15

52.4K 3.1K 21
                                    

Beberapa hari kemudian.

"Halo assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam. Ada apa bu Riska?"

"Saya ingin bertemu dengan ibu."

"Baik bu, dimana?"

"Saya ke rumah ibu pada pukul 2 siang ini, bagaimana?"

"Baik bu, saya tunggu."

"Oke bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Sambungan telepon terputus antara bu Riska dan Amira.

Kegelisahan bu Riska menjadi-jadi ketika ia tidak dapat menghubungi Ima. Ia ingin menanyakan kesiapan acara pertunangan Ima dan Tama. Namun nomor telepon Ima tidak aktif selama beberapa hari ini.

○○○○○○○

Di pesantren Al-Ikhlas

Lantunan bacaan ayat suci Al-Quran menggema. Banyak yang mengaji untuk mengisi waktu sebelum shalat Dzuhur tiba.

Ima sedang khusyuk dengan al-quran dihadapannya.

"Nak, kamu tidak istirahat. Kan kamu baru saja datang dari luar kota." Umi Jihan mengingatkan Ima.

"Baiklah bu." Ima tersenyum hangat lalu beranjak dari posisi duduknya. Ia mengikuti arah jalan umi Jihan.

Setelah sampai dikamar tamu. "Kamu ingin berapa bulan disini nak?" Umi Jihan memandang Ima yang sedang melamun.

"Ah, maaf Umi, saya melamun. Insya Allah sekitar 3 bulan." Ima menatap umi Jihan.

"Baiklah, umi senang kalau kamu memang ingin disini. Apalagi kalau selamanya disini." Umi terkekeh.

"Kalau disini selamanya, berarti saya harus punya suami ustad dong umi.hehehe." Ima menimpali ucapan Umi.

"Kamu serius? Ustad Alvy itu bujangan loh Ma. Kalau mau nanti umi suruh abah yang bicara sama ustad Alvy. Supaya kalian ta'ruf." Umi Jihan antusias.

"Saya serius umi." Kata-kata itu meluncur dengan mulus dari mulut Ima.

"Alhamdulillah." Umi Jihan bangkit dari tempat duduknya menuju luar kamar.

Seakan tersadar dari ucapannya sendiri, Ima menepuk dahi. "Astagfirullah mulut." Ima berlari keluar kamar mencari umi Jihan. Namun nihil. Tidak ada jejak yang tertinggal dari beliau.

◎◎◎◎◎◎◎

Kantor Pratama

Tama melenggang masuk ke kantor dengan tampang datar. Dasar sabun colek.

Para karyawan yang berpas-pasan dengannya melempar senyum, namun hanya dibalas anggukan oleh Tama.

"Fenny ikut saya ke ruangan." Seperti tersiram es, Fenny kaget mendengar Big Bos memberikan perintah. Fenny dengan takut mengikuti Tama dari belakang.

Setelah menaiki lift, mereka tiba di ruangan Tama.

"Duduk." Tama melangkah ke sofa single  dan duduk manis. Fenny mengikuti instruksi.

"Bagaimana dengan penawaran saya sebagai asisten?" Tama menatap Fenny.

"Saya tidak bisa pak." Jawabannya sangat tegas dari Fenny.

"Kenapa? Banyak orang yang menginginkan posisi tersebut dan kamu malah menolak." Tama menggeram.

"Saya tidak bisa sebaik kerja Fisha pak. Dan saya menyadari itu. Saya tidak bisa lembur tanpa tidur." Fenny yang super cerdas.

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang