9

59.2K 3.8K 42
                                    

"Mohon maaf pak bisa duduk di depan saja." Ima melirik Tama yang duduk manis di kursi belakang kemudi.

"Kamu kan sopirnya, saya kan penumpangnya. Yah saya harus duduk di belakang dong." Tama bersender lalu memejamkan matanya.

Ya ampun bos rese. Nggak mikir kalau saya yang jadi sopirnya ini cewek.
Tangan Ima menyetel musik, dan mengalun lagu dari Bunga Citra Lestari.

Jika ada yang bilang ku tak setia jangan kau dengar~~

Ima mengetuk jarinya pada stir.

"Lagunya dimatikan sekarang !" Tama memerintah dengan tegas.

"Nggak bisa dong pak, saya ngantuk nanti kalau tidak ada musik. Lagunya bukan genre rock juga pak." Ima mulai kepancing.

"Saya bilang matikan!" Tama duduk tegak menghadap depan.

"Iya pak" Ima mengalah. Daripada perang mahabrata terjadi dalam mobil.

Ima kesal dengan manusia yang masih terpejam dibelakang.
Entah kenapa tiba-tiba ada mobil berwarna hitam menyalip dan dari arah berlawanan ada truk. Situasi tidak terkendali. Ima membanting stir ke kiri dan ia tak melihat bahwa ada sebuah halte.

Brakkkkkk.

Suara dentuman keras terjadi. Kecelakaan beruntun. Orang-orang kaget dan berhamburan. Mobil yang menyalip ringsek di bagian depan. Truk oleng dan menabrak warung di tepi jalan. Mobil yang dikendarai oleh Ima pun lumayan serius rusak.

Tama yang kaget terpental ke depan dan terantuk kursi Ima. Sedangkan Ima berusaha agar tidak pingsan setelah terantuk stir.

"Astagfirullah. Maaf pak, bagaimana kondisi bapak?" Ima menoleh ke belakang, dan melihat Tama memijit kepalanya.

Ima keluar dan membuka pintu mobil dibagian belakang.
"Ayo pak saya bantu keluar, pegangan pak." Ima meraih tangan Tama.
Tanpa penolakan akhirnya si bos keluar. "Kita duduk di kursi itu ya pak. Saya mau telpon orang kantor dulu."

Tama memperhatikan Ima yang jauh banyak memar di dahinya. Setelah Ima menelpon, ia berbalik ke arah Tama.
"Maaf pak saya salah."

Tama diam tak bergeming di tempat duduknya. Masih lekat memandang Ima.

"Maaf bu, bisa kasih kami keterangan tentang kejadian tadi, pengendara mobil kijang berwarna hitam tadi terluka cukup parah." Polisi muda yang menanyakan kejadian itu tampak terkejut dengan kondisi Ima.
"Mari saya antar ke rumah sakit bu, sepertinya kondisi ibu juga tidak baik." Polisi itu menawarkan dengan ramah.

Coba aja si bos rese itu ramah kayak gini.

"Tidak usah pak. Saya lagi nunggu orang kantor untuk menjemput kami." Ima menolak halus.

"Tapi bu, hidung ibu berdarah." Polisi muda yang bernama Andre itu mengulurkan saputangan dari kantong. "Nggak bau kok bu, pakai aja."

"Ah ya terima kasih pak." Ima menekan darah yang terus keluar dari hidungnya sambil mendongak ke atas.

Merasa diacuhkan oleh kedua manusia di depannya saat ini, Tama berdiri namun tiba-tiba oleng, yang dapat ditahan oleh Ima. Saputangan yang digunakan untuk menahan darah di hidungnya terlepas, darah kembali mengalir, dan menetes ke baju Tama.

"Ima darahnya, astaga kamu yah." Tama menggeram.

"Kalau tidak saya tolong bapak bisa jatuh. Nanti saya cuci baju bapak." Ima malas berdebat dengan Tama.  Dan menuntunnya masuk ke dalam mobil kantor yang baru saja datang. Setelah memastikan aman si bos, Ima berbalik ke arah polisi Andre.
"Saya pamit dulu pak, nanti setelah saya sehat, saya akan ke kantor polisi memberikan keterangan." Ima memberikan senyum yang dibalas anggukan oleh pak polisi Andre.

"Ini kartu nama saya bu." Polisi Andre mengulurkan secarik kertas kecil.
Semua interaksi di antara keduanya tak luput dari pandangan Tama.

°°°°°°°

"Bapak dan mbak mau ke kantor atau pulang?" Afri yang menyopir kali ini bertanya.

Belum sempat Ima menjawab, Tama sudah terlebih dulu bicara.
"Kita  ke kantor sekarang."

Ima kembali terdiam dan menyandarkan kepalanya ke kursi. Denyutan kepalanya semakin bertambah. Ia yakin kalau darah belum berhenti mengalir dari hidungnya.

Ima terkejut dengan suara pintu mobil yang terbuka, ia sempat tertidur atau pingsan, entahlah.

"Tolong bantu saya masuk hingga ruangan saya." Tama memerintah tanpa peduli kondisi Ima.

"Sebentar pak saya panggilkan sekretaris mbak Ima dulu."

"Untuk apa? Dia bisa jalan sendiri, dia sendiri yang menabrakkan mobil ke halte." Tama memandang sengit ke Afri.

"Iya pak." Afri gelapan mendengar bos yang berdiri di depannya.

Ima mencoba melangkah dan hampir roboh. Cepat-cepat dia berpegangan ke pintu mobil. Ketika mulai berdiri akhirnya pertahanan tubuhnya tidak sanggup. Yang terdengar olehnya suara Tama yang berteriak samar.

◎◎◎◎◎◎◎

Penciuman manusia sungguh tidak bisa diabaikan sama sekali. Apalagi bau yang tidak disukai. Contohnya sekarang ini si Ima, setelah tersadar hal yang menyapa inderanya adalah bau obat-obat.

"Sudah sadar?" Tama berdiri tegak disebelah tempat tidur Ima.

Ya iyalah sadar, masa pingsan terus sih. Dasar bos rese.

"Saya sudah buka mata berarti saya sadar pak" Ima berbicara lemah.

"Kamu itu,..." Tama kesal dengan dering telepon yang berasal dari dalam kantong jasnya.
"Ya ma, kenapa? Ouh iya." Tama mengangsur handphone ke Ima. Ima berbicara tanpa suara menanyakan siapa yang menelpon. Tama menjawab bahwa itu mamanya alias bu Riska.

"Assalamualaikum bu," Ima menspeaker panggilan tersebut atas permintaan Tama.

"Wa'alaikumsalam Ima, bagaimana keadaan kamu nak?"

"Alhamdulillah sudah membaik bu, ibu apa kabar?

"Ibu juga baik. Kenapa sampai kecelakaan sih? Kamu nggak terluka serius kan nak?"

Ima tersenyum geli mendengar rentetan pertanyaan bak amunisi yang cukup persiapan.
"Ada mobil nyelip bu dan di arah berlawanan ada truk. Ima cuma luka kecil kok bu."

"Memang kalian berdua itu nggak disopiri gitu?"

Ima hendak menjawab namun sudah dipelototi Tama. Namun karena Ima tidak terpengaruh dengan tatapan bahkan pelototan si Tama.
"Pak Tama nggak mau disopiri yang lain, dan wajib saya yang nyopir bu."
Tama kaget karena tidak ada kebohongan yang akan menolongnya. Tama geram dan merebut handphone yang dipegang Ima.
"Sudah ya ma, Ima baru aja sadar. Jadi nggak boleh kurang istirahat. Ama tutup ya ma, Assalamualaikum ".

"Iya Ama, Wa'alaikumsalam"

Ketika sambungan telepon terputus maka Ima tahu wajah rupawan si Tama bertambah beringas bak badai dahlia yang siap memporakporandakan isi kamar inap.

"Kamu..." Tama mengusap wajahnya dan keluar dari kamar inap dengan sangat cepat.

"Segitunya." Ima menarik selimut dan beristirahat kembali.


※※※※※※※※※※※※※
Thanks readers.
Maafkan saya yang full kegiatan meskipun liburan sudah diumumkan, hingga telat update.
Selamat berlibur ya.😆😘

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang