Ketika pesawat sudah terhenti total, dan pramugari mempersilahkan penumpang untuk turun, Ima bergegas berdiri. Namun aksinya tertahan karena ada Tama menghalangi jalannya.
"Bisa geser nggak, kebelet nih." Ima memandang tajam ke pria disamping.
Tama berdiri dan meninggalkan Ima begitu saja. Dasar pria labil. Ima segera berjalan ke arah pintu. Ketika akan turun, ia menyenggol bahu seseorang.
"Ah, maaf mas saya buru-buru." Lelaki yang di senggolnya menoleh. Mereka berdua sama-sama terkejut.
"Loh Ima, pulang juga?" Andre tersenyum.
"Iya Dre. Aku duluan ya, mau ke toilet." Tanpa mendengar jawaban dari Andre , Ima berlari. Andre tersenyum.
✩✩✩✩✩✩✩
Tama menunggu Ima didepan pintu kedatangan. Ia keluar terlebih dulu karena ingin segera memesan tempat makan. Tak berselang lama, kelihatan Ima berlari.
"Hei" Tama meraih tangan Ima. Hampir saja terjungkal.
"Duh si bapak yah. Kok main cegat-cegat aja. Saya nggak ada waktu pak, perlu segera." Ima mencoba melepaskan tangan Tama.
"Kamu mau kemana hah?" Tama masih menahan.
"Ke toilet. Bapak mau ikutan?" Ima menarik tangan Tama menuju arah toilet. Sesampainya didepan toilet, Ima berbalik ke arah Tama. "Bapak tunggu disini, jangan ikutan masuk. Ngomong sama petugas kebersihan dulu. Nggak lama juga." Segera masuk ke toilet.
"Mas nya so sweet banget, mau nungguin istrinya." Tama menoleh ke arah sumber suara. Petugas kebersihan mengembangkan senyum. Tama tersenyum kikuk.
Pintu toilet terbuka, pandangan Tama beralih. Lalu dengan cepat menggenggam tangan Ima. "Eh eh, main tarik aja. Saya mau betulin kerudung saya pak." Tama tidak peduli. Ia tetap menarik menuju tempat makan.
"Alhamdulillah bapak peka banget kalau saya lagi lapar." Ima senyum-senyum.
"Tapi itu tidak gratis." Tama berucap angkuh.
"Perhitungan banget. Saya makan juga nggak bikin bapak bangkrut kan." Ima menyuapi makanan.
Setelah selesai makan mereka memang membayar makanan masing-masing. Ima segera melangkah keluar.
"Kamu ikut saya pulang, biar saya yang antar." Ima tetap berjalan tanpa memperdulikan ajakan Tama. "Kamu dengar nggak sih." Tama menghadang jalannya Ima.
Ima memandang Tama penuh amarah. "Bapak mau cari muka di depan orang tua saya."
Tama terdiam. Tidak ada niatnya untuk cari muka. Hanya saja ingin mengantar. "Ya sudah pulang sendiri sana. Saya juga malas nganter kamu." Berlalu dari hadapan Ima.
Tangan Ima mengepal. Kali ini efek sensitif kadarnya lebih tinggi. Ia berlari dan menampar punggung Tama keras. "Dasar pria aneh." Setelah puas menggebuki Tama, Ima segera berlari keluar bandara.
"Hei, Ima tunggu. Awas kamu." Tama ikut berlari mengejar Ima. Aksi kejar-kejaran itu tak luput dari pandangan Fenny, sahabat Ima. Ia sengaja datang untuk menjemput Ima. Menggeleng kepala melihat aksi lebay sepasang muda mudi yang kelewat remaja.
Ima terengah. Mengusap peluh yang turun mulus di dahinya. Tama datang lalu memeluk Ima dari belakang. Ima yang tidak siap, kaget.
"Lepasin ih." Tama menutup mulut Ima dan menyeret masuk dalam mobilnya. Fenny melongo. Jadi zonk dong jemput Ima.
"Duh bapak, main seret aja. Kasian kan Fenny." Ima mencubit lengan Tama.
"Jadi, sekarang hobi kamu menyentuh saya dengan cara yang ekstrem." Tama senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)
General Fiction"kamu yakin pengen hidup sama saya? Kamu kan orangnya nggak mau di atur." -Abi Rizki Pratama "Mulutnya ya pak" ~Fatimah Nafisha Azizah #1 Novel @ 11 Mei 2018 #5 General Fiction @ 6 Mei 2018 #9 General Fiction @ 14 April 2018 ◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎...