1 - Satu Diantara Seribu

35.6K 3.1K 104
                                    

Jogjakarta, 2004

Bel istirahat disambut gema sukacita. Siswa-siswi meninggalkan ruang kelas masing-masing dengan wajah sumringah. Koridor yang tadinya lengang kini terlihat padat. Tempat-tempat seperti kantin, lapangan, dan taman jadi pilihan favorit untuk dikunjungi.

"Ah, sial! Masuk kelas dua aku malah beda ruang sama Dika, sekarang jadi harus cari sumber contekan baru..." si tinggi cungkring-Pram, menggerutu di tengah langkah santainya menyusuri koridor. Sesekali ia membetulkan tatanan rambut jabriknya bila dirasa sedikit berantakan karena terkena angin.

"Hei, pikirkan sisi positifnya saja, yang penting kan kamu masih sekelas sama aku!" sambil mengunyah roti, Fadel, atau yang akrab dipanggil Epeng menyahut percaya diri. Jangan tanya kenapa orang-orang lebih senang memanggil Fadel dengan nama Epeng, karena sampai sekarang, hal tersebut juga masih menjadi salah satu misteri di hidup laki-laki bertubuh kelewat sehat itu-kalau tidak mau dibilang gendut.

"Sisi positif Mbahmu! Apa yang harus aku syukuri tentang duduk sebangku lagi dengan gajah asia yang ngabisin banyak tempat semacam kamu?"

Ejekan Pram sukses bikin Epeng merengut, "Semoga bibirmu yang pedas itu cepat kena sariawan, sariawan menahun yang nggak sembuh-sembuh!" ia mengutuk tanpa meninggalkan aktivitas makan.

"Amit-amit duh Gusti!" Pram menggetok kepala Epeng cukup keras. Ia terbahak-bahak melihat cara Epeng mengembungkan pipi, sudah gembul jadi makin gembul! Mirip bakpao!

Dua remaja yang asyik bercanda itu mempercepat jalan saat melihat sahabat mereka--Dika-berdiri di depan tong sampah, sedang membuang amplop warna-warni, Dika berjongkok ketika beberapa amplop yang ia buang tidak masuk sempurna dan justru jatuh ke sekeliling tong berwarna kuning di depannya.

"Kakak senior makin banyak penggemar ya? Sampai kewalahan begitu buangin surat-surat cinta!"

Celotehan Pram hanya ditanggapi Dika dengan tawa renyah. Di hari pertama tahun ajaran baru ini, hobi mengoceh Pram sudah dimulai.

"Dik, kamu pasti dapat cokelat juga, kan? Hei, walaupun kita sudah nggak sekelas, pastikan kalau aku selalu jadi tempat pembuangan sebagian cokelat dari penggemarmu!" Epeng merangkul bahu Dika. Seperti biasa, sok bersahabat kalau ada maunya.

Dika bersusah payah membebaskan diri dari rangkulan lengan Epeng, lehernya terasa sangat pegal menahan bobot yang ditumpukan seenaknya itu, "Ada kok jatah buat kamu. Sudah saya amankan di tas. Nggak usah khawatir..."

Pram terkekeh melihat cara Dika menjawab sambil mengatur napas.

Sambil cengar-cengir Epeng masuk ke kelas Dika. Tidak mau apa-apa sih, hanya mengambil cokelat di tas Dika kemudian keluar lagi dengan mulut yang sudah belepotan. Pram geleng-geleng kepala, mencibir dalam hati tentang rencana diet yang Epeng cetuskan waktu liburan lalu. Sekarang, rencana tinggal rencana.

"Sssttt... Ssstt... Dik, lihat ke kanan!!" Epeng memutar kepala Dika ketika melihat seorang gadis tengah berjalan membelah keramaian koridor. Di sisi kanan dan kirinya ada masing-masing satu gadis lagi. Setiap orang menjeda kesibukan mereka untuk sekedar melirik gank paling tenar satu sekolah tersebut. Sebagian besar pasang mata mengagumi kecantikan si ketua genk, Bunga-anak pemilik sekolah.

"Apa-apaan sih, Peng!" Dika menyingkirkan tangan Epeng. Sama sekali tidak tertarik pada pemandangan yang Epeng coba tunjukkan.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang