8 - Sandaran Hati

6.8K 922 47
                                        

Ratih mengamati Sena dari samping. Helaan napas sahabatnya saat melipat kembali kertas surat yang beberapa menit lalu baru dibagikan wali kelas terdengar berat. “Kamu ikut kan, Sen?” tanya gadis berkepang satu itu kemudian.

Sena mengangkat bahunya. “Biayanya mahal.” Ia menjawab tanpa senyum.

Hanya satu anggukan kecil Ratih tunjukkan sebagai respon. Sebagai satu-satunya orang yang Sena percaya untuk mendengar keluh kesahnya perkara biaya rumah sakit Gani, Ratih tentu paham. Dan sebab tak ingin melihat mata sayu itu semakin dipenuhi sedih, lebih baik menyudahi topik percakapan tadi. Begitu pikirnya.

Sekarang dua gadis berseragam olahraga itu sama-sama menatap ke halaman depan kelas. Beberapa teman tampak asyik main bulu tangkis disana. Memanfaatkan sisa jam olahraga yang kali ini harus tanpa Pak Irwan karena beliau ada urusan penting mendadak.

Bangku panjang depan kelas yang Sena tempati sedikit berdecit ketika ia membenahi posisi duduk. Setelah merasa nyaman, gadis itu sibuk kembali menyelam ke dalam kepala sendiri. Sebagai siswa pindahan, hari ini Sena baru tahu kalau SMA-nya punya semacam acara tahunan untuk anak kelas 2. Camping ke Bandung selama beberapa hari. Acaranya selalu di jadwalkan 3 hari setelah ujian semester genap selesai. Tapi surat pemberitahuan memang sengaja diedarkan sejak jauh-jauh hari agar para wali murid bisa mendapat waktu untuk melunasi biaya perjalanan yang memang tidak bisa dibilang sedikit.

Kebijakan yang bagus. Pihak sekolah benar-benar memikirkan siswa-siswi dengan latar belakang ekonomi menengah kebawah. Contohnya Sena sendiri. Trip ke Bandung jelas hal yang sayang dilewatkan untuk gadis dengan jiwa petualang sepertinya. Seumpama Gani diberitahu pun, dia pasti langsung mengizinkan dengan antusias. Apalagi camping tersebut acara sekolah. Tapi di kondisi Gani sekarang, Sena mana tega memberitahu. Kakaknya pasti akan merasa terbebani.

Yah, seumpama nanti Gani bisa cepat keluar dari rumah sakit sekalipun, tulang-tulang patah di tubuhnya yang habis di operasi jelas membutuhkan waktu panjang untuk pulih. Dan Sena jelas tidak ingin membuat laki-laki itu sampai memaksa diri bekerja apalagi sampai nantinya menghakimi diri sendiri karena tidak bisa mencarikan cukup uang.

Sen, Sen, kamu kok jauh-jauh pikirin camping itu segala... biaya rumah sakit saja masih nggak tahu harus cari kemana... sesaat Sena memejam sembari mengusap wajah. Lantas menyanderkan punggungnya yang terasa lelah.

Sementara, sang hati sibuk bertanya-tanya... Kenapa ya, bahagia itu singkat sekali. Sementara cobaan datangnya nggak mau berhenti?

💧💧💧💧

“Pram, saya minta rekomendasi lagu-lagu bagus dong.”

“Nggak salah nih?” Pram menatap Dika dengan kedua alis menaut. Laki-laki itu baru saja menelan nasi soto yang sudah lumat di mulutnya.

Dika menyodorkan kertas dan sebuah pena. Dua benda itu baru ia ambil dari saku kemeja. “Jangan merendah. Saya tahu selera musikmu tinggi.” Mengalihkan pandang dari Pram, Dika melirik orang di sampingnya. Ada Epeng yang sedang bersemangat mengunyah. Sejurus kemudian, tangan kanan Dika yang jahil bergerak cepat mencomot secuil roti dari tangan si gembul.

“Aisshh! Kebangetan kamu, Dik! Masa roti sekecil ini masih dimintain juga! Tega! Nanti kalau aku kurus gimana?!” yang punya roti langsung nyerocos. Dari caranya memajukan bibir, kentara banget kalau Epeng nggak ikhlas berbagi jatah makan siang dengan Dika.

“Wah, malah bagus dong! Epeng si gembul saja sudah selucu ini. Apalagi kalau  kurus... pasti kamu kelihatan semakin ganteng!” untung saja Dika cukup cerdas buat cari kalimat penghibur. Dengan hilangnya ekspresi tidak ikhlas tadi, sekarang Dika sudah tidak khawatir akan sakit perut perkara secuil roti isi kacang hijau.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang