Keesokan harinya, seperti diadakan pengumuman. Semua orang berkumpul diruang inap Ima. Semuanya prihatin dengan kondisi Ima yang sering keluar masuk rumah sakit.
Apalagi inap pada saat hendak menikah. Eh yakin nikahan hari Minggu nanti.
"Kamu tuh ya, coba dikasih Allah mata ya buat lihat kiri kanan jalan. Jangan nyelonong aja kayak ayam." Keluar petuah dari kakaknya Ridho.
"Duh nak, kamu sakit dimana lagi sih? Kamu itu mau nikahan loh. Kok kayak gini sih." Mamanya ikutan mewek.
"Kakak ipar yang manis, cepat sembuh ya. Kita kan mau jalan-jalan cari kelengkapan kerudung nantinya." Nuri si adik big bos juga ikutan.
Tama hanya diam diujung sofa memperhatikan semua orang yang membesuk calon istrinya. Ia melihat ekspresi Ima yang senyum tipis menanggapi petuah, tanya jawab dariorang terdekatnya.
Bu Riska maju ke depan Ima. Memandang orang yang selama ini menjadi asisten di perusahaan suaminya. "Ma, dengerin saya." Berhenti menarik nafas. "Seandainya kalian berdua masih ingin menyesuaikan diri, mari kita undur sementara pernikahan ini."
"Mama" Tama berdiri dari duduknya. "Aku nggak bisa nunda lagi ma."
Ima memandang Tama yang bersikeras dengan rencananya.
"Kamu nggak mau bilang dengan mereka apa yang kamu bicarakan kemarin denganku." Tama menatap Ima dengan memohon.
Ima menunduk.
Semua orang menatap Ima mencari tau.
"Apa yang kalian bicarakan nak?" Pak Bagus ayah Ima ikut menyidik.
"Aku...." tiba-tiba airmata Ima luruh.
"Kalian berdua selesaikan dulu, nanti kami masuk lagi." Pak Bagus berbicara dengan bijak. Memberi ruang untuk dua orang yang sedang dilanda krisis penjelasan.
Mereka semua melangkah, namun dengan bersamaan Tama berlutut di dekat ranjang Ima. Dokter Kris beserta perawat masuk.
"Aku memang egois. Selalu kasar. Menang sendiri. Selama ini aku seenaknya. Lambat memahami perasaan sendiri bahwa yang aku butuhkan cuma kamu Ma. Didepan mereka aku mau bilang, aku hanya ingin menikah denganmu." Entah mengapa hari ini Tama menjadi melankolis. Ima sempat melirik. Kok bisa-bisanya sih pak bos jadi begitu.
Semua orang geleng-geleng dengan kelakuan Tama. Disuruh bicara baik-baik tanpa air mata, justru mewek dengan sejuta bulir air mata yang keluar.
Dokter Kris senyum-senyum. Itu bukti akurat yang dilihat nyata olehnya sendiri kalau laki-laki yang menangis dengan permohonan keramat itu memang calon suami pasien yang ia ajak makan diluar kemarin sore.
Ima beringsut turun. Dokter Kris hendak mendekat, namun tertahan oleh perawat. "Jangan Dok, kita jadi penonton aja."
"Heh" dokter Kris urung maju.
"Udah pak, jangan kayak gini. Nanti dikira saya macam-macam lagi sama bapak. Nanti saya dipecat jadi asisten pak Restu calon mertua saya." Ima mengusap pundak Tama.
Tama masih mengeluarkan airmata, dan sesaat dia tercengang. "Apa kamu bilang tadi? Calon mertua?" Berusaha meyakinkan pendengaran sendiri karena tadi sibuk menangis.
Ima mengangkat bahu. Kemudian menggeleng. Lalu berdiri dan kembali naik ke ranjang. Tidak ingin mengulang lagi apa yang barusan ia ucapkan.
Semua orang penasaran. Karena Ima berbicara sangat pelan, yang hanya terdengar oleh ia dan Tama.
Tama berdiri dari aksi berlututnya tadi. "Aku minta reka ulang apa yang kamu ucapkan tadi."
Duh pak bos, kok kaya kasus kriminal aja sih. Pakai reka ulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)
General Fiction"kamu yakin pengen hidup sama saya? Kamu kan orangnya nggak mau di atur." -Abi Rizki Pratama "Mulutnya ya pak" ~Fatimah Nafisha Azizah #1 Novel @ 11 Mei 2018 #5 General Fiction @ 6 Mei 2018 #9 General Fiction @ 14 April 2018 ◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎...