"Permisi pak." Fenny mendorong pintu ruangan Tama.
"Oh hai Fenny. Lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Tama berdiri menghampiri Fenny yang berdiri di dekat pintu dan menarik duduk.
"Baik pak." Fenny tersenyum. "Ada apa pak?"
"Saya ingin kamu menggantikan posisi Ima sebagai asisten saya." Tama melakukan penawaran.
"Sebelum saya menjawab bolehkah saya bertanya pak?"
"Tentu, silahkan."
Fenny menarik nafas dalam. "Mengapa bapak memecat Ima, bahkan tidak membayar separuh gajinya yang tersisa bahkan bapak menutup seluruh akses perusahaan yang lain untuk menerima Ima?"
Tama kaget dengan pertanyaan yang begitu detail oleh Fenny.
"Ima yang cerita ke kamu?""Bukan, tapi ibu dari bapak datang ke asrama saya kemarin." Fenny memandang kecewa.
"Kenapa semua orang membela Ima. Ima itu bermuka dua. Dia bisa saja menipu kalian, tapi tidak denganku." Tama mengepalkan tangannya.
Terus pepet dia dengan pertanyaan yang memojokkan supaya Tama menceritakan semua yang terjadi antara ia dan Ima.
Mengingat pesan dari ibunya pak Tama, Fenny mulai bertanya lagi.
"Oh ya. Kalau dia menipu kami orang terdekat bahkan bapak sekalipun maka kita semua rugi. Apalagi bapak. Kerjaan bapak banyak ditangani oleh Ima. Bukan begitu bapak?""Kamu didikte oleh mama." Tama memandang kesal.
"Tidak, saya hanya ingin membela sahabat saya. Karena saya sudah dekat sejak SD bahkan kuliah hingga bekerja. Untuk itu silahkan cari orang yang bisa mengganti posisi Ima. Dan yang pasti itu bukan saya. Dan apakah bapak tau dimana Ima sekarang bekerja?" Fenny tertawa dan pamit undur diri.
*******
"Ah salah lagi." Ima menjambak rambutnya frustasi karena salah dalam menebak. Oh jangan salahkan Ima yang bermain game tapi salah memahami soal dalam bentuk gambar. Game tebak gambar.
"Halah game aneh. Masa gambar manusia sama angsa lalu kata kunci ada B jawabannya pemimpin bangsa. Nggak masuk akal." Ima frustasi."Kamu ngapain dek, kok tadi cantik sekarang jadi gembel." Ridho memandang Ima heran apalagi gayanya sekarang yang aneh.
"Coba mas yang main ini game. Adek mau ke dapur dulu." Ima bangkit dan menyerahkan handphone ke tangan Ridho.
Ketika terlihat Ima keluar dari dapur dan menuju kamarnya, Ridho memandang tampilan adiknya itu yang semrawut membuatnya menghela nafas.
"Dek ini handphone kamu. Stop deh main game yang nggak nyambung sama hidup kamu""Dimainkan aja mas sampai adek selesai siap-siap. Halah mas iseng juga kok." Ima melenggang.
"Mas mau berangkat ini loh, mas taruh di atas meja ya."
"Iya mas."
Ima berteriak dari dalam kamarnya.Nada dering shalawat terdengar dari meja tamu. Ima segera keluar kamar sambil memasang bros pada kerudungnya. Ima mengernyit melihat nomor baru yang masuk.
"Halo assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam ini Ima ya?"
"Benar, ini saya. Maaf dengan siapa saya berbicara?"
"Saya Riska ibu dari Abi Rizki Pratama. Lebih tepat ibunya Tama."
"Oh maaf bu. Ada yang bisa saya bantu bu?
"Bisa kita bertemu di Toko Furniture Two R pukul 9 nanti?"
Mutlak banget cuy.. biasanya mak mak kayak gini jangan ditolak. Gaswat bin Amblas.
Ima berpikir sebentar.
"Ah iya bu bisa.""Baik. Sampai jumpa nanti Ima. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam bu." Ima menghela nafas lalu duduk.
"Moga aja nggak diceramah nanti. Apalagi kalau bos rese itu sampai ngadu ke ibunya kalau saya suka ketus sama anaknya. Alamat tensi tinggi dong. Tapi ah sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Let's go paman bakso cetar bahenol."
Ima melangkah keluar pintu rumah lalu mengunci. Suasana rumah memang sunyi karena orang tuanya ke kampung untuk menengok neneknya.
Sambil menikmati baksonya Ima kembali memainkan game tebak gambar di hpnya."Alamak sudah pukul 8.45, 15 menit aja lagi. Mang ini bayaran bakso nya." Ima segera menaiki motor dan menuju toko yang dimaksud.
Ima bingung dan berdiri di depan toko yang dimaksud.
Ini benar ya tokonya, ini mah bukan toko lagi namanya. Gede juga gedungnya."Mbak Ima kan,"
Ima menatap perempuan seumurnya berdiri di depan pintu toko. "Iya saya, apakah ibu sudah datang?"
"Iya, silahkan ikuti saya. Ibu sudah menunggu di dalam." Perempuan itu berjalan masuk diikuti Ima dibelakangnya.
Terlihat seorang perempuan separuh baya duduk menghadap ke dinding kaca yang mengarah ke jalan.
"Assalamualaikum." Ini gaya awal sebelum disemprotkan oleh berbagai petuah.
"Wa'alaikumsalam, silahkan duduk." Bu Riska tersenyum yang membuat seseorang tenang bila ada di dekatnya. Berbeda dengan anaknya yang tak bisa di terka musim pancaroba hatinya dalam berbuat.
Nah nah membayangkan wajah si bos yang tertukar. Aku termenung sejenak. Aku dikejutkan dengan suara bu Riska di hadapanku.
"Kamu kenapa, maaf ya kalau mengganggu waktu kamu." Bu Riska lagi-lagi pamer senyum.
"Ah maaf saya melamun bu. Tidak apa-apa bu saya juga lagi santai dirumah." Aku jadi tidak enak.
"Saya akan menawarkan ke kamu untuk ikut mengelola toko ini."
"Tapi bu, kalau ketahuan pak Tama bagaimana?" Aku meremas tangan.
Jangan gugup girl, beliau bukan mertua tapi orang yang menawarkan pekerjaan.Bu Riska memahami ketakutan Ima. "Toko ini punya saya. Meskipun dia tau toh apa urusannya melarang kamu bekerja dengan saya. Saya harapkan besok kamu sudah bekerja disini. Dan bajunya tidak perlu formal." Senyum bahagianya mengembang. Harapan terbesar agar Ima mau bekerja dengannya.
Dengan bahagia bu Riska membisikkan ke telinga Ima. "Tampil maksimal supaya Tama pangling sama kamu. Ok.""Hah. Kok gitu bu?" Ima gagal paham.
"Hahahahha saya serius. Tapi kamu jual mahal saja." Tawa bu Riska belum berhenti.
"Saya dengar dari curhatan Tama kalau kamu sering membuat dia jengkel. Saya suka. Selama ini dia yang selalu membuat orang jengkel. Kena juga akhirnya dia. Tetap lanjutkan."Ima menggaruk kepalanya yang tertutup kerudung pink.
"Iya bu.""Nah nikmati dulu apa yang ada ya, saya pamit sebentar ke toilet." Bu Riska berdiri lalu berjalan ke arah toilet.
Sesampainya di toilet bu Riska menelpon Tama untuk datang sekarang juga ke toko. Namun Tama hanya bisa datang 1 jam kemudian.
Sekembalinya bu Riska dari toilet.
Beliau tersenyum ke Ima."Maaf bu, saya tidak bisa berlama-lama. Karena saya harus ke tempat bibi."
"Tidak apa-apa nak."
"Kalau begitu saya permisi dulu bu.Assalamualaikum." Ima berdiri lalu menyalami tangan bu Riska.
"Hati-hati ya." Senyum kembali menghiasi wajah bu Riska.
Ketika Ima memasang helm dan mengarahkan motornya, kebetulan yang tak terduga Tama baru saja memarkir mobilnya.
Dahi Tama mengerut.
"Seperti Ima, tapi untuk apa dia kesini?"
Penasaran yang melanda akhirnya Tama segera keluar dari mobil dan masuk menemui ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)
General Fiction"kamu yakin pengen hidup sama saya? Kamu kan orangnya nggak mau di atur." -Abi Rizki Pratama "Mulutnya ya pak" ~Fatimah Nafisha Azizah #1 Novel @ 11 Mei 2018 #5 General Fiction @ 6 Mei 2018 #9 General Fiction @ 14 April 2018 ◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎...