11 - Sisi Tersembunyi

14.1K 1.6K 68
                                        

“Saya jatuh cinta.”

Epeng dan Pram menjadi patung seketika. Pergulatan antara kedua laki-laki yang sedang memperebutkan sebatang tebu itu terhenti karena ucapan Dika yang baru saja menerobos telinga. Mulut terbuka dan mata melebar itu menunjukkan keterkejutan dan perasaan tidak percaya. Jatuh cinta memang perkara biasa. Kecuali kalau Prandika Jawahari yang mengalaminya. Untuk Pram dan Epeng, kabar ini sudah bisa masuk kategori keajaiban dunia.

Pram melepas tebu yang berusaha ia pertahankan dari Epeng, tiba-tiba minatnya menyesap sari manis itu hilang entah kemana. Ia langsung ikut duduk bersama Dika di bawah rindangnya pohon asam jawa. “Dik, aku tahu tadi pagi waktu upacara kamu dibawa ke UKS, kan? Kalau masih sakit, mending sekarang kamu pulang terus tidur. Disini udaranya agak panas, nggak baik buat orang sa—“

“Saya sehat.” Potong Dika. Ia menatap Pram serius, hanya beberapa detik, lalu kembali memandangi perkebunan tebu di depannya. Heran. Ini sudah yang kedua kalinya Dika dikira sedang tidak sehat.

“Betulan sehat? Kalau begitu pasti telingaku—“

“Telinga kamu normal, Pram. Kamu tahu itu."

“Jadi serius? Prandika Jawahari jatuh cinta?!”

Kali ini Dika tersenyum. Akhirnya Pram berhenti membuat dugaan-dugaan yang mengesalkan. “Jatuh cinta itu... ternyata rasanya luar biasa, ya?”

“Woaah!! Setelah belasan tahun akhirnya... Besok kita harus adain syukuran, Pram!!” Epeng sudah bergabung. Wajah gembulnya tampak sangat senang karena sudah membayangkan nasi kuning atau paling tidak bakso di kantin sekolah. Dika langsung tertawa, otak Epeng memang tidak bisa jauh-jauh dari makanan.

Tapi Pram tidak terlihat sama senangnya dengan Epeng. Kabar tentang Dika jatuh cinta memang sudah lama ia tunggu, tapi menebak tentang siapa gadis beruntung itu... sekarang Pram malah jadi khawatir. “Bukan si singa betina itu, kan, Dik?” nada bicara Pram begitu rendah. Tatapannya memohon pada Dika untuk mengatakan ‘bukan dia'.

“Bukan...” jawab Dika.

Lega. Pram menghela napas dan bersiap mengubah raut tidak senangnya.

“Dia bukan singa betina, Pram. Kamu sama Epeng benar-benar harus berhenti sebut orang pakai julukan yang aneh-aneh. Namanya Senandung Kasturi. Panggilannya Sena, tapi kalau saya sendiri lebih suka panggil dia Nana.” Dika melanjutkan bicara. “Tapi tebakan kamu benar. Waktu di sekolah tadi, saya sudah sampaikan perasaan ini ke Nana. Tapi mungkin karena agak mendadak, Nana kira saya bercanda.”

Binar di mata Dika membuat Pram urung merubah raut wajah. Cerita singkat tadi membuatnya merasa lemas. Pram kira Dika sudah salah jalan. “Jangan dia, Dik.” itu lebih terdengar sebagai perintah ketimbang nasihat.

Epeng menyibukkan diri dengan mengunyah tebunya karena tidak tahu harus berkomentar bagaimana. Lemak-lemak di perutnya terasa bergetar karena terkejut dan bingung.

“Pram, waktu sembunyikan dia selama ini, tapi sekarang takdir sudah pertemukan saya dengan dia... Nana itu satu diantara seribu yang saya tunggu-tunggu. Saya nggak bisa menghindar, Nana sangat istimewa...” balas Dika, sama sekali tidak marah mengenai reaksi sahabatnya, ia paham pertemuan pertama Pram dengan Sena dan pergaulan gadis itu dengan genk Eva sudah membentuk sebuah persepsi buruk di otak Pram.

Pram menggelengkan kepala, “Aku nggak akan bahas soal penampilan Sena yang agak urakan. Tapi... apa caranya terus-terusan ngerjain Ratih cuma biar punya reputasi di sekolah nggak cukup buat bikin Sena jatuh di matamu?” ditatapnya mata Dika lurus-lurus. “Ini Bukan aku lagi asal menilai sesuatu dari luarnya. Menurutku sikap bisa dijadikan tolak ukur karena hati selalu ikut berperan setiap kali seseorang bertindak. Dan semua sikap semena-mena Sena ke Ratih, jelas banget nunjukin kalau dia itu nggak baik!"

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang