6

65.2K 4.5K 52
                                    

"Selamat pagi pak." Ima menyapa bosnya yang baru saja lewat dengan gaya jalan tertatih-tatih. Yang disapa malah tidak peduli.
Bos rese, gaya selangit. Disapa malah tak tau diri. Nah sekarang siapa yang tak tau diri.

"Sabar wahai hati, orang kayak gitu perlu di hadapi dengan senyum." Ima kembali menatap layar komputer. Setelah 5 menit berlalu Ima mengetuk pintu dan diperbolehkan masuk.

"Permisi pak. Saya ingin menyampaikan bahwa "

"Stop. Mulai sekarang bereskan mejamu." Tama memalingkan wajahnya dari Ima.

"Bapak jangan bercanda." Ima menatap tajam ke arah Tama yang tidak ingin menatapnya.
"Tolong jelaskan kepada saya maksud bapak."

"Apakah perlu alasan jelas untuk memecat seseorang karyawan yang seenaknya dalam bekerja."

"Maksud bapak?"

"Kamu tau sendiri pintunya dimana." Tama tetap tidak ingin bertoleransi.

Ima tidak terima dengan pengusiran langsung oleh Tama. Ima tetap bertahan di depan bos.

"Saya bilang keluar sekarang."
Tama jengkel lalu berdiri dan berjalan ke hadapan Ima. "Saya tidak ingin bahkan tidak berminat sama sekali untuk sekarang ini memperkerjakan kamu sebagai asisten. Silahkan pergi sekarang!"

Ima menahan air matanya yang hampir menetes. Ini sakit. 3 tahun bekerja disini akhirnya dipecat seperti ini.

"Baik pak, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya selama 3 tahun ini. Saya permisi" Ima berjalan keluar ruangan. Ketika sudah diluar ruangan ia berbalik menatap pintu ruang pak Tama.
Sekian menit ia memandang lalu ke arah mejanya. Dia membereskan semua peralatan pribadi yang sering ia gunakan untuk bekerja.
Ia menghela nafas lalu merogoh handphone di saku bajunya.
"Assalamualaikum pak, tolong bawakan untuk saya kardus berukuran sedang sekarang. Baik pak, saya tunggu. Terima kasih pak. Assalamualaikum."
Ima menutup telepon dan melanjutkan kembali kegiatan beres-beresnya. Tak lama seorang OB datang dan menyerahkan sebuah kardus.
"Ini mbak kardus yang diminta tadi." Sang OB tersenyum.

"Terima kasih ya pak. Maaf mengganggu kerjaan bapak." Ima tampak menyesal.

"Tidak apa-apa mbak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Emm terima kasih pak. Tapi ini hanya sedikit saja." Ima memberikan senyum terakhir dengan tulus.

"Kalau begitu saya turun ke bawah lagi mbak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam hati-hati ya pak." Ima menatap kepergian sang OB yang selama ini dikenal baik olehnya.
Setelah selesai membereskan mejanya ketika hampir melangkah, Ima baru menyadari bahwa tab yang sering ia bawa masih tergeletak di sebelah komputer. Ia meletakkan kembali kardus di tangannya lalu meraih tab dan menuju ruangan pak Tama. Setelah mengetuk ia masuk.
"Maaf pak, saya hanya ingin menyerahkan tab ini." Ima meletakkan tab di atas meja sofa dan pergi tanpa pamit.

Tama memandang kepergian Ima.
"Dasar karyawan tak tau diri."
Tama mengambil handphone dan menelpon seseorang. "Katakan kepada seluruh perusahaan yang bekerjasama dengan kita agar tidak menerima seseorang bernama Fatimah Nafisha Azizah apabila melamar kerja kalau tidak ingin saya buat bangkrut." Tama menutup telepon tanpa mendengar jawaban dari orang itu.

Ketika sudah diparkiran Ima meletakkan kardusnya ke atas motor dan mengikat kuat.

"Loh mbak kemana jam segini bawa kardus segala?" Aziz selaku OB mengerutkan dahinya.

"Bapak ngagetin saya." Ima mengelus dadanya. Masih untung motor kesayangannya tidak ambruk mencium lantai.

"Maaf mbak. Heee" Aziz cengengesan. "Disuruh pak Tama ya mbak."

"Tidak pak. Saya pamit dulu ya. Bapak yang rajin kerjanya.Assalamualaikum." Ima menghidupkan motornya dan tersenyum ke Aziz.
Terlihat Aziz melambaikan tangannya.

Ima melajukan motornya ke arah asrama. Dengan cepat ia memasukkan barang yang ada ke dalam tas berukuran besar. Karena merasa tidak bisa mengangkut sekaligus Ima menelpon jasa pengangkut.

Ima menulis sesuatu note untuk Fenny dan menempelkan di pintu kamar.

*******

Terdengar pintu terbuka. Tanpa menoleh lagi Tama berbicara dengan nada tinggi.
"Sudah saya bilang tidak ingin diganggu dan jangan masuk asisten tak tau diri."

Ibunya datang karena mendengar laporan bahwa anaknya yang sekarang jadi bos itu uring-uringan selama beberapa hari terakhir dan membatalkan keberangkatan ke luar kota untuk melihat kantor cabang dibeberapa daerah.
Ibunya menggeleng kepala.
"Saya bukan asisten tak tau diri seperti yang kamu bilang."

Mendengar suara yang berbeda Tama yang semula membelakangi langsung berdiri berbalik.
"Mama."

"Hahahahha kamu yang memecatnya sekarang kamu yang kepikiran bahkan terbayang bahwa dia masih disini. Perlu mama suruh dia balik kesini lagi buat kerja my boy" ibunya masih dengan wajah meledeknya.

"Bukan kayak gitu ma." Tama mencoba berkelit .

"No, kamu bukan anak kelas 1 SD my boy. Kelihatan dari wajah bahkan matamu yang menunjukkan kekosongan. Mama sudah menerka dari awal ketika kamu beberapa kali membawanya ke rumah. Wajah kamu berbeda dengan wajahmu ketika membawa mantan istrimu dulu. Apakah perlu mama bantu? Ini baru beberapa hari sejak kepergian Ima. Bahkan kamu mencegal seluruh perusahaan untuk menerima Ima bekerja. Tolong jelaskan ke mama."

"Ma bukan seperti itu." Tama kehabisan kata.

"Kalau kamu memang tidak menyukai cara kerjanya denganmu biarkan dia bekerja dengan yang lain. Atau kamu takut dia direbut bahkan dijadikan istri oleh rekan kerjamu. Siapa yang tidak tertarik dengan perempuan berhijab bahkan punya sopan santun bahkan tata krama yang baik. Seandainya adikmu itu laki-laki tentu mama akan menjodohkannya." Mamanya sengaja melihat reaksi dari anaknya yang keras kepala dan tentunya duda keren.

Jangan ditanya reaksi Tama yang bengong dan berusaha mencari jawaban atas serangan besar-besaran dari ibunya.

Beh ibunya bersorak dalam hatinya.

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang