3

82K 4.8K 57
                                    

Sesampainya di halaman Rumah Sakit, Tama menggendong Ima yang masih tidak sadarkan diri.
"Suster tolong periksa perempuan ini."

"Letakkan di atas brankar ini pak." Para perawat segera mendorong brankar ke ruangan pemeriksaan.
"Mohon bapak ke bagian administrasi dulu sementara kami menangani pasien." Perawat itu tersenyum dan menutup pintu.

Tama segera melangkah ke bagian administrasi.
"Mohon diisi nama wali pak."

"Saya bukan wali pasien".

"Kan bapak yang bawa pasien ke sini."

"Memang saya yang bawa tapi saya bukan keluarga pasien."

"Kalau begitu bapak hubungi keluarga pasien."

"Tunggu sebentar."

Tama berlari ke arah parkiran mobil dan mengambil handphone Ima.
"Syukurlah tidak pakai sandi ini hp."
Dengan lincah jarinya mencari nomor telepon orang tua Ima.
"Halo, maaf bu, saya bos Ima. Apakah ibu sekarang bisa ke Rumah Sakit Permatasari? Ima tadi pingsan di kantor jadinya saya bawa ke sini. Baik bu. Saya tunggu."
Tama memasukkan hp Ima ke tas. Lalu membawa tas itu masuk ke dalam.
Ketika orang tua Ima sudah datang, Tama pamit pulang.

^^^^^^^^^^

"Kamu nggak kasih salam ke ibu?" Ibunya menatap heran anaknya yang dengan santai melewati ibunya tanpa bicara.
Namun ketika hendak menaiki tangga, Tama berhenti sejenak lalu berbicara, "persis asisten Ama deh ibu. Pasti yang diungkit masalah salam" lalu kembali melangkah.

"Salam itu bentuk doa seseorang ke orang yang diberikan salam." Ibunya menatap heran ke anak tunggalnya.

Terserah saja bu.

Tama tetap melangkah menuju kamarnya.

Ibunya hanya menatap heran.
"Itulah sebabnya mengapa istrimu pergi karena sikap masa bodoh itu."

*****

"Assalamualaikum, selamat pagi pak." Ima berdiri dari kursinya karena pak Tama baru saja datang.

"Pagi". Tama melenggang ke ruangannya, namun berbalik. "Sudah kamu selesaikan berkas yang bertebaran kemarin?"

Ingat aja itu pak tua.

"Saya baru keluar rumah sakit subuh tadi, dan bapak tanya sudah selesai. Bapak nggak pernah sakit?" Ima menatap geram dengan bos yang tertukar itu.

"Asisten tak tau diri !" Tama berbalik dan masuk sambil menutup pintu dengan keras.

Untung dekat gajian

Ima bergegas mengetuk pintu ruangan pak Tama.
"Kenapa lagi hah ?" Tama mendelik malas ketika melihat Ima yang ada dihadapannya.

"Bapak yah, saya tau saya tidak secantik pacar bapak tapi nggak usah gitu mukanya." Ima mulai naik pitam.

"Kamu mau duel sama saya hah" Tama berdiri dari kursinya.
Tanda-tanda kemarahan merajalela pada pak Bos.
Ima bersedekap melihat bosnya menuju ke arahnya.
Jangan sampai kalah pengaruh sama bosnya.

"Kok bapak nyolot sih. Saya kan cuma mau izin keluar."

"Oh ya sekalian saja kamu keluar dari perusahaan."

Ima tercengang.

Tama keceplosan.

Lama tak ada yang bersuara. Hingga akhirnya Ima angkat bicara.
"Saya selesaikan dulu pekerjaan saya setelah itu bapak boleh berbicara seperti itu." Ima beranjak keluar ruangan dengan dongkol.

Jangan membayangkan kalau bosnya mau keluar susah payah untuk minta maaf.
Beh, kelakuan minus si bos itu yang bikin Ima semakin tangguh.
Tama hanya mengeluarkan kepalanya lewat pintu.
Ketika mereka berdua saling bertatapan, dengan semangat 45 Ima memalingkan wajahnya lalu berjalan cepat ke tangga.
Dahi Tama mengerut.
"Bego banget itu orang, kan saya bilangnya cuman bercanda. Malah beneran lagi ditanggapi. Heh ini kan lantai 16. Astaga bisa pingsan lagi."
Heboh Tama mencari hp.
"Hp mana lagi. Bego ih. Ini berkas bikin banyak kerjaan aja."
Tama menyingkirkan berkas setumpuk dan menemukan hpnya.
"Halo kamu dilantai berapa sekarang."

"Assalamualaikum,14 pak"

"Keluar dari sana, nanti kamu pingsan saya lagi yang disalahkan."

"Bapak sehat "

"Kamu pikir saya sakit hah."

"Nggak usah peduli pak. Nanti kalau pingsan juga menggelinding ke bawah juga nggak ke atas. Pasti sampai bawah juga."

"Kamu bego hah, nggak ada orang jatuh itu ke atas. Percuma kamu sekolah tinggi nggak tau gravitasi."

"Kok saya bego bisa jadi asisten bapak yah."

"Saya capek ngomong sama kamu."

"Saya lebih capek pak. Saya lanjut ya pak."

Tanpa aba-aba balik kanan sekalipun Tama menutup panggilan dengan kasar.

Sedangkan Ima malah terduduk lemah ditangga lantai 14. Tidak sejalur dengan ucapan yang ingin lanjut jalan.
"Menguras tenaga kalau bicara dengan bos. Nyolot aja."
Saat hendak berdiri, malah oleng.
"Nggak mungkin kan kalau kualat sama bos. Nggak kuat banget gue."
Ima terduduk kembali di tangga.

*******

Tama bolak balik persis gilingan daging. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore tapi asisten terbadainya belum juga menunjukkan wujudnya di kursinya. Telepon hanya dijawab oleh suara kereta api dan operator.
"Benar - benar asisten nggak becus. Pasti berkeliaran sama laki-laki lain. Pengen di PHK itu orang."
Saking kesal dan timbul tanduknya Tama menelpon kepala HRD.
"Kirimkan nomor telepon Fenny ke saya sekarang juga."
Tanpa basa basi telepon di tutup.
Sekitar 10 menit pesan masuk yang berisi nomor telepon Fenny.
"Halo, ini Fenny?"

"Iya, saya Fenny. Maaf ini siapa?"

"Saya Tama. Apakah Ima ada sama kamu?"

"Maaf pak, tidak ada pak. Kan belum jam pulang kantor."

"Ya sudah."
Telepon terputus.

Fenny kaget. Jelas sekali. Ia memandang layar hpnya yang sudah gelap.
"Memang bos yang rese."
Karena penasaran tertular dari pak Tama akhirnya Fenny ikut menelpon namun jawaban operator.
"Asisten alien kemana aja itu orang."


Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang