Usai hujan-hujanan semalam, Sena sengaja pulang ke rumahnya sendiri. Ia mandi—atau mungkin lebih cocok disebut sekedar membilas tubuh, ganti baju, lalu sekalian tidur disana. Tentu saja Sena harus begitu sebab kemarin ia memang izin mau pulang sehingga diperbolehkan keluar malam-malam. Berkat rapinya Sena menutupi ulah, pukul setengah enam pagi ini, saat ia kemudian datang lagi ke rumah Dika, sama sekali tidak ada pertanyaan macam-macam yang diterimanya. Tidak dari Gani ataupun Adji yang sudah seperti kakak kedua untuk gadis itu.
Pintu kamar Dika terbuka lebar, jadi Sena leluasa masuk tanpa perlu menjabat kenop. Yah, seingat Sena, pintu itu memang tidak pernah tertutup sejak pertama ia mulai berada di rumah sederhana yang hanya memiliki dua ruang tidur tersebut. Selain karena penghuninya terlalu sibuk bersedih sampai untuk menutup pintu pun ia tak sempat, empat laki-laki yang tidak lain adalah Epeng, Pram, Gani dan Adji, sama-sama melarang siapapun menutup pintu dengan maksud agar Dika dapat diawasi secara penuh.
Di dalam, Sena menggelar tikar anyaman kecil di lantai. Persis di dekat dipan rendah yang menopang kasur Dika. Sambil duduk bersila, dikeluarkannya sebuah buku gambar dari plastik putih juga diraihnya pensil dan penghapus dari dalam tas Dika yang kebetulan tergeletak tidak jauh. Karena merasa memangku buku akan membuat punggung pegal, Sena manfaatkan pinggiran kasur yang kosong sebagai pengganti meja.
Dengan pensil yang sudah terpegang di tangan kanan, Sena menghela napas dalam-dalam sedangkan sepasang matanya menatapi Dika dengan lekat. Laki-laki itu masih tidur meringkuk dan separuh wajahnya tenggelam pada bantal kapuk. Damai sekali, deru napas Dika pun begitu teratur dan tenang. Sena menarik naik selimut di pinggang Dika hingga batas leher. Entahlah. Gadis itu hanya tak ingin udara dingin membangunkan Dika terlalu cepat. Ini masih kepagian untuk melihat mata kosong teman sebangkunya terbuka.
Sena kembali pada pensil dan buku gambar di hadapannya. Yah, inilah solusi yang ditemukan Sena setelah bertemu Mas Anto si pemilik bengkel kemarin malam. Menggambar—kegiatan yang paling identik dengan Prandika Jawahari. Sejak awal, Dika selalu berusaha mencari perhatian Sena pakai arsiran-arsiran tangannya yang ia kirimkan sebagai surat penggemar. Jadi sekarang Sena akan menduplikat trik itu. Ia akan menggambar sebagus mungkin sampai berhasil membuat Dika menoleh karena terkesan.
Hanya saja, ada satu masalah disini. Yaitu soal bakat menggambar yang hampir tidak dimiliki oleh seorang Senandung Kasturi. Terhitung setengah jam sudah berlalu, namun kertas Sena belum juga terisi apa-apa. Ia bahkan masih bingung harus mulai darimana untuk mencoba menggambar Dika yang tengah terlelap itu. Setengah jam berikutnya, Sena malah sibuk hapus sana hapus sini karena menurutnya goresan yang ia buat sangat jelek. “Astaga! Susah banget, sih!” dan akhirnya Sena geregetan. Hampir-hampir ia kelepasan merobek kertas buku gambar seumpama saja tidak sadar kalau pekikan kesalnya tadi, membuat Dika terbangun tanpa sengaja. Mungkin laki-laki itu terkejut.
“Maaf. Suaraku bikin kamu—“ padahal Sena sudah berharap basa-basinya akan bisa berlanjut dengan obrolan yang lebih panjang. Tetapi sisa kalimatnya kembali tertelan bersama ludah karena Dika bersingut dari kasur begitu saja lalu berjalan gontai ke arah kamar mandi tanpa sedikitpun menanggapi. Sekedar melirik saja tidak.
Sena menatap nanar punggung tegap Dika yang menjauh. Sikap Dika yang demikian acuh mulai memuakkan, lebih dari itu, sejujurnya terus menerus diabaikan begini terasa sangat menyakitkan bagi Sena. Andai saja ia tidak paham seberapa dalam sakitnya harus terpisah kematian itu, umpama saja ia tidak pernah mengalaminya sendiri dulu, Sena pasti tidak akan berpikir panjang untuk menampar Dika berulang-ulang sampai laki-laki itu sadar. Namun mana bisa, faktanya Sena terlalu paham, paling paham malah.
Sejenak gadis itu merapatkan kelopak mata sembari membuang napas banyak-banyak lewat mulut. Mencoba meredam gejolak emosi sebelum Dika kembali. Bagaimanapun, Sena tahu jika Dika yang sekarang hanya dapat ditangani dengan satu hal: kesabaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovakarta
Teen Fiction[COMPLETED] Lovakarta #1 Julukannya Hujan istimewa. Soalnya, Hujan yang satu ini selalu di damba-damba. 999 dari 1000 hati menyatakan ketertarikan padanya. Seharusnya, cerita ini mudah. Hujan tinggal pilih saja salah satu dari 999 hati yang ada. Te...