Adji menitipkan motornya di sebuah warung kopi pinggir jalan. Pemilik warung sama sekali tidak keberatan karena mahasiswa itu memang sudah lama jadi langganannya. Sambil menenteng plastik berlogo salah satu tempat jual-beli ponsel, Adji berdiri di pinggir jalan. Ditatapnya sebuah bangunan setengah jadi di seberang. Para pekerja proyek tampak bersliweran dengan pakaian lusuh dan badan penuh keringat. Dan sahabat karibnya-yang kemarin kasih uang dan minta tolong supaya lembaran rupiah tersebut ditukar dengan sebuah ponsel-adalah salah satu dari para pekerja itu.
Adji menghela napas pelan. Ikut bekerja sebagai kuli jelas pilihan Gani sendiri. Pilihan yang acap kali membuat Adji khawatir. Yah, sebagai orang yang sudah cukup lama mengenal Gani, ia tentu tahu kalau pekerjaan keras seperti itu terlalu berat untuk kapasitas tubuh sahabatnya. Tapi setiap kali diingatkan agar tidak terlalu memaksa diri, Gani pasti akan langsung bilang, "Aku kan nggak bisa ngandelin penghasilan dari kerja di pom bensin aja supaya cepat bisa beliin Sena ponsel baru." Dia itu memang tipe keras kepala kalau sudah punya niatan. Terdengar gentle dan berprinsip. Tapi dalam kasus ini, di mata Adji, Gani malah bodoh. Terkesan terlalu memanjakan Sena.
Tentu saja Adji tidak asal untuk bisa berpendapat demikian. Ia tahu soal pertengakaran antara Adik-Kakak yang hubungannya memang selalu rumit itu. Tahu juga soal masalah yang membuat mereka bertengkar hebat. Gani sendiri yang cerita-setelah dipaksa. Dan menurut Adji, Gani sebetulnya tidak perlu banting tulang sejauh ini hanya untuk berusaha mendapat maaf dari si gadis kekanakan. Toh Sena itu egois. Bisa-bisanya ia balas marah saat Gani memarahinya. Padahal sudah hak seorang Kakak untuk mengingatkan adiknya yang melakukan kesalahan.
Klakson sebuah mobil memutus lamunan Adji. Laki-laki itu mengusap wajah. Merasa agak bodoh karena bengong di pinggir jalan. "Sekarang ponselnya udah kebeli. Habis ini aku harus paksa Gani buat balik kerja ke pom bensin lagi." gumamnya sebelum kemudian menyebrang setelah memastikan kanan-kiri aman.
Pak Yono, pria berumur 50 tahun yang tengah duduk pada sebuah kursi bambu di depan area proyek sebagai keamanan, langsung mengembangkan senyum waktu melihat Adji. Jangan heran kalau sekarang Pak Yono dan Adji saling melempar sapa ramah. Mereka memang saling kenal dan cukup akrab sebab setiap jam makan siang Adji terkadang suka mampir untuk membawakan makanan buat Gani karena di proyek tersebut para pekerja hanya diberi jatah sarapan.
"Wis jam siji. Setengah jam lagi wis bubaran loh. Tumben baru datang?" tanya Pak Yono.
Adji mengangkat barang bawaannya sebatas dada. "Ini tadi saya habis beli titipannya Gani, Pak. Terus langsung kesini sekalian, sengaja biar Gani pulangnya ndak usah cari ojek." Pak Yono hanya ber-oh ria menanggapi penjelasan tersebut.
"Yo wis kene, lungguh disik! Main catur sama Bapak!" ajak Pak Yono kemudian, Adji yang memang hobi main catur jelas menyambut antusias.
"Tolong! Ono sing tibo!"
"Astagfirullah!"
"Mriko, Pak! Tolong!"
Para pekerja yang tiba-tiba saling berteriak kalang kabut membuat Adji dan Pak Yono yang baru saja menata bidak catur seketika ikut panik. Keduanya buru-buru berlari masuk ke area proyek pembangunan. Pak Yono kemudian mencegat salah seorang temannya untuk ditanyai. "Ono opo toh?"
"Kecelakaan Pak, jatuh dari lantai dua!" yang ditanya menjawab dengan napas terengah.
"Innalillahi... sopo sing kecelakaan, Wan?"
"Mahasiswa kuwi loh Pak Yon."
Deg... jantung Adji seolah terhantam benda keras tak kasat mata. Dengan tergopoh ia meninggalkan pijakan dan lari secepat mungkin kearah kerumunan. Walaupun orang yang Pak Yono tanya tidak menyebutkan nama, Adji jelas tahu si mahasiswa yang disebut-sebut adalah sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovakarta
Teen Fiction[COMPLETED] Lovakarta #1 Julukannya Hujan istimewa. Soalnya, Hujan yang satu ini selalu di damba-damba. 999 dari 1000 hati menyatakan ketertarikan padanya. Seharusnya, cerita ini mudah. Hujan tinggal pilih saja salah satu dari 999 hati yang ada. Te...