11

58.8K 3.7K 30
                                    

Lagi-lagi perpanjangan inap dikamar dengan isi infus dan apalah itu.

Ketika yang ku lihat saat membuka mata yang terlihat ruangan ini kosong. Benar-benar sendiri rupanya. Terdengar derit pintu WC terbuka dan keluar lah si bos rese dengan tampilan yah bisa dianggap level high.

"Sudah sadar rupanya." Tama berjalan ke arah sofa lalu duduk manis.

"Mama mana?" Kok persis aneh ya nanya sama si bos rese aneh.

"Jalan." Tama memainkan ponsel dan acuh.

Dasar bos rese, irit ngomong. Coba aja yang nemenin aku itu pak polisi yang kemaren tuh. Pasti udah bisa salto aku.
Terdengar pintu tertutup, rupanya makhluk sabun colek itu keluar.

"Loh hp aku mana yah? Perasaan tadi ada deh." Ima celingak celinguk.
"Boleh nggak yah kalau bangun plus berdiri." Ima mencoba menggeser tubuhnya pelan-pelan dari ranjang.
"Kok goyang yah. Masa ada gempa sih. Belom nikah nih. Mana tinggi lagi gedungnya." Ima berpegangan kuat pada sisi ranjang.

You know orang sakit baru sadar terus berdiri pasti aja goyang pijakannya di lantai. Kepikiran banget ada gempa. Yah itulah model macam si Ima.

Ima melangkahkan kakinya dan terpeleset akibat kaki yang kanan tidak sengaja memblokir jalan kaki yang kiri.

Brukk.

"Astagfirullah emang beneran gempa."

Nah ini yang bikin si Tama sering ilfeel sama Ima.
Terdengar derap langkah seperti berlari ke arah Ima. Ima masih fokus dengan kakinya yang terpeleset.

"Dasar kurang kerjaan." Tama mencoba mengangkat tubuh Ima. "Berdiri !" Ketus dan dingin.

"Kaki aku sakit" Ima merengek.

"Nggak usah manja, cepetan !" Tama memaksa berdiri.

"Mama, Abi maksa Ima. Sakit tau." Astaga rengekan tak berfaedah sama sekali. Tolong lambaikan tangan ke Tama.

"Ya sudah." Tama melepaskan tubuh Ima yang sudah terangkat separuh dari lantai dan menimbulkan suara.

Brukk.

"Abi kamu jahat. Nggak lihat ini keseleo malah dilepas. Aku bilangin ke bu Riska." Ima memijit kakinya yang mulai kelihatan bengkak.

"Laporan lagi, kalau perlu bikin seperti laporan bulanan penjualan." Tama tak menggubris Ima dan melangkah keluar kamar. "Oh ya, jangan panggil Abi, cukup Tama."

Blamm... pintu tertutup.

Ima masih terduduk di lantai. "Nah bengkak lagi. Lama nginap disini bikin tensi naik. Awas aja kalau dia balik lagi. Mending sendirian daripada sama manusia sabun colek."

Katanya strong yaa kan, nggak tau nya nangis.

"Loh nak kok di lantai sih. Ya ampun kamu nggak sadar apa, infus kamu itu loh." Bu Amira mamanya Ima kaget.

"Astagfirullah ma, Ima nggak sadar kalau kesedot darah Ima. Ma kita pulang aja ya ke rumah, Ima nggak suka disini." Ima  masih setia memijat kakinya yang bertambah bengkak.

"Nah kakinya kenapa lagi, si Tama pelakunya?" Bu Riska emosi.

"Bukan bu, tadi Ima terpeleset waktu mau berdiri."

"Terus si Tama itu kemana lagi?" Bu Riska mengeluarkan ponsel dari tas dan menghubungi Tama.
"Kamu kalau nggak balik lagi ke kamar Ima, mama laporkan ke papa kamu. Paham !" Bu Riska menutup telepon dengan cepat.

Sementara Tama gusar. "Pasti si Ima laporan macam-macam." Tujuan utama setelah ini segera ke kamar Ima.

"Assalamu'alaikum." Ucapan salam sebagai pembuka.

"Kamu nggak lihat Ima kayak gini, itu gara-gara kamu nggak jaga dia." Bu Riska berkacak pinggang.

Nah yang ngajarin salam ternyata nggak jawab salam.

"Sebelum marah jawab salam Ama." Tama bertampang tenang.

"Wa'alaikumsalam." Nada tak bersahabat keluar dari mulut mamanya.

Ima dan ibunya asyik memijat kaki Ima. Ima tidak peduli dengan adegan ibu dan anak yang sedang berseteru di dekat pintu.

"Kamu ada kenalan tukang pijat nggak selama disini." Ibunya masih betah memijat.

"Rasanya ada ma. Tolong ambilkan ponsel Ima ma."  Ibunya beranjak dan menyerahkan ponsel ke tangan Ima.

Jangan ditanya anak dan ibu yang sama ngotot depan pintu, sampai akhirnya terjadi tarik kuping.
"Ma, kok Ama kayak anak kecil sih." Tama menahan tangan ibunya agar tidak menambah volume tarikan di telinganya.

"Sudahlah bu Riska, Ima nggak papa. Toh itu kesalahan si Ima juga." Bu Amira melerai aksi mereka berdua.

"Pulang sana kamu, jangan kesini lagi." Bu Riska mengusir Tama.

"Kok ngusir Ama sih. Anaknya mama ini loh." Tama pening.

"Emang mama harus ngusir Ima. Nggak kan. Sana keluar." Bu Riska mendorong Tama keluar kamar.

"Kok Tama diusir sih bu, dia kan nggak salah." Bu Amira membawa bu Riska duduk di sofa.

"Biarin bu." Bu Riska tersenyum.

Nah ajaib, setelah marah lalu senyum. Hebat akting kali yah.

Tak lama terdengar ketukan pintu. Rupanya bi Ati selaku tukang pijat datang.
Dan beliau langsung mengeluarkan minyak untuk urut alias pijat.

"Ini agak sakit karena sudah ada sedikit bengkak. Peluk bantal aja ya nak." Ima mengangguk mendengar arahan bi Ati.

Lalu terlintas ide cemerlang di kepala tepatnya di otak bu Riska. Ia tau kalau Tama duduk di depan kamar inap Ima. Segera ia keluar dan menyuruh anaknya masuk.
"Masuk sana, pegangin Ima kalau dia kesakitan waktu di pijat."

"Tadi aja Ama diusir, sekarang disuruh masuk." Tama berdiri dari duduknya.

"Nggak usah protes kamu. Sana!" Bu Riska mendorong Tama masuk.

"Nggak usah didorong mama, Ama masuk juga." Tama manyun.

Ketika sudah masuk ke dalam kamar. Tama melihat Ima yang mencengkeram kuat bantal yang ada dipelukkannya. Tama melangkah mendekat.

"Bi berhenti sebentar ya." Tama memohon dengan pelan. Lalu bi Ati berhenti memijat.

"Pegang tangan saya. Bantalnya rusak nanti kalau kamu remas-remas seperti tadi." Tama mengambil bantal dari pelukan Ima. Tapi Ima tidak ingin menyerahkan bantalnya.
"Kalau tidak ingin megang tangan saya, saya tawarkan pelukan dari saya. Silahkan kamu gigit atau kamu cakar."

Ima menggeleng tanda tidak setuju.

Tama melihat Ima lengah dengan pelukan bantalnya maka dia berkesempatan menarik supaya terlepas. Dan tidak sia-sia. Sekarang tangan Tama yang dipegang Ima.

"Loh bantalnya mana?"

"Ini ganti bantalnya." Tama merapat ke Ima. Ia mengode agar di pegang. Mau tidak mau akhirnya Ima memegang dengan sungkan. "Ayo bi, kita lanjutkan pemijatannya."

"Aduh pelan-pelan bi." Ima meringis dan mencengkeram kuat lengan Tama.

Dan Tama tersenyum ketika Ima mendekatkan kepala ke arah lengannya.




♡♡♡♡♡♡♡
Gimana oke kan. Gitu aja dulu ya. Bye 2017..and welcome 2018.😆😄😍😘

Salam cinta dari Tama dan Ima.😍😘

Asisten Bukan Sekretaris (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang