10

61.6K 3.8K 54
                                    

Tama duduk di taman rumah sakit
"Astaga itu cewek, bikin naik darah."

Beberapa perawat bahkan pengunjung yang perempuan melirik ke arahnya yang nampak gusar.

Terdengar bisik-bisik dari perempuan yang melewatinya.

"Apa lihat-lihat ?"  Ucapan sengit dari seorang Tama. Bah mak, sok cool itu orang. Untung nggak dijambak beramai-ramai.

"Maaf pak, bapak yang wali pasien atas nama Fatimah Nafisha Azizah?" Seorang perawat mengangsur formulir.

"Sini mbak formulirnya." Tama merebut paksa dari tangan perawat itu. Dia lagi tak ingin berdebat. Mengisi dengan cepat formulir tersebut.

"Kapan dia bisa keluar?" Tama mengangsur formulir dan berdiri dari kursi taman.

"Besok pagi baru bisa pak. Saya permisi dulu." Perawat itu berlalu. Malas meladeni manusia kurang piknik.

Tama berjalan kembali ke kamar inap Ima. Ketika membuka pintu ia melihat Ima yang beristirahat. Mendekati ranjang dan mengusap kepala Ima. Ima bergerak ketika mendapati tangan Tama yang mengusap kepalanya. Perlahan ia membuka matanya dan Tama terlambat menarik tangannya.

"Kenapa pak?"

"Ada pasir di kepala kamu." Tama  pandai berkelit. Namun Ima lebih pandai menjebak.

"Memang saya dari pantai." Ima senyum mengejek.

"Kamu kan pingsan." Tama bersedekap.

"Sejak kapan parkiran kantor  ada pasirnya." Ima bertahan dalam pertanyaan yang alot.

"Sejak kamu pingsan dan merepotkan saya." Tama menggeram.

"Bilang aja bapak sudah kalah dan gengsi mengakui suka sama saya. Sekarang saya tanya lagi, maksud bapak mengusap kepala saya tadi apa?" Ima menatap Tama sambil mengedipkan matanya.

"Kamu percaya diri banget, lagian siapa yang mau sama kamu, seksi tidak, lemak dimana-mana. Pendek lagi, kulit hitam." Tama mengejek.

Ini orang pasti habis makan mie petir level profesor. Tingkat kepedasan mulutnya tidak bisa di hilangkan dengan makan gula 1 ton.

Tama mendekat ke arah Ima. Lalu menyentil dahi Ima. Ima kaget, Tama tersenyum licik. Hingga terdengar suara pintu dibuka.

"Astagfirullah Ama, kamu ngapain hah?"

Teriakan bu Riska yang memisahkan kedekatan mereka berdua. Bu Riska dan bu Amira masuk.

"Mama." Tama bersikap tenang.

"Ada yang ingin menjelaskan dengan mama apa yang terjadi?" bu Amira menatap kedua muda mudi yang salah tingkah dengan pertanyaan.

"Tama nyentil dahi saya bu" Ima menatap Tama dengan amarah.

"Di balas aja, ibu ikhlas " Bu Riska ikutan memprovokasi.

"Tama pamit ke kantor dulu ma, ada kerjaan sempat tertunda karena bawain Ima ke rumah sakit." Tama mencium tangan kedua wanita yang keibuan di depannya.

Tama melarikan diri, itu jalan terbaik. Dan membiarkan Ima menangani kedua ibu-ibu kepo di dalam.

Tidak seberapa jauh Tama dari kamar inap, terdengar ribut-ribut.

"Dokter tolong !"

Perawat yang berjaga berlari. Tama menoleh sekilas. Lalu terhenti. Kemudian berbalik lagi. Perawat masuk ke kamar Ima. Tama ikut berlari dengan jantung berdetak lebih cepat.

"Ima kenapa ma?" Tama menghampiri bu Riska.

"Nggak tau Ama, dia tiba-tiba pusing dan pingsan, ini pasti ulah kamu yang nyentil dahi Ima. Iya kan! " Bu Riska terisak sambil marah.

"Loh kok Tama sih ma yang disalahkan." Tama tak terima tuduhan tak kuat dari ibunya.

Bu Amira, mamanya Ima hanya bisa memijit pelipis melihat kelakuan ibu dan anak yang sedang berseteru.
Ada-ada saja.

"Pasien hanya sedikit kelelahan dan masih harus banyak istirahat. Sebaiknya anda selaku suami pasien harus ikut memperhatikan kondisinya. Kalau begitu saya permisi" dokter Agus melangkah keluar beserta perawat.

"Cie sang suami." Bu Riska dapat ledekan baru.

"Mama tolong yah." Tama frustasi dan memilih duduk di sofa.

"Nggak usah ke kantor dan jagain istri yah. Kalau begitu mama sama bu Amira mau beli makanan dulu keluar." Bu Riska menarik tangan bu Amira keluar, meninggalkan Tama yang berwajah kesal.

○○○○○○○

"Nggak papa ya Tama kita suruh jagain si Ima. Siapa tau dia sibuk di kantor." Bu Amira memandang bu Riska yang memasang wajah santai.

"Dia ke sini cuma lihat cabang perusahaan yang di kelola si Ima. Biar aja supaya dia memahami perasaannya selama ini ke Ima. Sekarang kita harus jalan-jalan." Bu Riska menggandeng tangan bu Amira.

Bu Amira geleng-geleng kepala melihat mamanya Tama.

Mereka menyusuri jalan kota yang terlihat padat di sore itu.
"Antarkan kita ke tempat makan yang di jalan Yos Sudarso."

"Baik bu." Sopir kantor menjawab kalem.

"Oh ya pak, Ima selama ini di antar jemput sopir atau pakai mobil sendiri?" Bu Amira bertanya karena selama ini Ima selalu padat jadwal dan sering lembur.

"Mbak Ima pakai mobil sendiri bu, terkadang kalau memang tidak kuat nyetirnya beliau minta disopiri untuk pulang."

"Maaf bila anak saya menyusahkan kalian di kantor."

"Tidak sama sekali bu, mbak Ima baik orangnya. Di kantor beliau juga ramah dan lebih santai. Setiap karyawan semangat kerja dengan beliau. Dan mbak Ima tegas menindaklanjuti karyawan yang lalai. Dan rencananya karyawan akan datang berkunjung ke rumah sakit selesai jam kerja untuk menjenguk." Sopir berbicara panjang lebar.

"Memang menantu idaman. Bu Amira setuju kan." Bu Riska berbinar.

"Kita tanyakan ke anak-anak ya bu. Dan siapa tau mereka belum siap" bu Amira mematahkan semangat bu Riska.

"Lihat aja kalau Tama menolak. Saya bikin dia bangkrut. Hahaha " bu Riska terkekeh.

Lagi dan lagi bu Amira memandang takjub dengan mamanya Tama.

◎◎◎◎◎◎◎

Tama tidak sadar tertidur di sofa yang berada di ruang inap Ima.

Drrtttt
Dering telepon Ima tidak berhenti. Tama mengucek matanya dan berdiri mengambil handphone Ima yang terus berbunyi.

"Halo, ada apa?"

"Selamat sore. Mohon maaf, bisa bicara dengan bu Ima?"

"Ima sedang istirahat dan tidak bisa diganggu untuk sementara." Tama to the point tanpa salam.

"Ah iya pak. Maaf mengganggu. Selamat sore pak."

"Ya". Jawaban singkat tanpa repot. He is Tama.

Ketika sambungan telepon terputus, Tama meletakkan handphone Ima di meja. Lama ia memandang Ima, kemudian memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Lagi sakit aja dicariin terus, apalagi sehat. Nonstop paling. Makanya ambruk akhirnya.




◎◎◎◎◎◎◎
Maafkan saya update jam segini. Makasih yang setia menunggu cerita ini update. Selamat bermalam minggu ya.😉


Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang