13

54.9K 3.2K 18
                                    

Ketukan di pintu seperti orang yang tak sabaran. Bergegas keluar kamar untuk membuka.
Begitu terbuka.
"Astagfirullah."

Senyum masam, Tama menatap Ima tajam. Ima meringis. Kurang asem.

"Apalagi?" Ima hendak menutup pintu namun ditahan oleh Tama.

Tama melempar tas tepat di wajah Ima namun tetap melangkah masuk ke dalam.

"Abi pulang sana." Suara Ima serak.
Bah mak kok nangis. Belum juga adu panco sudah kalah duluan.

Tama terkejut melihat Ima menangis.
"Gitu aja nangis." Tama mengangkat telepon untuknya, ternyata dari mamanya.
"Assalamualaikum ma. Emm."

"......"

Tanpa melihat situasi, mulut Ima mengoceh di depan Tama.
"Abi kamu tanggung jawab nggak, ini lihat." Ima mengusap pelan wajahnya yang tergores.

"Bukan ma, Ima ma. Ya Ama tutup dulu. Assalamualaikum." Tama melangkah ke arah Ima dan membekap mulut ember Ima.

Tama meletakkan ponsel di atas meja. "Mama mengira kamu hamil. Siap-siap saja kamu di teror sama dia. Lagian kena tas saja segitu histeris."

"Kamu nggak lihat goresannya ini. Perih tau. Sana pulang ke Jakarta. Kalau ada apa-apa cukup pakai video call aja." Ima mendorong tubuh Tama untuk berdiri dan keluar dari rumah.

"Saya nginap." Tama duduk kembali.

"Pulang sana." Ima ngotot menarik Tama.

"Tidur sana." Tama merangkul Ima masuk ke kamar wanita itu.

"Nggak mau Abi. Lepas nggak." Ima berkelit dari rangkulan.

Tama dengan cepat menyeret langkah Ima hingga masuk ke kamar lalu dengan cepat mengunci.

Klik.
Pintu terkunci.

Lengang.
Ima yang menyombongkan diri ciut.

Ima mundur ke arah ranjang. Tama tersenyum aneh.

Alarm bahaya akan dibunyikan.
"Kamu kemana tadi siang?" Tama bertanya dengan satu langkah.

Ima menggeleng tidak ingin menjawab.

Wanita keras kepala yang perlu di beri pelajaran. See, siapa yang memenangkan peperangan kali ini.

"Tidak mau menjawab." Tama maju 3 langkah. Hingga tersisa 3 langkah lagi untuk sampai di depan Ima.

Ima bersikeras tidak menjawab. Tama memajukan langkah hingga tepat di depan Ima. "Masih tidak mau menjawab." Tama mencondongkan wajahnya ke arah Ima.

"I..iya aku jawab, tapi  mundur satu langkah."

"Oke" dengan gerakan satu langkah ke belakang Tama berdiri. Memasukkan tangan ke dalam kantong celana.

Aish.. sok cool banget sabun colek.

"Aku ke kantor polisi." Ima menatap Tama yang mengernyit. "Aku baru ingat kalau harus memberikan keterangan setelah kecelakaan itu. Lalu menemui polisi Andre. Awalnya makan dulu, baru ke kantor polisi."

"Cuma itu" Tama seperti tak percaya.

"Ya cuma itu. Kepo banget. Mau jadi akun gosip bapak Abi Rizki Pratama". Ima duduk di tepi ranjang.

Kesempatan dalam kesempitan bagi Tama, duda keren yang euww ngomong kayak sabun colek 'irit'. Ia mendekat ke arah Ima.

"Jangan dekat-dekat dong. Sekarang kita keluar saja yuk. Ada makanan di beli tadi." Ima menarik lengan baju Tama.

"Pakai duit pinjaman." Tama mencegah laju jalan dari Ima.

Kok tau sih. Ini memang gara-gara si sabun colek yang kurang kerjaan. Pak satpam sih pakai curhat segala.

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang