tempat duduk. Yang awalnya di kursi nyaman berubah ke kursi biasa. Yah itulah Ima. Supaya tidak duduk berdekatan dengan Tama.
◎◎◎◎◎◎◎
Ima memasuki pesawat. Dia sengaja menghilang agar tidak berdekatan kursi dengan Tama. Dia pun sengaja masuk pesawat paling akhir agar tidak berbarengan. Ima melihat tiketnya sekali lagi untuk mencocokkan nomor kursi. Dia memang memilih kursi di dekat jendela. Setelah pesawat mulai meluncur, Ima heran, kursi disebelahnya kosong.
Apa nomor kursinya nggak cantik yah, makanya nggak ada yang ngisi.
Penyakit terkaan belaka Ima kambuh. Memang luar biasa. Bahkan dia tidak repot untuk bertanya mengapa kosong. Toh itu mengurangi beban pesawat.
Tak lama Ima mulai menguap. Ia memang lelah. Yah lelah main petak umpet dengan Tama. Butuh usaha yang besar sekaligus berat untuk menjalankan misi. Agar tidak berdekatan dengan Tama. Perjalanan masih panjang. Ima memejamkan matanya.
Tama melangkah dari kursi empuk untuk melihat kondisi Ima. Tidak tanggung-tanggung, Tama membayar kursi kosong yang disebelah Ima. Seorang pramugari menyapa Tama.
"Saya akan duduk di kursi itu." Pramugari itu mengangguk.
Tama duduk disebelah Ima yang pulas. Wajahnya tenang. Tama meraih kepala Ima dan menyandarkan ke bahunya. Kemudian menyelimuti Ima.
"Kamu tau, tidak ada perempuan yang membuatku berjuang seperti ini. Kamu berani berbeda pendapat dariku. Kamu siap disegala waktu untukku. Meskipun itu tengah malam. Love you Ima. Maaf sudah membuat kamu terluka." Tama mencium ubun-ubun Ima.Perjalanan panjang di atas udara seperti ini memberikan kesempatan yang baik bagi Tama untuk terus memperhatikan Ima yang tertidur. Ia rela tidak tertidur. Demi untuk terus menatap perempuan yang ia katakan bukan tipenya tempo hari.
Tama muak dengan sikapnya selama ini, yang tidak sesuai dengan hatinya.
"Kasian mas, istrinya kecapekan. Baru pulang bulan madu ya?"
Tama kaget dengan pertanyaan teman sebelah kursinya. "Ah iya mas, ini juga dipaksa dulu pulang." Jawaban yang hampir ketahuan dusta nya.
"Ouh ya, langgeng ya mas." Ucap teman disamping.
"Iya mas." Tama melempar senyum.
Tama mengusap kepala Ima yang nyenyak, kemudian menyelimutinya.
◎◎◎◎◎◎◎
Terasa enak sekali tidurnya kali ini. Ima masih nyenyak dan bermimpi indah. Tak berapa lama tepukan lembut di pipinya. Ima perlahan membuka mata.
Pemandangan yang pertama terlihat bukanlah kondisi dalam pesawat. Melainkan wajah seseorang yang ia hindari. Senyum dikulum Tama. Ima mengerjap beberapa kali untuk memastikan apakah ia hanya mimpi.
No, no. Ternyata nyata dan terbukti asli dunia nyata. Orang yang di hadapannya sekarang memang Tama.
"Jadi yang kusangka bantal tadi, pundak si sabun colek ini." Ima membisikkan dalam hati.
"Ayo siap-siap sebentar lagi pesawat akan mendarat." Tama berucap manis.
Ima memalingkan wajahnya kearah jendela. Memutuskan pandangan dari wajah tampan pria disebelahnya yang berusaha memperbaiki keadaan.
"Kalau orang ini dikasih bicara sekarang, pasti ngelunjak banget. Nggak usah diladeni. Biar tau rasa." Ima berbicara dalam hatinya, sambil senyum-senyum.
Tama menggaruk kepalanya, stress berat. Tekanan darah bisa saja tidak terdeteksi. Menghadapi Ima sepertinya selalu seperti itu. Kalau tidak kucing-kucingan, yah cek cok atau lebih parahnya adu nyali.
"Kalau saya bicara ya dilihat dong, jangan malah kayak gitu. Saya sudah rela ninggalin kursi nyaman demi kamu, hargai dong." Tama hampir hilang kendali.
Ima tidak ingin berpaling wajah. Masih belum.
Tama tidak sabaran. "Pas kita turun nanti, kita langsung ke KUA, kamu itu jadi istri dulu baru nurut sama saya." Menggapai bahu Ima untuk segera menghadapnya. Namun Ima tidak ingin.
"Huh, percuma ngomong panjang lebar sama kamu. Memang cukup panjang lebar di depan penghulu saja." Tama meluruskan tubuhnya. Terlalu capek adu cek cok dengan Ima.
Ima akhirnya meluruskan tubuhnya, sesaat mendengar arahan dari pramugari melalui pengeras suara.
"Kamu cantik setelah bangun tidur." Tama meluncurkan amunisi gombalan. Ima masih diam. "Kamu sakit gigi atau sariawan, saya ajak bicara nggak dijawab.
Ima tidak tahan untuk tidak berbuat sesuatu ke Tama. Perlahan ia bergeser mendekat ke Tama. Dengan secepat angin puting beliung, ia mencubit bibir Tama dengan keras.
Tama kaget dan meringis. Kan diam-diam licik. Ima memang punya cara jitu. "Kamu itu ya. Mending kamu cium daripada dicubit kayak tadi." Tama mengusap bibirnya.
"Oh ya." Ima melayangkan cubitannya ke perut dan tangan Tama. Tama mengaduh.
"Kenapa mas?" Pria disebelah Tama heran karena Tama meringis.
"Ah nggak papa mas. Tadi kaki terinjak sama istri." Tama tersenyum.
Ima menoleh mendengar ucapan Tama perihal kata-kata 'istri' tadi. "Sejak kapan aku jadi istri kamu hah? Mau kusumpal dengan sepatu." Berbisik ditelinga Tama.
"Coba saja kalau bisa. Kalaupun bisa, saya bakalan tuntut kamu jadi istri didepan orang tuamu. Bagaimana, sepakat?" Tama membalas kelicikan Ima.
"Astagfirullah, bapak ngeselin. Semoga jodohnya dipercepat supaya nggak ganggu saya lagi." Nah normal sudah Ima, kalau sudah bilang 'saya'.
"Amin, semoga itu kamu." Tama tertawa renyah.
"Huh, bapak pikir saya baper gitu." Ima nyolot.
"Saya yakinkan bahwa kamu memang baper nanti saat ijab kabul." Tama tersenyum kemenangan.
Ima mengusap wajahnya. Berat ditimbangan badan masih bisa diatasi, tapi berat kasus Tama tidak bisa diatasi. Sok percaya diri.
✩✩✩«»✩✩✩
26.02.2018Assalamualaikum wrwb, hai semua. Jangan protes sedikit pendek.😂
Cari adegan konyol itu susah banget, jadi butuh bertapa selama sekian hari.Ayo kasih komentarnya, karena gratis dan tidak dipungut biaya.
Salam sehat selalu untuk kita semua.
Wassalam,
KAMU SEDANG MEMBACA
Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)
General Fiction"kamu yakin pengen hidup sama saya? Kamu kan orangnya nggak mau di atur." -Abi Rizki Pratama "Mulutnya ya pak" ~Fatimah Nafisha Azizah #1 Novel @ 11 Mei 2018 #5 General Fiction @ 6 Mei 2018 #9 General Fiction @ 14 April 2018 ◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎...