26

45.1K 2.3K 66
                                    

"Halo Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam, pagi." Terdengar suara yang segar.

"Pagi banget malah pak. Kenapa?"

"Iya. Gimana jawaban kamu?"

Raut muka Ima berubah. "Aku .........."

»»»◎◎«««


Tama menghela nafas mendengar jawaban Ima yang menggantung. Sambungan telepon terputus. Bukan karena sinyal yang hilang, tapi penyampaian kata-kata yang hilang.

Luar biasa, tebak tebakan lagi. Ima, wanita itu tidak menyelesaikan ucapannya ditelepon. Tama mengerang frustasi.

"Kamu itu bikin tensi naik." Tama melempar ponselnya ke kasur. Beranjak ke lantai bawah untuk memulai sarapan. Terlalu pagi untuk hari ini. Karena semangat menggebu menyongsong 'jawaban sakral' dari calon istri yang ternyata jawabannya tidak sesuai semangat Tama.

Selesai sarapan, Tama langsung ke garasi mempersiapkan mobil. Karena ia tidak mempunyai sopir pribadi, kecuali jika ia sudah menikah dengan Ima. Ia mulai menempati rumah yang baru bangun. Rumah yang ia persembahkan untuk melengkapi mahar pernikahan.

Dengan bersiul ia mulai menyetir mobilnya mengarah ke rumah Ima. Ia sempat singgah di warung nasi kuning kesukaan Ima. Selama Ima pergi tanpa kabar untuknya, Tama dengan telaten menanyakan apa saja yang disukai bahkan tidak disukai oleh Ima ke orang terdekatnya. Memang diacungi jempol. Seumur hidupnya, baru kali ini seperti wartawan yang hilir mudik, wara wiri hanya untuk menanyakan sedetail mungkin tentang calon istrinya. "Demi mencapai kebahagiaan yang hakiki" ungkap Tama.

Berhakiki ria lah kalau kamu ditolak, Tama.

Sesampainya di depan rumah Ima, Tama melihat perempuan itu sedang menyapu teras. Baju tidur bercorak 'pisang' berwarna pink. Khas orang belum mandi. Tama tersenyum, keluar mobil dan menutup pintunya dengan sepelan mungkin.

Ima masih tidak menyadari kalau Tama berdiri dibelakangnya.

"Assalamualaikum Ima."

Ima merinding. Masih pagi buta disapa sedemikian rupa. Lalu memberanikan diri berbalik. Wajahnya berubah. Ia gugup plus kaget. "Ha, Wa'alaikumsalam. Ngapain pagi banget bapak?"

Tama mengangsur bungkus nasi kuning yang ia beli. "Untuk kamu, belum sarapan kan?"

"Tumben. Mau nyogok saya."

Kan apa, dibaiki malah nuduh. Untungnya Tama sudah belajar selama beberapa bulan ini untuk mempelajari sikap aneh Ima.

"Nyogok untuk apa ya? Kita tidak terlibat sebuah proyek kan?" Tama menjawab santai.

Ima sebal. Sekarang Tama pandai menjawab semua ucapannya. "Ih bapak. Kita bukan pejabat ya."

"Lah kamu kan nanti jadi istri saya. Artinya kamu menjabat sebagai nyonya Abi Rizki Pratama." Tama tersenyum sumringah.

"Istri lagi, memang saya menerima lamaran bapak." Ima berkacak pinggang.

"Kan hari Minggu nanti akad plus resepsi. Tinggal 4 hari lagi kan." Tama memastikan.

Ima tiba-tiba menangis. Tama mendekat. Kemudian mengelus kepala Ima. "Tetaplah kuat, kalau kamu cengeng, saya nggak punya teman berdebat."

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang