Setelah tragedi beberapa hari lalu, Ima harus mendekam di kamar. Memang pinggangnya tidak apa-apa untuk hari ini. Namun masih bisa beraktivitas ringan tapi masih belum bisa berangkat ke pesantren.
Tama beberapa hari ini tidak muncul. Percakapan diantara dua keluarga sudah selesai. Setelah lebaran Idul Fitri nanti mereka akan menikahkan Tama dan Ima.
Tantangan pengisi waktu itu datang. Terombang ambing semua perasaan.
Ponsel Ima berdering, ada panggilan masuk. Nama Tama tertera.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam. Sudah makan?"
"Sudah, bapak gimana?"
"Belum, saya ke rumah kamu ya."
"Nggak ada makanan."
"Nanti saya bawa. Sekalian ada yang dibicarakan."
"Iya pak. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Lihat dan dengar Ima masih saja memanggil Tama dengan sebutan 'bapak'.
Tidak perlu waktu yang lama lagi, terdengar ketukan pintu. Ima bergegas keluar kamar. Disaat tarikan pintu telah terbuka lebar, terlihat Tama dengan wajah irit bicara.
"Assalamualaikum". Tama menyerahkan kantong plastik yang berisi kotak nasi.
"Wa'alaikumsalam. Masuk pak." Ima mempersilahkan Tama. "Mau di dapur atau di ruang tengah?"
"Di dapur saja." Tama berjalan di belakang Ima.
"Bagaimana kalau kita bicara sekarang sambil saya makan." Tama mulai menyendokkan makanan.
Ima mengangguk."Kita" ada jeda. "Batalkan pernikahan ini. Setelah saya pikir, memang kamu bukan orang yang saya cari. Saya akan kembali dengan mantan istri saya. Saya ingin memperbaiki hubungan saya yang dulu sempat gagal dengannya." Tama berhenti berbicara dan kembali makan.
Jangan ditanya Ima seperti apa reaksinya.
"Orang tua kita bagaimana?"Tama berhenti mengunyah. Ia terdiam sambil memperhatikan wajah Ima.
"Kita akan selesaikan masalah ini dihadapan mereka. Tidak usah khawatir." Seperti tidak ada beban.Ima mengangguk. "Bapak masih lama?"
"Sebentar lagi. Kamu ngusir saya?" Tama menjawab dengan meradang.
"Bukan pak. Cuman saya harus istirahat." Ima mengusir halus.
"Baiklah, saya selesai. Terimakasih waktunya. Assalamualaikum." Tama beranjak dari duduknya.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya pak." Ima membalas dengan senyum tulus.
Sebelum Tama keluar pintu, ia berbalik ke arah Ima. "Terimakasih kamu menyadarkan saya tentang arti menghargai seseorang."
Ima hanya mengangguk tanpa bicara. Sakit hati sudah sangat menjalar ke seluruh jiwanya. Sampai saat ini tidak ada air mata yang jatuh.
Tama melangkah keluar dan tidak berpaling sama sekali kemudian terdengar suara mobil yang perlahan menjauh dari rumah Ima.
Ima mengambil ponsel dan menghubungi ibunya. "Assalamualaikum ma, mama masih lama dipasar? Kalau bisa pulang sekarang ya ma. Ada hal yang ingin Ima bicarakan. Iya ma. Wa'alaikumsalam."
Sambungan telepon terputus. Ima menuju kamarnya. Ia menuliskan surat.○○○○○○○
"Assalamualaikum." Mendengar suara ibunya di depan, Ima segera keluar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)
General Fiction"kamu yakin pengen hidup sama saya? Kamu kan orangnya nggak mau di atur." -Abi Rizki Pratama "Mulutnya ya pak" ~Fatimah Nafisha Azizah #1 Novel @ 11 Mei 2018 #5 General Fiction @ 6 Mei 2018 #9 General Fiction @ 14 April 2018 ◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎...